THOUSANDS OF FREE BLOGGER TEMPLATES

Jumat, 08 Januari 2010

kebintang -bintang

Sudah tujuh tahun aku tidak pulang, Aku rindu kampung halaman, mencium lagi semerbaknya bunga hutan, melihat rimbunnya semak di belakang rumah, ramainya kicau burung liar setiap bangun pagi, semuanya membangkitkan ingatanku kembali. Di belakang rumah panggung yang menjadi cirri khas rumah Kalimantan ada anak sungai yang mengalir deras dan dingin. Warna air kali kecil ini berwarna oranye kecoklatan seperti air teh. Hal ini terjadi karena pengaruh endapan serasah dan akar kayu-kayu hutan tropis di sebellah hulu sana.

Ketika musim hujan tiba, anak sungai ini meluap deras. Bersama teman-teman lain aku bersenang-senang menikmati alam: terjun bebas dari tebing pasir terjal menyebur ke sungai yang dalam. Lalu dengan sepotong papan, kami menghanyutkan diri, menggiring arus yang deras kearah hilir sungai. Hiruk pikuk bersama lima atau enam rombongan anak-anak membiarkan arus membawa kami beriringan (konvoi) sehingga berkilo-kilo jaraknya. Kami mandi mengobok-obok air.

Rombongan ini jadi mirip berang-berang, dengan badan mengkilap dan mata merah bertengah-tengah hari, berenang hilir mudik. Permainan itu terkadang bubar begitu saja tanpa membilas diri dengan sabun. Suatu waktu permainan dapat juga terganggu dan kocar-kacir karena kami melihat ular lombok menyebrang di tengah-tengah rombongan renang. Kami lari ketakutan kalau-kalau ular itu berbalik menyerang.

Setelah mandi karena di seberang sungai masih hutan lebat terkadang sekawan Lutung merah (Hilobatus klosii) terlihat bertongkrongan diatas pepohonan dengan jarak 200 hingga 300 meter di depan kami. Karena mitos yang beredar dikalangan bocah--anak-anak-- Kalimantan, makhluk ini sangat tidak senang menggoda anak yang menggunakan pakaian mirip mereka. Tiba tiba Ijul –dalah seorang teman kami berteriak-teriak “Oii….kelasii ini nah si Abui, pakai baju bawarna merah…!”*) anak-anak itu berteriak sekuatnya dengan akrab, menyapa monyet-monyet yang ternyata di lindungi itu.

Setelah itu aku melihat jerat burung terkukur, kalau-kalau jebakan yang kami pasang kemaren telah kena di masuki oleh burung. Jerat-jerat ituu kami letakkan di tengah kebun atau pinggiran sungai yang berpasir. Kalau hujan telah usai biasanya jenis-jenis burung ini sering turun ketanah untuk mendapatkan makanan. Jebakan yangn kami buat untuk makhluk bersayap itu sangat sederhana, terbuat dari kayu dan tali dengan jerat dan sebilah tonggak lurus yang di lenturkan.

Lalu dalam lingkaran tali jerat tersebut ditabur padi atau beras di tengah-tengahnya. Setelah itu kami membuat kamuflase disekitar jebakan itu sedemikian rapi dengan dedaunan hingga mirip jebakan ala Mc Giver. Bila burung mendarat, karena melihat makanan dan menginjak jerat itu maka kayu terlentur setengah lingkaran tadi akan bergerak sontak dan menjerat kaki burung.

Pulang melongok jerat dengan pakaian seadanya biasanya kami melewati rumah bibi yang menanam buah-buahan seperti kedondong, jambu dan mangga. Tanpa permisi seperti kebiasaan nakalnya anak-anak memanjat pohon-pohon itu diam-diam atau menyasar buah-buah itu dengan ketepel. Tentu saja acara itu bisa bubar ketika bibi yang ada di rumahnya dikagetkan oleh hiruk pikuk anak-anak atau peluru ketapel yang jatuh diatas genting rumah, menyebabkan saudara ibu kandung ini mengomel.
***
Pulang kampung. Tempat-tempat bermain masa kecil itu sudah hilang. Ladang dibelakang rumah dan hutannya sudah tidak ada lagi. Lahan itu kini sudah di tumbuhi rumah penduduk. Kantor kelurahan lama yang tadinya terletak di kawasan pasar, kini di pindahkan tidak jauh dari belakang rumah kami. “Ini adalah merupakan kantor kelurahan baru yang dipindahkan untuk mengantisipasi keseimbangan pertumbuhan perumahan dan penduduk,” kata Pak Lurah berteori. Sungai pun terlihat tidak berair lagi, karena hutan sumber air telah dibabat habis di sebelah hulu sana.

Sepuluh tahun yang lalu, lebih kurang sepuluh kilometer dari rumah kami biasa kutemukan sumber air yang masih sangat asli di pinggir hutan. Anak sungai ini memang dangkal, namun merupakan anak sungai kecil selebar 3 meter yang berasal dari bawah hutan. Air yang keluar dari hutan ini bermuara pada anak sungai yang biasa kami pakai untuk mandi. Maka air yang keluar langsung dari arah hutan tersebut sangat dingin layaknya keluar dari dalam kulkas sedangkan yang berada di muaranya sungai agak lebar mengalir hangat. Kami menyebut lokasi itu dengan sungai Asap, karena sungai itu dingin dan terkadang berembun seperti asap.

Beberapa meter dari lokasi sungai tersebut, terdapat rumah terbuat dari kayu ulin tempat meletakkan hasil sadapan karet. Kini rumah itupun sudah roboh. Kolam ikan dengan penghuni berjenis-jenis ikan liar yang terletak di samping bangunan itupun telah hilang teruruk. Hanya tinggal kenangan. Begitupun monyet merah yang suka menakut-nakuti anak-anak waktu kami masih kecil kini tidak pernah tampil di pohon-pohon itu lagi. Mereka pergi untuk selamanya sejalan dengan penggusuran habitat mereka. Sekeliling rumah kami sudah tidak ada lagi hutan tempat mereka menggantungkan hidup mencari buah-buahan dan dedaunan yang layak di santap.

Aku coba memandang lurus ke arah jalan yang dulu penuh rumput dan semak. Kutatap sebuah bukit kecil yang setiap hari kudaki karena harus berjalan kaki menuju sekolah SMPku. Jaraknya hanya dua setengah kilo. Dulu jalan ini penuh semak, licin berlumpur dengan tanah merah ketika hujan. Kini jalan itu sudah beraspal licin. Semakpun tidak pernah muncul lagi.
Dari sekian kenangan yang masih utuh hanya beberapa pohon rambutan yang masih tumbuh dibelakang rumah kami. Ada lagi, langit biru kampungku yang masih belum lagi tercemar. Elang Bondol yang masih suka meliuk-liuk di udara melakukan manuver-manuver melihat-lihat anak ayam kampung yang lengah untuk di sambar tiba-tiba, masih kujumpai ketika aku pulang kemaren.***Mbak Shanty dan Mas Danang mulai lupa kalau di rumah ada Nana, selain Mbok Inah dan Mang Diman yang sudah ada di rumah ini sebelum Nana dilahirkan. Mereka berdua malah sekarang jadi lebih bebas, bisa pergi ke mana saja, pulang jam berapa saja. Kalau Papa dan Mama masih ada, mereka pasti nggak berani seenaknya.
Huh, Mbak Shinta dan Mas Danang pasti senang
Papa dan Mama nggak ada lagi, mereka bisa bebas…. Nana sebenarnya mau saja ikut kalau diajak Mama Papa menghadiri perkawinan sepupu Mama di Solo waktu itu.
Tapi karena bukan hari libur, mereka tidak mengajak Nana turut serta, lalu kecelakaan pesawat itu terjadi. Papa dan Mama akhirnya pergi untuk selamanya.
Berhari-hari Nana menangis waktu itu. Entah
kemana dia harus mencari Papa dan Mamanya. Lama kelamaan Nana memang mulai bisa melupakan kehilangan itu, walau sedikit demi sedikit. Tapi Nana tak mungkin bisa melupakan semuanya, terutama saat-saat bersama Papa dan Mama duduk bersandingan di balkon rumah, memandangi langit malam. Nana selalu duduk di pangkuan Papa, yang mengajarinya nama-nama rasi bintang dan galaksi maha luas yang sempat terlihat di teropongnya.
Bintang-bintang dan galaksi itu banyak sekali
jenisnya, juga warnanya, dan semuanya sangat indah. Ada yang bersinar redup, ada juga yang bercahaya sangat terang. Papa sangat suka dengan rasi bintang Scorpio yang gagah di langit barat. Cahayanya berkelap kelip seperti boneka yang bisa bermain mata. Mama biasanya sangat suka kalau melihat Venus yang bercahaya terang, tapi Mama kalah sama Nana karena Mama nggak bisa mengenali galaksi Andromeda secepat Nana. Soalnya, Papa hampir setiap malam mengenalkan bintang bintang dan galaksi itu kepada
Nana, sedangkan Mama tidak. Jadi, Nana lebih pintar dari Mama.
Dan Nana juga tak mungkin bisa melupakan
waktu mereka sering ke Lembang. Tak terhitung berapa kali mereka sudah ke sana, tempat peneropongan bintang yang sangat lengkap yang paling disukai Papa.Papa juga sering mengajak Nana ke peneropongan
bintang di Planetarium yang ada di Taman Ismail
Marzuki. Hanya saja, waktu terakhir kali ke sana,
pengunjungnya banyak sekali. Soalnya, Planet Merah Mars bisa dilihat dengan mata telanjang, dan tentu akan lebih jelas lagi bila dengan teropong.
Nana, Papa, dan Mama tidak bisa masuk, pengunjung penuh sekali. Akhirnya, karena Planet Mars masih bisa dilihat selama sebulan di langit timur, Nana dan papanya cukup meneropong saja dengan teropong biasa dari rumah.
Sekarang, langit malam sedang bertabur ribuan
bintang, Nana ingin mengajak Mbak Shanty dan Mas Danang meneropong bintang-bintang itu dan mengenalkan kepada mereka Nebula dan galaksi galaksinya, terutama rasi bintang favorit Papa dan Mama. Tapi sekarang Nana makin sulit untuk menemui mereka. Mereka selalu pergi entah kemana.

Hampir setiap malam Nana, akhirnya, hanya bisa
bercakap-cakap dengan bintang-bintang itu seorang diri di rumahnya yang semakin sepi. Lalu Nana pun mengkhayal Papa dan Mamanya masih berada di sampingnya. Mereka bertiga terbang ke bintang-bintang itu, mengarungi bentangan langit yang penuh taburan warna, berjuta cahaya.
Yang tidak suka menikmati bintang-bintang itu, pasti orang yang sangat bodoh, pikir Nana. Dan kata Papa, semua itu adalah tanda-tanda kebesaran Allah sang pencipta yang Maha Agung dan tiada bandingan di jagat semesta raya.

Malam ini tiba-tiba saja ada pesta meriah di rumah
Nana. Rupanya ada pesta perpisahan khusus teman-teman sekelas Mbak Shanty. Sejak tadi pagi Mbok Inah dan Mang Diman sibuk belanja dan memasak. Sampai-sampai waktu Nana menanyakan makan siangnya, Mbok Inah tidak menjawab. Akhirnya, Nana cuma makan roti dan tidur di kamarnya sampai sore.

Semakin malam, teman-teman sekelas Mbak Shinta
semakin banyak yang datang. Juga teman teman Mas Danang yang sering ke rumah, berkumpul. Suasana berisik sekali, mereka ngomong tanpa henti. Musik disetel kencang dan ada games segala, juga bagi-bagi hadiah dan tukar-menukar kado.
Tapi di antara kemeriahan itu, nggak ada satu pun
teman-teman Mbak Shinta yang menanyakan Nana. Mereka asyik dengan dunia mereka sendiri yang berisik. Mbak Shanty juga begitu. Mas Danang apalagi, asyik berkumpul sama teman-temannya. Makan dan minum, tapi tidak menawarkan Nana.
Nana jadi sebel sama seisi rumah, Nana benci. Nana kan anak yatim piatu, kenapa anak yatim piatu dicuekin. Huh, sebel! Sebel! Nana akhirnya menangis di kamarnya, seorang diri.
Keesokan harinya seisi rumah panik, Nana pergi dari rumah dan hilang tak tahu rimbanya. Shanty dan Danang sibuk mencari ke sekolahan Nana, Mbok Inah dan Mang Diman yang sudah bekerja sejak Shanty dan Danang belum lahir sibuk ke sana kemari mencari. Akhirnya mereka semua saling menyalahkan satu sama lain.Mbak Santy menangis dan buru buru melaporkan kehilangan Nana ke kantor polisi, ke radio, juga ke televisi. Danang sibuk bertanya ke sana ke mari di sekitar rumah mereka. Tapi jawaban mereka, tak ada
yang pernah melihat Nana pergi keluar rumah.
Di kamarnya, tak ada yang berantakan. Baju baju dan tas sekolah Nana utuh, yang tak ada cuma teropong bintang dan tas kecilnya yang biasa berisi jepitan rambut dan buku diary.
Shanti dan Danang, Mbok Inah, dan Mang Diman akhirnya hanya bisa pasrah menunggu, siapa tahu ada yang menelepon ke rumah meminta tebusan.
Demi kesalahan mereka yang tidak memperhatikan Nana akhir-akhir ini, mereka akan memberikan berapa pun yang diminta sang penculik dengan menjual salah satu mobil yang sering mereka pakai, asalkan Nana kembali dengan selamat, utuh tak kurang suatu apa pun juga.
Nun beberapa puluh kilometer dari rumahnya,
Nana sedang berkumpul dengan beberapa anak pemulung di deretan gubuk-gubuk kumuh dekat rel kereta api.
Mereka berjumlah beberapa orang, baju mereka kumal, kulit mereka hitam dengan rambut yang kemerahan karena sering terkena sinar matahari, kecuali Nana yang tampak sehat bergizi. Kulit putihnya masih gemuk, cuma celana jeans dan T-shirt yang dipakainya sudah tampak kotor, rambutnya berjuntaian tak terurus.
Anak-anak itu dengan ceria tampak menaiki
tangga cerobong air milik stasiun yang kosong. Mereka berebutan, suara mereka berisik. Dua orang anak laki-laki naik lebih dulu, lalu diikuti Nana dan beberapa anak perempuan lainnya. Mereka lalu bergantian meneropong ke langit malam yang bertabur bintang.
Nana kemudian menjelaskan nama bintang-bintang itu kepada teman-temannya. Mereka tampak bergembira punya sahabat baru yang membebaskan mereka meneropong bintang-bintang di langit sepuasnya. Setelah puas meneropong hingga malam kian sepi, mereka turun dan masuk ke gubuk-gubuk kumuh dekat rel kereta.
Sementara anak-anak yang lain sudah tertidur, Nana justru sedang asyik menulis di buku diary-nya….

Papa dan Mama yang Nana rindukan….
Nana punya teman teman yang semuanya suka sekali meneropong bintang bintang. Mereka baik semuanya, Nana jadi nggak kesepian setelah Papa dan Mama meninggalkan Nana. Waktu mereka bertanya di mana Papa dan Mama Nana, Nana jawab, Papa dan Mama Nana ada di bintang bintang itu.

Papa dan Mama, malam ini Nana melihat langit indah sekali, nggak ada awan sedikit pun yang menghalanginya. Nana bisa melihat dengan jelas beribu-ribu bintang di langit sana, di bentangan karpet biru gelap malam raksasa yang maha luas.

Papa dan Mama pasti juga bisa melihatnya kan?
Kerlap-kerlip seperti serpihan ribuan intan permata, kilaunya indah bercahaya, ada yang ungu, merah muda, kuning, biru….

Oya, waktu malam pertama Nana sampai di sini, malah Nana sempat melihat Scorpio bercengkerama dengan beberapa bintang yang menjadi ekornya. Scorpio yang paling Papa sukai itu bertengger indah di langit barat. Nana jadi tersenyum-senyum sendiri memperhatikannya.Kalau Papa masih ada, Papa pasti senang deh melihat kehadiran Scorpio itu.

Dari tempat ini, herannya Nana juga kemarin sempat melihat galaksi Andromeda, Venus, dan Jupiter yang selama ini paling disukai Mama. Warnanya sangat terang, biru kemerah merahan di langit timur. Mereka semua memancarkan cahayanya yang sangat indah.

Rasa-rasanya Nana juga sempat melihat Cirius yang malu-malu. Dia kan nggak bisa dilihat dengan mata telanjang. Alpha Centauri di selatan juga kelihatan, walau cuma sebentar. Dia membuat kelap-kelip garis lurus sampai ke galaksi Magelans yang misterius itu Pa.

Memang benar, seperti yang suka Papa dan Mama bilang, Allah itu adalah pencipta yang sangat hebat.
Papa dan Mama yang Nana rindukan,
Papa dan Mama pasti masih ingat bagaimana kita sering ribut membicarakan bintang-bintang itu di balkon rumah tingkat kita. Mama dengan mesra duduk di samping Papa, kadang-kadang Nana duduk di pangkuan Papa. Kita bertiga pernah sama-sama ingin ke bintang-bintang itu kan? Tapi kenapa Papa dan Mama ingkar janji, Nana nggak diajak pergi ke sana?

Pa, Ma… mudah mudahan Papa dan Mama di sana bahagia, Nana di sini juga bahagia. Cuma bagaimana caranya terbang ke bintang-bintang itu ya? Mungkin ini memang sudah suratan hidup Nana yang ditinggal Papa dan Mama, Nana nggak mungkin bisa pergi ke bintang-bintang itu sendirian.

Tapi nggak apa apa, biarpun Papa dan Mama nggak mengajak Nana ke sana, Nana bisa kok terbang ke bentangan karpet biru gelap malam raksasa yang penuh dengan taburan ribuan intan permata itu, tapi caranya dengan mengkhayal, hehehe…

Pa, Ma… mudah mudahan langit setiap malam terus bersih tanpa kabut dan mendung, biar Nana bisa terus melihat ke langit, melihat bintang-bintang favorit Papa dan Mama. Kalau langit mendung pasti Nana sedih. Teman-teman Nana di sini juga sedih karena mereka nggak bisa melihat bintang-bintang. Kehadiran Nana membuat mereka terhibur banget lho Pa. Mereka juga baik baik sama Nana….

Papa dan Mama, sampai di sini dulu ya. Nana mau tidur nih, teman-teman Nana soalnya sudah tidur sejak tadi. Sampai ketemu lagi Papa dan Mama.Yang selalu merindukan Papa dan Mama, Nana..

Lalu Nana pun tertidur bersama teman-temannya.
Beralaskan kardus-kardus dan kain seadanya, mereka bermimpi terbang ke bintang-bintang yang cahayanya sangat indah beraneka warna. Ada juga yang bisa berkerlap-kerlip, terang dan genit seperti boneka yang bisa bermain mata.

0 komentar: