THOUSANDS OF FREE BLOGGER TEMPLATES

Minggu, 10 Januari 2010

ketika salju mencair

(Dimuat di Banjarmasin Post tanggal 21 Desember 2008)Dua tahun telah berlalu. Telepon dari Oliver mulai jarang, janji chatting pun sering tak ditepati olehnya. Setiap kali Brenda memeriksa mailboxnya, tak ada satupun e-mail yang masuk.Brenda menggeleng sedih. Olli..Olli, sebegitu sibuknya kah kamu sehingga tak punya waktu lagi untuk mengirimkan kabar untukku? Malam itu Brenda memberanikan diri untuk berbicara dengan ayahnya tentang apa yang terjadi antara ia dan Oliver. Setelah meyakinkan bahwa dia akan baik-baik saja di negeri orang, dan takkan menemui kesulitan berkomunikasi dalam bahasa Jerman, akhirnya Papa memberi izin pada liburan akhir tahun.Desember di Jerman tahun ini sangat dingin. Temperatur udara menunjukkan suhu 3 derajat Celcius. Tapi Brenda sudah tak sabar untuk bertemu dengan Oliver. Dennis, putra Mr. Hedderich, sahabat Papa Brenda, tempat ia menginap, berjanji untuk mengantarnya mencari alamat apartemen tempat Oliver tinggal.Namun berikutnya Brenda terduduk lemas. Dia kecewa, ternyata Oliver sudah lama pindah dari sana tanpa memberikan alamat tempat tinggalnya yang baru.Tepukkan lembut di bahunya menyadarkan Brenda dari lamunan. Cowok pirang bermata biru itu menatapnya sambil tersenyum. "Jangan khawatir, kita akan menemukannya." ujar Dennis menghibur.Tujuan mereka berikutnya adalah Humboldt University of Berlin. Terletak di pusat kota, universitas yang berdiri sejak tahun 1810 tersebut merupakan universitas tua nan megah dan unik.Setelah bertanya kesana kemari, akhirnya mereka menemukan informasi mengenai Oliver. Maka mereka segera saja meluncur menuju alamat yang dimaksud.Apartemen yang mereka jumpai kondisinya bertolak belakang dengan apartemen yang mereka datangi sebelumnya. Kondisinya sungguh memprihatinkan.Brenda mengetuk pintu. Sekali..dua kali..tiga kali. Sama sekali tak ada jawaban. Setengah jam menunggu, akhirnya seorang pria berjalan ke arah mereka. Dia menatap Brenda dan Dennis dengan penuh tanda tanya."Kami mencari penghuni apartemen ini." Dennis membuka suara."Saya tinggal di sini, kalian mencari siapa ya?""Oliver Kurniawan, mahasiswa dari Indonesia. Apa kau kenal dia?""Ohh..ya..ya..Oliver. Dia teman sekamarku. Kami mengambil jurusan yang sama di Humboldt University. Tapi ku rasa kalian takkan bisa menemukannya di sini."German Heart Institute Berlin atau lebih dikenal dengan nama Deutches Herzzentrum Berlin adalah sebuah rumah sakit khusus untuk pengobatan para penderita penyakit jantung, yang reputasinya telah terkenal ke seluruh penjuru dunia.Brenda tak pernah membayangkan akan bertemu kekasihnya dalam kondisi seperti ini. Dia menatap Oliver dengan sayang dan rasa rindu yang mendalam. Kekasihnya itu sekarang tampak kurus, namun wajahnya semakin tampan dan dewasa. kemudian tatapannya tertumbuk pada gadis Jerman yang berdiri di samping ranjang Oliver. Gadis itu menatap heran padanya, setelah berbicara sebentar dengan Oliver, dia keluar kamar.Oliver sangat terkejut melihat Brenda. Dia sama sekali tak menyangka akan pertemuan tersebut. "Duduklah di sampingku, aku akan menceritakan segalanya." ujar Oliver.Tahun pertama kuliah di Jerman berjalan dengan lancar, namun di awal tahun kedua bisnis orang tua Oliver mengalami kebangkrutan akibat ditipu rekan bisnisnya. Kehidupan Oliver yang biasanya serba berkecukupan berubah 180 derajat. Dia harus pindah ke apartemen yang sederhana.Dia juga harus bekerja keras untuk mendapatkan penghasilan sendiri agar dapat membiayai hidupnya selama kuliah di Jerman. Sebab meskipun mendapat beasiswa, namun biaya hidup di kota Berlin sangatlah mahal. Kedua orangtuanya memintanya kembali ke Indonesia, namun Oliver bersikeras untuk menyelesaikan kuliahnya yang tinggal dua tahun lagi.Masalah semakin bertambah karena beberapa bulan kemudian Oliver mengalami masalah serius dengan jantungnya. Dia diharuskan melakukan transplantasi jantung apabila ingin bertahan hidup."Aku sama sekali tak punya biaya untuk mengobati penyakitku ini. Hilda banyak membantuku, ayahnya dokter terbaik di rumah sakit ini. Dia yang membiayai pengobatanku dan akan mencarikan donor jantung untukku. Tapi aku harus bertunangan dengan putrinya." cerita Oliver lirih."Kenapa kamu tidak menceritakan ini? Papa pasti mau membantumu.""Aku tidak ingin kamu melihatku seperti ini, tidak ingin menyusahkanmu. Pulanglah, Brenda. Kamu gadis yang baik dan cantik, jalanmu masih panjang.""Aku mencintaimu, Olli. Aku takkan bisa hidup tanpamu.""Pulanglah, aku bukan Olli-mu yang dulu lagi.""Jangan perlakukan aku seperti ini, Olli. Aku melintasi samudera hanya untuk bertemu kamu. Tolak saja pertunangan itu, kita bisa mencari dokter lain yang lebih baik, aku akan minta Papa membantu.""Sudah terlambat, aku sudah bertunangan dengannya, Brenda. Pulanglah, ku mohon, aku sudah letih."Oliver membuang pandangan ke arah jendela.Aku mencintaimu, Olli. Aku akan selalu mencintaimu sebagaimana padang rumput yang luas mencintai musim bunga. Jangan lupakan aku ya, Olli.Gadis itu berdiri, lalu meninggalkan ruangan tempat Oliver masih duduk mematung dengan pandangan tetap ke arah jendela, dia tidak ingin Brenda melihat, air mata mengalir deras membasahi wajahnya.Dua tahun kemudian..."Bukankah kamu yang dulu mengantar Brenda menemuiku? Kenapa kau ingin bertemu denganku?""Bagaimana kabarmu setelah melakukan transplantasi jantung? Apakah tak ada masalah?""Aku sangat baik dan sehat. Dokter bilang pasien yang melakukan transplantasi jantung berpeluang hidup sepuluh sampai lima belas tahun. Bahkan ada yang sampai tiga puluh tahun.""Syukurlah. Bagaimana kabar tunanganmu?""Dia sudah meninggal setahun yang lalu. Kanker otak.""Maaf...""Apakah kau ingin menemuiku karena Brenda? Bagaimana kabarnya? Apa dia baik-baik saja? Selama di Indonesia, apa kau sering menghubunginya?"Dennis tersenyum getir."Olli, ku rasa kini saatnya kau mengetahui segalanya."Diserahkannya sepucuk surat pada Oliver.Oliver kekasihku,Pada saat kau membaca suratku ini, aku yakin kau telah menggapai harapan dan mimpi-mimpimu. Meskipun aku tak dapat memilikkimu, tak dapat hidup bersamamu, tapi biarkanlah aku hidup dalam dirimu. Agar dapat ku rasakan kebahagiaan yang kau rasakan, agar ku dapat memandang fajar harapan melalui matamu, dan mendampingimu di sepanjang sisa hidupmu. Jangan biarkan kematian memisahkan kita, namun biarlah dia yang mempersatukan dua orang yang saling mencintai melalui kematian dan kehidupan. Biarkanlah jantungku berdetak untukmu, agar ku selalu ada di hatimu untuk selamanya.Aku selalu mencintaimu, BrendaOliver tak mampu berkata-kata, air matanya mengalir deras. Ingin rasanya ia berteriak keras-keras agar Brenda kembali ke sisinya. Namun tak ada gunanya, Brenda takkan bisa kembali. Yang tertinggal hanyalah kenangan tentangnya dan jantungnya dalam raga kekasihnya.Brenda telah mendonorkan jantungnya untuk Oliver, pria yang teramat sangat dicintainya. Pria yang baginya adalah hidupnya, jiwa dan raganya selama ini.Hari itu, salju pertama di musim dingin mulai turun, perlahan butirannya jatuh ke bumi, mencair bersama air mata Oliver.

aku rela kau bahagia

“Inilah kegilaan ketika aku mesih saja mengingatmu. Masih saja memikirkanmu, meskipun kau telah jauh meninggalkanku dengan kebahagiaan yang selama ini kau cari.
”Aku menutup undangan bercorak hijau daun itu dengan perasaan meranggas. Mengakhiri ungkapan hatiku yang sempat tertulis diatasnya.“Kau akan datang?” Tanya Melia sang pengantar undangan, sekaligus sohib kentalku. Aku mengangkat kedua pundakku tanda penuh kebimbangan. Dan dia tak ada jawaban lagi.Dua hari lagi kau akan mengenakkan gaun itu, gaun yang kita pilih bersama waktu itu.Mudahnya kau mengkhiri pertunangan kita, hanya karena sebuah alasan yang tak jelas. Apa yang tak kau mengerti tentang aku??, tidakkah cukup perkenalan kita selama 2 tahun. Bahkan aku sudah lebih mengenalmu melebihi bagaimana aku mengenalku sendiri.Air mata mulai menetes lagi dan membuatku jengkel. Sedikit saja air mataku menetes, selalu saja tampak lain di mataku. Dan itu akan menimbulkkan kecurigaan ibu.“Kau masih memikirkan Abdi?”. Dan aku tak pernah bisa menjawab karena itulah kenyataannya. Aku tak pernah bisa menghapus namanya sedetikpun meskipun penuh dengan rasa kebencian. Aku sadar, akulah yang terlalu bodoh dengan semua ini. Dengan mudahnya percaya seorang pecundang sepertimu. Mengapa aku bisa tertipu pada kalimat yang indah pada sms, atau suara merdumu ketika kita berbicara lewat perantara kabel.
ŠŠŠ“Mengapa kau tak datang??” Aku terdiam, pertanyataanmu penuh kekonyolan, setelah semua yang kau lakukan padaku.“Mengapa, re?”“Aku tahu kamu sakit hati, tapi andai kamu tahu aku lebih sakit dari apa yang kau rasa.”“Bolehkah aku bertemu, sekali lagi saja.”“Untuk apa ?!”“Untuk kembali menambah lukaku yang hampir meluber karena tak sanggup aku tampung lagi!!”“Re, maafkan aku. Aku tak sepicik yang kau kira.”“Aku ta pernah berfikir kau picik !”“Kau…kau…,kaulah laki-laki paling menjijikkan yang pernah aku kenal”“Hmmmmpf…percuma, kau sebegitu membenciku. Betapa aku sangat ingin bertemu denganmu.”“Tak usah !!!” aku menekan tombol merah. Aku memutuskan hubungan telepon itu secara sepihak. Dan menelungkupkan wajahku dalam bantal, mencoba menyembunyikan air mataku. Bagaimana mungkin disaat kau merasakan kebahagiaan karena pernikahanmu yang baru saja usai, kau mengatakan ingin bertemu denganku. Terbuat dari apakah hatimu, hingga bisa setega itu. Tak salah kata-kataku tadi yang mengatakan, kaulah laki-laki menjijikkan yang pernah aku kenal.Gaun yang kau kenakan mungkin belum sempat kau tanggalkan. Senyuman para tamu dan hangatnya ucapan selamat masih belum berhenti, namun mengapa kau malah menghubungiku. Apa salahku ya Allah, mengapa begitu berat kau kirim cobaan ini. Betapa aku ingin melupakannya, namun mengapa ia justru datang mengacaukannya.“Huuhuaa…”“Eeegh..eghhh…” Aku tak peduli lagi, jika ada yang menertawakanku gara-gara tangisan ini. Tangisan cengeng untuk gadis yang tak lagi berusia muda karena 3 bulan lagi usiaku genap 29 tahun.“Huhu….”“Kapan aku akan menikah…”“Huhuhuu…”“Kapan aku kan ketemu jodohku ya Allah…”“Huhu…., eghh…eghh…” isak ini semakin lama semakin tak tertahan meski aku coba untuk menghentikan.
ŠŠŠ Aku harus melupakannya. Dan harus mulai dari awal lagi. Aku harus jadi Rea yang kuat. Upss..namaku Ria, mengapa aku begitu suka dipanggil Rea hanya karena kau suka memanggilku begitu. Nama panggilanku pertama kali ketika aku mencoba berkenalan denganmu, namun tetap memanggilku Rea meski kau tahu namaku Ria. Tak ada yang perlu aku sembunyikan, termasuk statusku sebagai perawan tua. Dan kau menerimanya tanpa penolakan sedikitpun. Namun kau menolaknya setelahnya, setelah aku bersedia menyerahkan sepenuh hatiku.Ughh…mengapa aku mengulang cerita itu lagi.Aku mulai, menghapus memory inboxku, sms sejak pertama kali kita menjalin perkenalan. Aku tak berani membacanya, aku takut mengingatnya lagi. Seperti ketakutanku, tak bisa melupakanmu. Dan aku takut merasakannya lagi, mungkinkah ada laki-laki yang baik tersisa untukku, seorang perawan tua.Ughh..aku tak tahu lagi betapa beratnya, menanggung status itu. Belum lagi ibu dan bapakku. Tuhan…..Aku memandang sekeliling kamarku, takkan kubiarkan satu wajahmu nongol di depan mataku. Melihat wajahmu sama saja aku melihat hantu paling menakutkan yang aku takuti selama ini.“Ihhh….ihhh..” aku mengambil dengan jijik sebuah foto yang terpajang tepat diatas ranjangku. Membongkarnya piguranya, dan kudapati fotoku dengan senyum manis tepat disamping manusia berwajah hantu itu. Foto waktu kita bertemu untuk ketiga kalinya di sebuah taman hiburan.“Sebenarnya cakep juga….” Aku tersenyum, melihat wajah tirus manis dengan kulit kecoklatan dan tubuh yang tegap semampai.“Huekkk…”aku tak boleh mengaguminya. Aku tak boleh buta lagi karena wajah itu. Andai waktu itu Tuhan membuka mataku untuk menatapnya lebih jelas, mungkin fotoku disampingnya bukan tersenyum manis, tapi terbelalak histeris.“Haha….”aku tertawa, lucu. Perlahan aku memotong foto itu. Memisahkan wajah manisku dengan wajah hantu itu. Aku menyimpan sebelahnya dan memotong kecil-kecil hantu itu seakan-akan dia ada didepanku. Terserah mau sakit, mau meringis, masa bodoh…Apa kabar dengan fotoku yang ada padanya?. Mungkinkah akan mengalami nasib yang sama, atau mungkin lebih parah. Apalagi jika ditemukan istrinya.“Ughhh…ughhh…”aku mengelus wajahku, tak tega jika wajahku yang manis ini harus kena api, jangan ya…
“Riaa…….” Aku mengernyit, panggilan untukku?“Riaaaa…….” Ternyata memang betul. Ada instruksi dari ibu pasti. Dan aku bergegas mencari sosok ibu. Mungkin saja di dapur.“untukku…?!!!” tanyaku heran, ketika sebuah bunga melati terulur untukku.Deggg…..bukankah biasanya abdi yang selalu mengirimkannya untukku. Apakah ini juga dari abdi?. Aku tersadar untuk segera bertanya.“Dari siapa?” ibu menggeleng tak tahu.Aku mencari kertas kecil berisi memo yang biasanya selalu diletakkan dipangkal pohon ini.“Maafkan aku…”“Uggh….!!!” Aku mendengus kesal, dan meletakkan serampangan. Tak seperti biasanya, bunga itu selalu terpajang segar di atas meja riasku. Untuk apa aku mesti merawatnya. Dan…untuk apa kau mesti mengirimnya. Meskipun kau belikan aku toko bunga, kata maaf tak juga bisa aku berikan untukmu…ŠŠŠAku masih asyik, didepan layar monitorku. Mengedit laporan keuangan yang belum sempat aku selesaikan kemarin di kantor. Seharusnya liburan seperti ini, aku menikmatinya. Namun aku telah kehilangan selera untuk menikmatinya. Aku memilih mengerjakan apapun agar rasa sepi yang seringkali menemaniku terasa berkurang. Meila juga menemaniku. Maklum sama-sama jojoba,hmmm…“Re…”“Ri….”“oh ya Ri…”dia tersenyum menyadari salah memanggil namaku yang sebenarnya. Aku tak meninggalkan sedikit pandanganku dari layar untuk merespon panggilannya. Dan ia lama untuk meneruskan panggilan itu, mungkin saja pikirannya masih asyik dengan majalah dipangkuannya itu.“Kamu tahu ga istrinya Abdi?” aku heran untuk apa dia tanyakan itu, tak lagi penting untukku. Meski 2 bulan lalu sebelum mereka menikah, Meila juga hampir menunjukkan karakteristiknya. Dan masih seperti kemarin, Aku menganggap itu tak penting lagi, dan aku tak peduli..“Dia sakit kanker…”“Whattt….” Tiba-tiba tanganku memencet huruf itu sehingga terbaca di layar dan aku menghapus setelah sadar. Aku menoleh, mencari keterangan lebih lanjut.“Sakit…?!”“Ya….”“Dari mana kamu tahu,“Sudah lama…”“Mengapa kau tak mengatakan padaku waktu itu ““Bukankah katamu itu tak penting?” aku mencibir menyadarinya.“Sudah hampir 2 minggu dia di rumah sakit,“Abdi ?””Halloooo…istrinya, Ria sayang….bukan Abdi.”“Ya, maksudku….abdi gimana?”“Emang penting ya, kok aku mesti tahu…” kali ini aku mencibir, karena sadar meila telah mengejekku.“Apa Abdi ga tahu ya kalau Meila sakit?” tanyaku sendiri, bengong.“Apa….?!’“Ulangi kata-katamu tadi, istrinya Abdi..bukan Meila…!!” aku tersenyum.“Ya maaf aku kan salah ngomong, habisnya aku kan ga tahu namanya siapa?’“Emang penting ya?” Meila tersenyum. Sekali lagi mengejek.“terserah, mau istrinya yang sakit, atau Abdi yang sakit, bodoh amat….!!”“bener nich, kalau Abdi yang sakit, kamu ga akan menangis iba…”“Eh, mengapa kita malah tertawa melihat orang dapat bencana…” tiba-tiba Meila menjadi seorang peri sok bijak.“Ya udah…..”“Semoga …”“Bahaagiaaa…..” ucapku dengan nada tak ikhlas.ŠŠŠ “Selamat ya, abdi….” Aku tersenyum bersamaan dengan jabatan yang erat.“Semoga bahagia ya…”“Aku selalu mendoakanmu…” ucapku mantap.“Kau tampak cute dengan gaun ini…” ledekku, dia tersenyum bahagia.“Istrimu juga cantik, cantik sekali…”“Gaun itu memang lebih pantas dipakainya dari pada aku. Kalau aku pakai masti melorot…” Aku tertawa lepas, dan kau membalasnya dengan tawa pula.“Selamat ya…” ucapku sekali lagi, ketika aku harus melangkah maju bersama barisan tamu undangan ini.Setengah berbisik dalam pendengaranku kau berkata, “maafkan aku Re…” aku tersenyum, dan melangkah. Aku tak pernah membencimu Abdi.“Krinnnnngggggggggg……kronggggggggggggggggggg….krungggggggggg………” Aku menggeliat. Perlahan membuka kedua mataku dan memicingkannya setelah sadar. Jam 5 pagi. Saatnya aku harus bangun.“Ehm….ehmmm…..” aku menggeliat lagi, seolah ga rela melepas selimut yang membalut tubuhku. Kantuk masih tersisa bersama hawa dingin yang menyerang. Toleransi 5 menit. Aku menutup mata lagi, namun tak kubiarkan kantuk kembali membuaiku dalam bayangan mimpi. Mimpi….aku mengingatnya, mimpi kah aku semalam. Datang ke pesta Abdi. Aku membuka mataku, dan berfikir. Mengapa aku bermimpi tentang abdi dan pestanya. Bukankah pestanya sudah lewat 2 bulan yang lalu. Sudahlah, namanya tidur pasti ada bunganya…(ga nyambung ya?)
ŠŠŠ“Ria, saluran 3 buat kamu..?”“Siapa yang berani menggangguku di jam sibuk begini.” Protesku pada Sani, rekan kerjaku.“Siapa…?!”sapaku ketus.“Rea, ini Meila…”“Ada apa?!”“Ikut aku,”aku mengernyit.“Ini masih jam kantor !”“ya, aku tahu…”“aku tunggu, diparkiran…” “Meila…kemana?” belum sempat aku mendengarnya. Aku sudah mendengar tanda putus.“Ada apa sich ini orang seenaknya saja ganggu orang kerja” runtukku sendiri. Namun aku bergegas ke kantor kepala minta ijin. Dan tak lama aku sudah melihat wajah Meila diantara barisan mobil-mobil di parkiran ini.“Cepetan…?!”“Enak aja, kamu nyuruh anak orang!”“Berani bayar berapa…?” protesku tak berkesudahan seraya tersenyum. Meila sama sekali tak menggubrisku, dan aku berhenti meledek. Wajahnya yang terlihat bingung membuatku konyol. Bagaimana mungkin meila yang selalu ceria bisa benar-benar serius. Dan aku ikut saja diam.“Ayo turun…” ajak Meila. Aku diam tak bergerak. Untuk apa dia mesti mengajakku ke rumah Abdi.“Untuk apa?” tanyaku curiga.“Turun saja…”ia menyeretku dengan terpaksa. Aku membelot. Tapi melihat mukanya yang masih saja serius tanpa ekspresi, aku menurut. Perasaanku mulai tak enak.
“Aku bisa berjalan sendiri…” sekali lagi aku protes karena Meila masih saja menggandeng tanganku. Aku heran, pakaian hitam seolah menjadi dress code dirumah ini. Dan aku tak menjupai satu wajahpun yang bisa aku kenal. Apa yang terjadi?.Aku tak tahu harus bertanya pada siapa. Aku menurut saja, mengekor Meila yang berjalan terburu. Semua orang yang sempat berpapasan denganku seolah sibuk dengan mereka sendiri. Kamar Abdi. Sayup-sayup aku mendengar suara tangis, mungkinkah istrinya meninggal seperti cerita Meila beberapa waktu lalu yang mengatakan istrinya sakit. Ya Allah secepat itukah. Mmm…tapi untuk apa aku mesti datang. Apakah abdi akan merengek untuk memintaku menjadi istrinya. Aku tersenyum, memikirkan bagaimana aku bisa menikah dengan seorang duda.Agak ragu aku melangkah. Suara tangis makin nyaring kudengar. Ketika wajahku tersembul dari balik pintu, aku mengenali satu persatu wajah itu. Tante Maya, ibu abdi dan suaminya. Tiara, adik semata wayangnya..dan saudaranya yang lain yang tak bisa aku kenali satu persatu.“masuklah Rea…” pinta tante Maya, dengan wajahnya yang sembab. Aku berjalan mendekati kerumunan itu, sementara Meila memilih berhenti dan berdiri tepat di depan pintu.“Abdi, sudah lama menunggumu…”kata tante Maya lagi. Satu persatu orang mulai menjauh, dan aku melihat tubuh itu. Tubuh yang tergolek tak berdaya dengan selang infus dan oksigen berselang-seling dari mulut dan hidungnya.“Abdi….”desisku perlahan. Aku terhenyak, sedih. Aku berdiri tepat, disamping ranjangnya. Dia mencoba tersenyum dengan kepayahan. Tangannya bergerak mencari tanganku, dan aku menggenggamnya hingga tangan itu diam dengan sendirinya, bersama senyum yang masih mengambang. Matanya menutup perlahan, dan tangis mulai menyayat.“Abdiii….”teriakku histeris. Aku bingung. Tangan itu masih saja diam, meski aku meremasnya.“Dia sudah pergi nak, ” Sebuah suara dibelakangku, mengabarkanku akan apa yang baru saja terjadi. ”Innalillahi wa Inna illaihi roji’un…” Kalimat itu saling bersahutan ku dengar dan aku menimpali dalam hati.“Abdi….”desisku tertahan. Aku lunglai tak berdaya. Mengapa secepat itu kau pergi…
ŠŠŠSatu persatu peziarah mulai meninggalkan gundukan tanah merah didepanku. Aku masih tertegun tak percaya. Di sampingku tante Maya dan anggota keluarganya yang lain juga menatap hampa bersama air mata yang menganak sungai.“Ayo Rea, kita pulang…”ajak tante Maya. Dan aku menganggu, mengikuti.“Mengapa aku tak melihat….” Aku mencari kata-kata untuk memanggil istri Abdi, maklum sampai sekarang aku tak tahu namanya. Tante Maya tersenyum.“Ia mendahului Abdi 3 hari yang lalu…” Aku kembali terhenyak.“3 hari yang lalu tante…”“Ya mereka berdua menderita kanker hati. Ketika abdi dalam keadaan kritis, Dina meninggal.”Tante maya tersenyum lagi. “sebelum Abdi benar-benar koma, ia masih saja memanggil namamu…”“Dia titip maaf buat kamu…”“Begitu pula Dina…”“Mereka memutuskan menikah setelah keduanya sama-sama tau mereka mengendap kanker stadium 4. Sebelum meninggal mereka ingin melaksanakan sunah rosul untuk menikah.”“Abdi tak ingin membuatmu terluka, menikahimu dan meninggalkanmu…”“Dia ingin kamu bahagia Rea…” aku tak lagi bisa berkata-kata. Air mata yang hampir berhenti, tiba-tiba menyeruak semakin hebat.“Maafkanlah mereka, ikhlaskan mereka pergi dengan bahagia…”Dengan mantap hatiku berkata, Aku tak pernah membencimu Abdi. Aku ingin kamu selalu bahagia…

ketika takdir memisahkan cinta

Rasanya sudah terlepas semua beban yang dirasakan Aurel, siswi kelas XII SMU Harapan Bangsa ini telah menyelesaikan Ujian Akhir Sekolah nya, kini ia hanya tinggal menunggu saat-saat yang paling dinanti-nantikan yaitu pengumuman hasil Ujian Akhir Nasional (UAN).
Hari ini rencananya ia akan pergi hang out bersama Dava kekasih Aurel, mereka baru jadian selama sekitar satu bulan, jadi gak heran kalau sekarang ini mereka sedang merasakan sebuah cinta yang begitu indah diantara mereka. Tepat pukul 9.30 pagi Dava datang menjemput Aurel dirumahnya, yang beralamat di daerah Buaran Jakarta timur, “Sorry ya, pasti udah nunggu lama,” Dava membuka percakapan diantara mereka, “Ah, nggak kok kamu datang tepat waktu, sesuai janji kamu,” kata Aurel “Yaudah jalan yuk…” Dava menggenggam tangan Aurel sembari berpamitan kepada orang tua Aurel.
Setelah selesai menonton film di 21, mereka memutuskan untuk segera kembali kerumah, hal itu dilakukan karena Dava harus berlatih band bersama teman-temannya, Dava adalah seorang gitaris di band nya.
“Nanti malem kesini ya…” Aurel meminta Dava untuk datang menemuinya.
“Hmm, kayaknya ga bisa deh, aku cape banget nih…..” Dava mengeluh.
“Besok malem aja yah….” Lanjut Dava, Aurel hanya bisa mengiyakan kata-kata kekasihnya itu.
Bel rumah Aurel telah memanggil penghuni rumah tersebut untuk segera menyambut seseorang ang telah menunggu di depan pintu rumah itu, tak lama kemudian Aurel pun keluar, setelah ia membuka pintu seseorang yang telah ia nantikan sudah berdiri di depan pintu pagarnya dengan segala pesona cintanya, “Itu buku apa?” Dava menanyakan tentang sebuah buku yang sedang di pegang Aurel.
“Hmm, ini aku lagi coba-coba bikin puisi,” kata Aurel.
“Kamu bisa bikin puisi?” lanjut Aurel, Dava hanya tersenyum mendengar kata-kata Aurel, tanpa mengeluarkan sepatah kata pun Aurel segera menyerahkan selembar kertas dan pena kepada Dava, Dava segera menuliskan kata-kata yang terangkai dengan indah.
Setelah selesai menulis Dava segera menyerahkan kertas tersebut kepada Aurel dan meminta untuk membacakannya, di bawah cahaya bulan purnama Yang diselimuti langit malam dan berhiaskan gemerlap sang bintang Aurel membacanya perlahan-lahan.




Jika di dunia ini, ada banyak orang yang sayang sama kamu
Aku pasti salah satunya…..
Jika di dunia ini, hanya ada satu orang yang sayang sama kamu
Orang itu pasti aku…..
jika di dunia ini, Tidak ada orang yang sayang sama kamu
Itu berarti, aku telah tiada…..



Aurel terdiam sesaat setelah membaca tulisan dari Dava, ia merasakan kata-kata tersebut masuk kedalam relung hatinya yang paling dalam dan sepertinya sudah tidak bisa keluar lagi.
“Dava, kayaknya waktu kita untuk bersama udah gak lama lagi deh,” kata Aurel dengan nada yang sedih.
“Kenapa?”
“Rencananya aku mau melanjutkan kuliah aku di Australia dan itu berarti kita harus berpisah,”
“Walaupun hal itu harus terjadi, hubungan kita ini gak boleh berakhir, cinta ini gak akan bisa dipisahkan apapun kecuali kematian, aku percaya kamu Aurel,”
Kemudian Dava memainkan sebuah lagu yang diciptakannya sendiri khusus buat Aurel, lagu itu mengalun dengan lembut, syairnya yang begitu indah, diiringi melodi gitar yang menusuk kalbu yang senantiasa menenggelamkan kegelapan malam, lagu itu sepertinya menjadi sebuah tanda perpisahan bagi mereka.


ššššššššššššššš
“Aurel, ayo cepat nanti kamu ketinggalan pesawat,” teriak mamanya dari lantai bawah rumahnya, Aurel masih terdiam di kamarnya menunggu kehadiran Dava, ia begitu resah karena Dava tak kunjung datang padahal ini hari terakhirnya di Indonesia, sampai tiba saatnya Aurel pergi meninggalkan rumahnya, Dava tak juga datang, air matanya pun tak lagi bisa terbendung.
Ternyata Dava sudah ada di bandara sebelum kedatangan Aurel, ditangannya terlihat sebuah gitar lengkap dengan tas nya.
“Aurel, gitar ini aku berikan buat kamu sebagai kenang-kenangan dari ku dan sebagai pengganti diriku jika kamu merindukan aku, dan aku mohon saat kamu kembali kesini lagi kamu harus bisa memainkannya dan kamu harus bisa memainkan lagu yang waktu itu aku ciptakan buat kamu,” Dava menggenggam erat kedua tangan Auerel, air mata jatauh membasahi pipi keduanya.

“Dava, aku janji aku pasti bisa melakukan itu semua, sekarang aku minta berikan aku senyuman indahmu dan peluklah erat tubuhku seperti kamu tak akan pernah membiarkan ku pergi, saat ku kembali nanti aku akan menyanyikan lagu itu dengan gitar ini aku janji.”
Mereka berpelukan erat seperti lupa akan segalanya, dengan berat hati Aurel segera meninggalkan Dava menuju pesawatnya, air mata tak henti-hentinya membanjiri wajah mereka.

ššššš
Di Australia Aurel bertemu dengan Dimas, kebetulan ia adalah teman satu universitas Aurel yang kebetulan jua berasal dari Indonesia, Dimas dikenal sebagai seorang yang pandai memainkan gitar, hal itu tentu tidak disia-siakan Aurel untuk belajar gitar dengannya. Setiap harinya ia selalu menyempatkan diri untuk berlatih gitar dengan dimas setelah jam kuliah selesai, Dimas sendiri juga tidak pernah merasa bosan saat mengajari Aurel bermain gitar.
Selama ini Aurel dan Dava masih suka berhubungan lewat e-mail dan terkadang Aurel menelpon Dava yang berada di Jakarta untuk sekedar menanyakan kabar dan bagai mana kuliahnya. Suatu sore ia datang ke apartement Dimas dengan sebuah gitar di tangannnya.
“Kamu sudah mulai mahir main gitarnya,” seru Dimas.
“Kenapa sih, kayaknya kamu ingin sekali bisa bermain gitar, kamu suka banget ya sama musik?” Lanjut Dimas, sambil memberikan minuman buat Aurel.
“Sebenarnya aku kurang suka sama giar, tapi ada sesuatu yang memaksaku agar aku bisa melakukan ini semua,” jelas Aurel.
“Apa itu?”
“Ah sudahlah, sekarang kita lanjutkan saja dulu, setelah aku lancar memainkan lagu ini baru aku ceritakan semuanya sama kamu.”
Setelah sekian lama berlatih akhirnya Aurel bisa menguasai alat musik petik yang diberikan oleh kekasihnya itu, ia juga sudah bisa memainkan lagu yang diberikan Dava untuk nya.
“Sekarang kamu sudah bisa memainkan lagu itu, kamu pernah janji sama janjikan kalau kamu sudah bisa memainkan lagu itu kamu akan menceritakan padaku tentang apa yang terjadi dengan kamu di balik ini semua,” Kata Dimas.
“Baiklah aku akan menceritakan ini semua sama kamu, lagu ini diberikan dan diciptakan khusus untukku oleh orang yang sangat aku sayangi, sebelum kepergian ku ke sini ia memberikan aku sebuah gitar dan selembar teks lagu lengkap dengan susunan nada-nada nya. Ia memintaku untuk bisa memainkan lagu ini dengan gitar yang ia berikan, sebentar lagi aku akan menemuinya karena aku belajar di sini hanya sampai bulan depan.”


šššššš
Setelah dua tahun kuliah di Australia, kini tiba saatnya bagi Aurel untuk kembali ke Indonesia, ia sudah lama menantikan saat-saat kepulangannya ini. Ia sengaja tidak memberitahukan Dava tentang kepulangannya dari Australia karena ia ingin memberikan sebuah kejutan untuk Dava.
Sebelum ke bandara ia terlebih dahulu datang ke apartement Dimas untuk mengucapkan terima kasih yang sebesar-besar nya, karena Dimaslah ia bisa main gitar dan bisa memenuhi janjinya terhadap Dava. Dimas juga bersedia mengantarka ASurek ke bandara.
“Good bye…..never try to forget me!” itulah salam perpisahan dari Dimas.
Setelah melalui perjalanan yang cukup panjang, Aurel akhirnya sampai di bandara, di sana ia dijemput kedua orang tuanya. Aurel tampak begitu leleh, oleh karena itu mereka segera pulang ke rumah, sesampainya di rumah Aurel segera menghempaskan tubuh nya ke kasur yang telah lama ia rindukan.
“Aku akan segera manemuimu,” kata Aurel dalam hati sesaat setelah ia melihat gitar pemberian Dava yang sedang bersandar di dinding kamrnya, gitar itu seakan tersenyum melihat Aurel.
Keesokan harinya Aurel pergi untuk menemui Dava, ia pergi ke tempat dimana Dava biasa bermain band, tak lupa ia membawa gitar pembrian Dava ia ingin memberikan sebuah kejutan buat Dava, namun studio yang biasanya ramai dikunjungi teman-teman Dava sore ini tampak sepi tak seperti biasanya, Dava sendiri juga tak terlihat batang hidung nya. Aurel tampak kecewa dengan hal itu, ia memutuskan untuk kembali ke rumah nya.
Aurel kini mencoba untuk langsung menemui Dava di rumah nya. Ia menyanyikan lagu yang diciptakan Dava di depan pagar rumah Dava seperti seorang pengamen, tak lama kemudian seseorang keluar dari rumah tersebut.
“Aurel, kapan kamu sampai di Jakarta?” Tanya Ibunda Dava sembari mengajak Aurel masuk.
“Hmm…dua hari yang lalu tante,” Aurel sedikit kecewa karena bukan Dava yang menyambut kedatangannya.
“Dava kemana tante? Kok dari tadi belum kelihatan?” Aurel tak bisa menyembunyikan kerinduannya terhadap Dava.
Namun Ibunda Dava tidak menjawab pertanyaan Aurel, ia justru terlihat meneteskan air mata an jatuh membasahi kedua pipi nya, entah apa yang sedang ia pikirkan sehingga ia meneteskan air matanya, lalu ia memeluk Aurel dengan begitu erat.
“A..ada apa tante?’ Tanya Aurel dengan nada yang terbata-bata karena heran.
“Aurel, dua bulan yang lalu Dava pergi, namun ia pergi tidak seperti kamu yang hanya pergi ke Australia dan hanya untuk sementara, tapi Dava pergi ke lain dunia dan ia juga pergi untuk selama-lamanya,” Air matanya semakin mengalir deras.
“Da…Dava meninggal tante?” bagai tersambar petir di siang bolong Aurel kaget hingga ia nyaris pingsan setelah ibunda Dava mengiyakan pertanyaannya.
“Tante, certain Aurel kenapa semua ini bisa terjadi, da Aurel mohon tante tunjukan di mana Dava dimakamkan, Aurel ingin ke sana sekarang juga!” betapa sakitnya hati Aurel saat ini, ia seperti orang yang sudah tidak bisa mengendalikan dirinya sendiri.
Setibanya di pemakaman ia langsung memeluk makam Dava, sungguh sebuah kesedihan yang mungkin tidak akan pernah bisa disembuhkan. “Kenapa kamu pergi? Kamu janji akan menunggu aku pulang dan aku sudah memenuhi janjiku untuk bisa memainkan lagu darimu dengan gitar yang juga pemberian darimu, tapi kenapa…… kenapa kamu pergi untuk selama-lamanya dan meninggalkan aku sendiri, membiarkan aku hancur karena kehilangan kamu.”
“Aurel cukup, relakan dia pergi! Kita harus pulang sekarang hari sudah semakin sore, Dava akan bahagia di sisi-Nya,” mereka pun berlalu meninggalkan makam Dava, namun sebelum pulang ibunda Dava memberikan Aurel sebuah surat yang ditulis Dava sebelum kepergiannya.
“Ini surat dari Dava, kamu baca nya di rumah saja. Ia berpesan Cuma kamu yang boleh membuka surat ini,” jelas ibunda Dava.
“Aurel, terima kasih karena kamu sudah menepati janji kamu dan maaf aku nggak bisa nepatin janji ku sama kamu aku nggak bisa melawan penyakit yang telah aku derita sejak kecil. Kamu harus mengerti Aurel semua ini bukan keinginanku, semua ini kehendak Tuhan aku nggak bisa berbuat apa-apa karena aku yakin ini yang terbaik darinya untuk aku juga utuk kamu.
Kamu harus merelakan kepergianku. Aurel, nyanyikan lah lagu itu ketika kamu merindukan aku, percayalah aku akan selalu hidup di dalam hatimu,”
Begitulah isi surat dari Dava, tak terbayangkan lagi berapa banyak air mata yang telah dikeluarkan Aurel hingga membasahi lantai kamarnya. Setelah kejadian itu Aurel hanya bisa melewati hari-harinya dengan berdiam diri dengan memegang gitar pemberian Dava.

dear diary

Dear Diary…
Mbak Aisyah mengenalkanku pada Mas Bagas . Kata Mbak Aisyah , Mas Bagas adalah guru les privat Fisika . Dan mulai minggu depan aku bakaln les sama Mas Bagas . Hu-hu! Nyebelin ! Aku paling benci les . Apalagi les Fisika . Aku alergi banget sama pelajaran itu .
* * *
“Ar,kenalkan . Ini temanku . Namanya Mas Bagas . Mulai minggu
depan kamu les fisika sama dia .”Kata Mbak Aisyah .
“Yah...Mbak tapi kan....”Kataku .
“Nggak ada tapi-tapian . Pokoknya kamu harus les ! Nilai Fisika-mu
Jelek semua . Kalau nggak naik kelas bagaimana?!”Kata Mbak Aisyah,
beruaha memaksaku .
“Eh , Maaf . Namamu tadi siapa ?”Tanya Mas Bagas .
“Ariani .”Jawabku .
“Ng...Ariani , boleh pinjam LKS-mu ?Mau Mas fotocopy . Dan Mas
pelajari dulu . Soalnya Mas tipe orang yang nggak bisa ngajar les tanpa
mempelajari materinya dulu .”Kata Mas Bagas .
“Oh...gitu...Sebentar ya Mas aku ambilkan dulu LKS-nya .”Kataku .
Aku berlari menuju ke kamar . Kemudian kubuka pintu lemari belajarku . Aku mengambil LKS Fisika-ku . Pintu lemari belajar kututup lagi . Lalu aku berlari menuju ke ruang tamu .
“Ini Mas .”Kataku sambil menyerahkan LKS yang aku bawa .
“Oh ya . Aku pinjam dulu , ya .”Kata Mas Bagas .
* * *
Hari jumat memang menyebalkan...!Huh! Habis , ada pelajaran Fisika sih . Dan nggak Cuma itu . Bu Alfi memberiku PR buanyak banget . Lima puluh soal . Udah gitu , PR itu harus dikumpulkan minggu depan . Arrgh...!Benar-benar menyebalkan .Tapi hari Jumat tidak begitu menyebalkan saat aku ketemu Tomo .Hehe...orang yang aku sukai .
Dan sorenya , aku les sama Mas Bagas . Aku langsung menyodorkan PR yang diberikan Bu Alfi tadi siang . Mas Bagas melihatnya sekilas .Setelah itu , dia langsung mengambil kertas kosong yang ada di meja , kemudian mengerjakannya . Wah , kayaknya orang ini emang smart banget
“Woi ! jangan ngelamun aja . Kamu juga ngerjain . Ini kan PR kamu.”
“I...Iya Mas . Aku ngerjain yang mana ?”Tanyaku .
“Nih , yang nomer 45,46,47 sama 48 .” Jawab Mas Bagas .
Huh ! Aku pikir , dia mau ngerjain semuanya . Ternyata nggak . Tapi aku yakin kalau orangnya smart banget . Soalnya aku lihat , dia udah ngerjain lima soal . Sementara aku , satu soal aja belum selesai .
* * *
Rabu , 10 Mei 2008
Dear Diary...
Hatiku sedih . Sedih banget . Kemarin aku nembak Tomo .Aku nembak pakai surat . Dan hari ini teman baiknya bilang padaku . Kalau Tomo menolakku . Dia bilang mau fokus ke belajar dulu . Aku jadi sedih rasanya . Hatiku terasa hancur .
Oh ya , Diary . Aku juga sekarang jadi lebih dekat dengan Mas Bagas . Dan ternyata enak juga waktu diajak ngobrol . Sehabis les terkadang dia aku ajak ngobrol . Bahkan aku pun juga curhat kalau aku ditolak sama Tomo . Mas Bagas tahu kalau aku lagi sedih banget . Dia lalu menghiburku . Dan juga memberiku semangat .
* * *
Selasa , 20 Juni 2008
Dear Diary...
Hore...!Libur telah tiba . Hehe...Kayak lagunya Tasya aja .Akhirnya libur juga . Dan aku juga senang hari ini . Karena aku naik ke kelas dua . Masuk jurusa...Yeah ! IPA . Sebenarnya aku nggak suka sih . Tapi mamaku dan Mbak Aisyah memaksaku . Hu-hu! Nybelin ! Ketemu Fisika lagi deh . Tapi nggak papa . Selama ada Mas Bagas pasti semua PR Fisika bisa terselesaikan . Hehe...
Waktu aku SMS ke Mas Bagas kalau aku masuk jurusan IPA , dia pun senang . Dia juga terus memberiku semangat . Dan liburan semester dua ini , aku dan Mas Bagas jadi sering SMS-an . Entah itu bercanda , ataupun curhat . Dan aku juga baru tahu kalau Mas Bagas itu orangnya ahil . Dia pernah misscall aku berkali-kali jam 3 pagi . Huh! Nyebelin Banget !
* * *
Senin , 2 September 2008
Dear Diary...
Tahun ajaran baru sudah lewat . Dan sekarang aku sudah kelas dua . Yeah...Lebih tepatnya lagi kelas 2 IPA 2 . Aku mencoba menjalani hari-hariku di kelasku yang baru .Tapi ternyata memang agak susah beradaptasi dengan sesuatu yang baru .
Aku juga mulai les lagi dengan Mas Bagas . Dan entah kenapa ketika dia datang ke rumahku , aku merasa ada yang berbeda . Apalagi sejak dia nggak pakai kacamatanya . Mas Bagas jadi kelihatan ...Ehem ! Lebih cakep .
* * *
“Mas , kacamatanya kemana ?”Tanyaku .
“Hilang , Ar . Aku udah cari kemana-mana . Tapi nggak ketemu .”
Jawab Mas Bagas .
Itulah alasan Mas Bagas waktu kutanya soal kacamatanya . Tapi aku nggak begitu saja percaya dengan alasannya . Karena aku merasa ada sesuatu yang berbeda dengan Mas Bagas yang sekarang .
* * *
“Dewi , aku takut nih .”Kataku .
“Takut kenapa ?”Tanya Dewi sambil membolak-balik halaman
novel miliknya .
“Kok Mas Bagas jadi aneh gitu ya . Minggu kemarin dia nggak
pakai kacamata . Trus kemarin Jumat , dia sering ngelihatin
aku .”Kataku .
“Wah , jangan-jangan dia ngaksir kamu tuh .”Kata Dewi ,
berusaha mengodaku .
* * *
Minggu , 2 Oktober 2008
Dear Diary...
Aku nggak percaya kalau Mas Bagas suka sama aku . Tapi Dewi yakin banget . Apalagi setelah dia dengar ceritaku . Uh ! Aku jadi penasaran sama Mas Bagas . Bener nggak sih dia jadi aneh banget karena dia suka sama aku ?
Oh Diary...Help me...!
* * *
Kamis , 13 oktober 2008
Dear Diary...
Entah kenapa , sekarang aku jadi suka ngutak-atik Fisika . Waduh....Gawat! Kayaknya aku ketularan virus rajinnya Mas Bagas nih .Dan Aku juga mulai suka dengan pelajarannya . Ngak hanya itu , aku juga jadi deg-degan tiap kali ketemu Mas Bagas . Dan Aku merasa Mas bagas mirip banget sama Tomo .Tiba-tiba Diary , aku jadi ingat lagi dengan Tomo .
* * *
Kamis , 4 Novemer 2008
Dear Diary....
Sekarang aku baru menyadari . Kalau aku suka lagi dengan Tomo . Tapi aku juga suka dengan Mas Bagas . Uh...! Aku bingung . Aku nggak bisa menyukai dua-duanya . Tidak!Tidak! Tidak Bisa .
MAS BAGAS BUKAN TOMO
DAN TOMO BUKAN MAS BAGAS
* * *
Minggu , 14 February 2010
Dear Diary...
Rasa Cintaku dengan Mas Bagas semakin menjadi-jadi . Ku nggak ahu harus bagaimana . Setiap kali les hatiku terus berdebar-debar . Bahkan yang lebih parah lagi , aku nggak berani lihat wajahnya . Setiap kali aku ketemu Mas Bagas , aku selalu menunduk .
* * *
Hari Jumat ini...Adalah hari terakhir aku les sama Mas Bagas . Soalnya minggu depan , aku sudah Ujian ansional . Dan Fisika masuk dalam ujian nasional .
Waktu les seperti biasa aku nggak berani memandang wajah Mas Bagas . Duh...!Lagi-lagi perasaanku kacau . Ayo, Ariani ! Konsentrasi ! Ini les Fisika . Bukan pacaran . Fuh...Akhirnya aku bisa konsentrasi juga . Waktu berjalan begitu cepat . Dan tak terasa les pun telah berakhir .
“Wah , Mas . Ini terakhir kalinya les ya .”Kataku .
“Iya . Eh , Iya .Moga-moga kamu lulus ya .”Kata Mas Bagas .
“Amin .”Kataku sambil berusaha menyembunyikan kesedihanku .
Mas Bagas kemudian berjalan keluar . Aku pun embuka pagarnya . Dia berjalan menuju ke sepeda motornya yang diparkir di depan rumahku .
“Eh , Mas . Tunggu sebentar .”Kataku .
“Ya . Ada apa ?”Tanya Mas bagas .
“Maaf sebelumnya , Mas . Ng...Sebenarnya aku suka...sama Mas
Bagas . Tapi...”Kataku dengan lirih .
Tidak ! Kenapa aku malah mengatakannya pada Mas Bagas . Aku tidak melanjutkan perkataanku tadi . Aku langsung masuk ke dalam rumah sambil mencoba menahan tangisanku .
“Ar...Ariani...!Teriak Mas Bagas .
Tapi aku tidak berani menoleh . Meskipun Mas Bagas memanggilku terus-menerus . Aku tetap berlari dan masuk ke dalam rumah sambil menangis dibalik pintu . Aku menyeka air mataku . Lalu aku keluar . Dan ketika aku keluar , Mas Bagas sudah nggak ada lagi . Aku menyesal...Karena aku nggak tahu perasaan orang yang aku cintai . Meskipun orang itu adalah guruku sendiri .

setiaaa

“keknya aku punya perasaan faith kepada mila...hahahah...ahhhh.”
ryo membaringkan tubuhnya kebelakang.menatap langit malam yang gelap hitam dan sama sekali tidak menaburkan bintang.beberapa burung terbang melintas diatas kami dan angin dingin berhembus lembut membuat tubuhku sedikit menggigil.
Aku melangkahkan kakiku kearahnya dan duduk disampingnya sambil menyalakan sebatang rokok.seperti biasa malam ini kami berdua duduk diatap gedung kos ryo sambil mengobrol.tapi malam ini aku benar benar ingin mengatakan sesuatu ke-ryo dan kalau ada kesempatan aku meninju wajahnya jika jawaban yang kudapatkan tidak menyenangkan.walau kutahu itu akan membuat persahabatan yang kami bina akan runtuh.untuk saat ini lebih baik aku mendengar apa yang ingin diucapkannya.
“kali ini aku serius faith...beberapa kali aku dan mila keluar tuk date ...dan sepertinya dia juga punya perasaaan kepadaku.” ucap ryo senang.
“....” aku memilih untuk diam dan menghisap lebih dalam rokok yang ada dimulutku.
“kek waktu itu, dia telp pas aku lagi makan siang dikantin sama vina...n sepertinya dia cemburu pas denger suara vina...masak telpnya langsung dimatikan...hahahahah.”
“trus,waktu itu kami nonton film transformer..aku megang tangannya selama dibioskop dan dia membiarkannya saja..tentu aja aku gak berani lebih dari itu...first date gitu loh.” cerita ryo bersemangat.
aku berusaha mendengar cerita ryo dengan baik.kegelisahan dihatiku tidak ingin kutunjukan kepada sahabatku ini.untuk saat ini aku ingin menyimpannya sampai aku kehilangan kesabaranku.sambil dia bercerita beberapa memori masa lalu terbayang dipikiranku.aku,ryo,dan yuni yang sejak lama berteman.terbayang wajah yuni temanku yang kukenal sejak SMA dan memasuki universitas yang sama dijakarta dimana aku mengenal ryo saat awal awal perkuliahan.
“tau gak bro...malam minggu lalu tiba tiba mila muncul dipintu kosku..aku kaget..asli kaget..mau ngapain nih perempuan...untung aja si yuni gak liat..kalau gak bisa berabe..”
ryo mengangkat tubuhnya dan membuka bungkus rokok yang ada disampingku.mengambil satu batang rokok dan melempar lemparkanya diantara kedua tangannya.aku melemparkan pemantik apiku kepadanya yang segera ditangkapnya.ryo membakar rokoknya dan menghisapnya dalam dalam.
“kamu masih simpan pemantik ini faith...hahahha” tawanya.
pikiranku melayang kebayangan kejadian dimasa silam.aku dan yuni sedang mengerjakan tugas makalah dikomputer dikamar kos yuni.senyum dan tawa yuni sambil menceritakan kekonyolan ryo yang selalu dilakukannya tanpa pikir panjang.aku mencoba untuk selalu tersenyum saat yuni melakukan itu walau hatiku sedikit merasa iri dan pahit.tapi untuk sahabatku yang satu ini aku tidak mau membuatnya kecewa dan sedih.
ryo muncul dipintu kos yuni dan sambil tersenyum senyum dia melempar tasnya ketempat tidur dan merebahkan badannya dilantai.yuni yang berada didekatnya hanya menyembunyikan wajahnya yang memerah dilembaran folio yang dipegangnya.dengan alasan ingin merokok aku pergi keluar ruangan dan melangkahi tubuh ryo yang berbaring dipintu kos.
ryo merogoh sakunya dan memberikan ku pemantik itu yang katanya dibeli untuk hadiah ulang tahunku hari itu.aku mengambil pemantik itu dari tangannya dan tanpa menoleh kebelakang aku berjalan.selama 2 jam sepertinya aku harus menjauh dari area kosan ini pikirku.saat aku berada didepan gedung aku bisa melihat pintu kamar yuni tertutup yang membawa pikiranku kembali kemasa ini.
“ahhhh...apa yang yang harus kulakukan bro...aku gak ingin menyakiti yuni...tapi kali ini aku sepertinya benar benar jatuh cinta kemila...wajahnya..tubuhnya..sikapnya...senyumnya...aku serius keknya akan menikahinya...gimana menurutmu faith??” tanya ryo.
aku tidak ingin menjawabnya.walau aku sudah terbiasa mendengar ceritanya tentang setiap perempuan yang sedang dekat atau didekatinya tapi entah kenapa saat ini kesedihanku sendiri seiring kemarahanku membuatku tidak bisa menahan lagi.aku menahan air mataku yang mungkin beberapa saat lagi akan keluar tanpa bisa kubendung.
“dia bilang dia hamil...” ucap ryo sambil membuang rokok ditangannya.
aku segera berdiri dan dengan tanganku aku mengisyaratkan ryo tuk berdiri juga.dengan wajah heran ryo menatapku dan beberapa saat kemudian dia mengangkat tubuhnya tuk berdiri didepanku.aku menundukkan wajahku dan membayangkan setiap tangis yuni yang selalu kuingat dan kesedihan juga perih di hatiku sendiri.
saat perasaan dan emosiku sudah mantap aku menatap tajam kewajah ryo.aku mengepalkan tinjuku dan dengan sekuat tenagaku aku melemparkan kepalanku kewajah ryo.sesaat terdengar suara benda bertabrakan dan tubuh ryo terlempar kebelakang terkena pukulanku.tubuhnya terbaring dilantai diatap itu dan sambil menahan semua kemarahanku aku berjalan kearahnya.
perlahan ryo mengangkat badannya dan dengan tangan kanannya mengelap darah yang keluar dari pelipis mulutnya.dia tidak berusaha melawan atau berbalik memukulku hanya duduk didepanku sambil menundukkan wajahnya.aku menjulurkan tanganku kearah tubuhnya.kepalanya ditolehkan kesamping sepertinya siap untuk menerima pukulan berikutnya.
aku mengambil pemantik yang terletak disamping tubuh ryo dan membalikan tubuhku dan berjalan menjauh.aku bisa mendengar suara tangis ryo dibelakangku.dalam hatiku aku bertanya siapa sebenarnya yang salah saat ini.didepan gedung kosan ryo aku naik kesepeda motorku dan menjalankannya menjauh.
kecepatan motor yang tinggi sepertinya tidak kurasakan lagi,aku hanya ingin segera sampai ke tempat tujuanku dimana aku yakin hatiku akan segera teruji lagi.dalam perjalanan itu hujan kecil menemaniku,membasahi tubuhku dan menghilangkan jejak air mataku yang mengalir.aku mematikan mesin sepeda motorku dan memandang kegedung kosan yuni.tujuh tahun yang singkat pikirku dan malam ini akan menambah hari dimana aku merasa sebagai lelaki paling bodoh.
beberapa saat semua kenangan ku bersama yuni dan ryo terbayang dipikiranku,saat bayangan wajah yuni dan ryo yang cerah saat pertama kali kukenalkan aku kembali menangis.aku adalah lelaki paling bajingan diseluruh dunia ini pikirku dan sesalku.setelah aku merasa kuat dan yakin aku melangkahkan kakiku kearah pintu kamar kos yuni dan mengetuknya pelan.
dari sisi luar aku bisa melihat tidak ada cahaya lampu dari dalam.aku membuka pintu didepanku yang sepertinya tidak terkunci dan melihat seonggok tubuh yang sedang meringkuk disamping tempat tidur.jantungku saat itu sepertinya berhenti berdetak beberapa saat.
yuni mengangkat kepalanya dan melihat kearahku,walaupun yang menerangkan ruangan itu hanya dari lampu jalan yang bersinar terang dibelakang tubuhku aku bisa melihat pucatnya wajah perempuan ini.jejak air mata membekas diwajahnya,yuni menyipitkan matanya mungkin merasa silau karena terbiasa dengan gelap.
“ryooooo...”ucapnya pelan.
kumohon padamu yuni,malam ini jangan ucapkan nama itu.
aku berjalan kearah tubuhnya dan duduk dengan kedua lututku yang ditekuk.aku mengelus rambutnya pelan dan mendorong punggungnya agar tubuhnya bergerak kearahku.aku memeluknya dan berusaha selembut mungkin tuk tidak menyakitinya.
“ryo jahat.....ryo jahat...ryo jahat faith.....” tangisnya meledak lagi yang membuat hatiku tersayat sayat.
selama ini aku selalu berada didekatmu yuni.berusaha tuk selalu menopangmu membuatmu tertawa saat kamu kesal atau gundah.menangis dibelakangmu saat kamu disakiti.menutup mataku saat kamu bersama dengan pria lain.menjauh saat kamu membutuhkan ruang dan waktu.disampingmu saat kamu membutuhkan punggung dan kuping tuk meringankan kesedihanmu.
aku selalu siap jika kamu membutuhkan seorang teman dan sahabat,tapi kenapa malam ini air mataku yang selalu kutahan saat berada didepanmu mengalir begitu deras.selama bertahun tahun aku selalu menjagamu.
“jahat....jahatttt...” suara yuni semakin pelan.
tubuh yuni terjatuh dari pelukanku.setelah terbiasa dengan gelap aku bisa melihat genangan kecil cairan yang hitam pekat.genangan darah yang mengalir dari tangan yuni yang terluka terkena sayatan.
“tidak yun...jangan malam ini...tidak...jangan...tidak yun...kumohon padamu...Tolong...TOLONGGGGGG....TOLONGGGGGGGGGGGGGGGGGG” aku berteriak sekencang mungkin sambil memeluk erat tubuh yuni yang terbujur kaku ditanganku.

always love even though there was no

sore ini serasa pengap, disana sini kertas berserakan. "huh...." tugas ku berantakan tertiup angin, semakin sibuk aku, semakin baik. karna sibuk membuat kita tidur lelap.aku, gizha sachiko seorang murid kelas 2 sma yang mendambakan seorang cowok bernama ryuu. bila dibandingkan kami bagai langit dan bumi, ini dan itu s'lalu berbeda.hari ini sepertinya bertanda baik,pagi tadi ryuu tersenyum dan menyapa ku terdengar ramah dan lembut. bagai mana mungkin, orang seperti ryuu dibenci banyak orang? menurut ku dia baik, dan lembut tapi entah lah, mungkin aku memang perlu tahu lebih banyak.setiap hari aku semakin merasa penasaran dengan ryuu, tapi ryuu semakin baik pada ku semenjak kami 1 jurusan. "bahasa" adl jurusan baru yang ku pilih setelah pindah dari ipa aku merasa ada sesuatu yang selalu ada dalm bayang-bayang ku. seseorang berkata "zha, selamat ya, akhirnya dapet juga!!!". aku sedikit bingung dengan apa yang ia bilang tapi... sepertinya itu feel yang baik deh.2 hari, 5 hari hingga 1 minggu kemudian, gosip semakin menyebar mereka bilang ryuu akan menyatakan perasaannya pada ku, "dari mana mereka tahu?" aku semakin bingung lebih baik jika aku yang bertanya. mungkin itu semua benar. syukurlah tuhan, akhirnya kau kabulkan permintaanku.esok harinya ryuu menjemput ku ke rumah untuk kesekolah bersama, ia begitu keren, tinggi, semakin dekat aku melihatnya, semakin kencang jantung ini berdebar.sesampainya ke sekolah ryuu mengajak ku ke tamn belakng sekolah, sebenarnya aku berharap inilah waktunya. dan ternyata "zha, aku suka kamu zha. baru2 ini aku ngerasa kamu dan aku memang harusnya bersama, aku merasa batah kalu aku ada sama kamu". entah lah, mungkn itu pernyataan cinta ygpaling sederhana yang aku dengar, tapi itu adalah kata2 yang benar-benar aku tunggu, slama 5 minggu terakhir.aku bilang ya? tidak segampang yang dia kira, aku masih berfikir tentang apa yangselalu mereka bilang. "aku pergi atau jangan ya???" tapi aku cuma butuh waktu sedikit untuk fikir-fikir untuk berkata "ya" pada jawaban ryuu.bahagianya hidup ini, bagaikan semua yang aku ingin ada dlam genggaman, yang ebih bahagia lagi, ryuu selalu ada dimanapun aku ada. tapi semenjak 2 minggu lalu, kami kjarang bertemu, entah lah mungkin di pergi ke suatu tempat yang tentram untuk mengendalikan emosi. tapi kenapa selama ini?2 minggu, 3 minggu, tak ada kabar 1 pun dari ryuu tak ada kabar angin ataupun gosip-gosip tantang ryuu. apa aku harus pergi menjemputnya ya??sesampainya di rumah ryuu, sepertinya kosong, dan tak satupun tanaman hidup di halamannya. gersang dan terlihat mengerikan. "sebenarnya apa yang terjadi?" setiap ku tanyakan pada tetangganya selalu ku dapat kata "tidak tahi" hingga seorang remaja datang menghampiri ku danbertany " kamu cari ryuu???" "ya" " sebulan lalu ryuu pindah dari sini, lalu setelah ada kabar lagi, ryuu menionggal". ya tuhan "benarkah???" kenapa secepat ini??? kenapa hanya sesaat? kenapa ryuu tak pamitan??? semua ini membuat aku semakin pusing dan terbebani. kenapa pula saaat itu aku harus cinta pada ryuu??? ryuu, maaf kan aku yang tak pernah bisa mengerti kamu!!!1" mencintai hanyalah untuk orang yang ingin tersakiti, namun orang yang tersakiti oleh cinta adalah orang yang bahagia"!!!!!!

cinta & derita

Mereka bilang aku terlalu bodoh untukmu yang sudah menamatkan pendidikan sampai sarjana. Tidak sepadan denganku yang bahkan SMA pun tidak tamat. Mereka bilang aku terlalu miskin untukmu yang sudah dapat membeli rumah dan kendaraan sendiri. Tidak sepadan denganku yang hanya mampu mengontrak dan mencicil sepeda motor butut dengan susah payah. Mereka bilang status sosialku terlalu rendah darimu yang sudah mempunyai perusahaan sendiri. Mereka bilang aku terlalu hina untuk bersanding dengan bosku sendiri. Aku tidak pantas menjadi kekasihmu, bahkan kata mereka. Untuk menjadi temanmu saja aku tidak pantas. Kata mereka aku bukan yang terbaik untukmu.

Aku tidak pernah menyalahkan mereka. Karena tidak ada yang salah dengan perkataan mereka. Aku memang terlalu rendah jika dibandingkan denganmu. Tidak sepadan walau sudah dipaksakan. Mungkin mereka takut jika nanti kita menikah, kau tak bahagia denganku. Pemikiran mereka sangat realistis dan aku memahami itu. Aku memang pria bodoh, tetapi aku tidak sebodoh pria- pria yang tega menelantarkan istri dan anaknya sendiri. Aku pasti akan berusaha semampuku untuk mendapatkan uang demi menafkahi istri dan anakku bagaimanapun caranya, asalkan tidak melanggar batas- batas agama yang aku anut. Yang jelas, aku akan bertanggung jawab atas keluargaku nanti.

Aku tahu aku memang hina. Dan mereka bukanlah satu- satunya yang mengatakan demikian. Tiga kali aku menjalin hubungan dengan wanita dan tiga kali pula aku di perlakukan seperti itu oleh orang- orang terdekatnya. Oleh karena itu, aku tidak heran. Tapi entah bagaimana, kali ini aku lebih merasakan sakit hati dan kesedihan yang paling dalam. Bukan karena perkataan mereka. Tapi karena aku harus menerima kenyataan bahwa lagi- lagi aku harus kehilangan orang yang sangat aku sayangi. Aku menangisi diriku sendiri karena ketidakbergunaanku sebagai laki- laki.

Awalnya, kupikir bahwa segala penderitanku agar berakhir selelah aku menemukanmu. Dengan ucapan- ucapanmu yang begitu meyakinkanku, aku berharap bisa menyandingmu nanti. Rasa optimisku juga meningkat manakala saat kau mengundangku makan malam di rumahmu bersama keluargamu. Aku berharap bisa melamarmu malam itu juga.

Dengan mengenakan jas yang kau berikan kepadaku khusus untuk malam itu, aku menuju ke rumahmu dengan perasaan yang sulit untuk ku ucapkan. Tidak lupa kuselipkan kotak cincin di dalam saku jasku untuk melingkarkan isinya nanti di jari manismu. Langkah kakiku terasa ringan malam itu, saat kupacu motor bututku saja aku merasa seperti terbang. Sepeda motorku terasa sangat ringan saat ku kendarai. Entah bagaimana, perasaanku begitu bahagia pada malam itu. Seumur hidupku, tidak pernah kurasakan kebahagian yang teramat sangat seperti malam ini.

Ternyata kebahagiaanku hanya sampai pada saat itu saja, selebihnya aku kembali merasakan kepahitan yang sama seperti biasanya. Selama makan malam berlangsung, keluargamu mulai bertanya- tanya tentang diriku dan keluargaku. Setelah makan malam selesai, suasana menjadi hening, Lalu aku berinisiatif untuk melamarmu. Tetapi, ternyata lamaranku ditolak mentah- mentah oleh keluargamu. Aku tidak heran dengan semua itu apalagi dengan cacian dari mereka. Aku tahu bahwa lamaranku akan di tolak setelah kulihat perubahan di wajah mereka sewaktu aku menceritakan tentang diri dan keluargaku.
Yang membuat aku heran adalah saat ayahmu tiba- tiba saja memarahimu karena dia merasa kamu telah membohongi keluarga. Aku heran mengapa dia mengatakan demikian. Saat aku melihat wajahmu, aku tahu jawabannya atas kemarahan ayahmu itu. Pantas saja selama tadi aku menceritakan segala kehidupanku kepada keluargamu, kau tertunduk dan hanya sesekali menyunggingkan senyum yang seolah dipaksakan. Kau telah bercerita palsu tentang diriku kepada keluargamu.

Lalu aku pulang dengan perasaan hancur yang tak tertahan. Dalam hatiku ada sedikit kekecewaan padamu. Aku tahu kau ingin aku diterima oleh keluargamu. Tetapi seharusnya kamu tahu bahwa kebohonganmu itu pasti akan terbongkar dan akan berdampak pada hubungan kita.

Aku menangis. Aku tahu seharusnya aku tidak boleh menangis. Sebagai laki- laki, menangis adalah hal yang harus kuhindari. Tetapi, entah mengapa air mata ini tak bisa berhenti. Aku tahu, setelah ini aku akan jarang bertemu denganmu, atau bahkan sudah tidak akan pernah bisa bertemu lagi denganmu. Aku tidak mau itu terjadi, tetapi aku tahu itu akan terjadi. Mungkin karena itu aku menangis.

Setelah kejadian malam itu, kita jarang bertemu. Saat bertemu pun, kamu selalu gelisah karena takut ketahuan jika kamu berhubungan lagi denganku. Hubungan kita seolah selesai tanpa ada penyelesaian. Sampai akhirnya kau dijodohkan dengan pria lain. Hatiku hancur saat tahu kabar itu. Hampir saja aku mengakhiri hidupku jika saja tidak ada temanku yang melihatku ingin terjun bebas dari atas gedung tempat kita bekerja dulu.

Pekerjaanku telah aku tinggalkan seminggu setelah aku tahu kabar pernikahanmu. Aku benar- benar sudah gila saat itu. Setiap hari yang kupikirkan hanyalah bagaimana caranya aku mati. Tak ada harapan lagi bagiku untuk hidup. Dengan mengakhiri hidupku, aku tidak akan merasakan jatuh cinta, tidak ada lagi penghinaan dan tidak ada lagi air mata yang menyedihkan. Aku akan terbebas dari jatuh cinta yang memuakkan serta dari semua penderitaanku selama ini.

senyum terakhir guruku

Pak Albert, guru bahasa Inggris yang paling aku benci masuk ke kelasku. Ketika Pak Albert masuk ke kelasku semua anak menyorakinya. Ya, semua anak. Tidak hanya aku yang membenci Pak Albert tapi semua teman sekelasku. Mungkin bukan hanya teman sekelasku, tapi seluruh siswa di sekolah ini. Kami tidak menyukai Pak Albert karena menurut kami, dia tidak bisa mengajar bahasa Inggris dengan baik. Bayangkan saja, jika dia berbicara, tidak ada satu pun anak yang mengerti apa yang dibicarakannya, apalagi ia berbicara dengan bahasa Inggris. Berbicara dengan menggunakan bahasa Indonesia saja tidak jelas, bagaimana jika ia berbicara bahasa Inggris. Hal itu juga menyebabkan jika ia mengajar, tidak ada satu pun anak yang mau mendengarkannya. Tapi anehnya, ia selalu tersenyum ketika ia disoraki oleh teman-temanku. Ia juga tetap tersenyum melihat anak didiknya ngobrol sendiri ketika ia sedang mengajar ***
Hari ini aku bangun kesiangan. Cepat-cepat aku mandi, sarapan dan mengambil sepedaku dan segera menuju ke sekolah. Jalanan sangat macet dan aku hampir tertabrak motor. Huft, hari ini cukup untuk menghilangkan moodku. Ya, aku adalah orang yang mudah terbawa emosi. Sekali ada peristiwa yang menjengkelkan, itu akan menghilangkan moodku seketika. Sesampainya di sekolah, aku segera memarkir sepedaku dengan terburu-buru. Ketika aku keluar dari tempat parkiran motor, motor Pak Albert masuk ke tempat parkiran itu dengan terburu buru. Aku hampir terserempet. Aku benar-benar marah saat itu, segera saja aku memarahi Pak Albert yang teledor itu sampai hampir menabrakku.
“Bapak gimana sih! Ga liat ada saya di sini! Gimana kalo saya beneran terserempet?! Makanya hati-hati dong pak!” omelku. Pak Albert merasa bersalah, dan ia meminta maaf padaku. Tapi aku tidak memaafkannya dan langsung keluar dari tempat parkiran itu dan menuju ke kelasku yang berada di lantai 2.Sampai di kelas, aku baru menyadari bahwa tadi aku tidak melihat senyum Pak Albert.Aku sudah sering memarahi Pak Albert tapi aku selallu melihat dia meminta maaf sambil tersenyum. Tapi tadi aku tidak melihat senyum Pak Albert. Apa aku terlalu kasar? Sebenarnya tak pantas juga seorang murid membentak seorang guru. Aku harus meminta maaf pada Pak Albert.
“Len, mau temenin aku ga nemuin Pak Albert?” ajakku pada sahabatku, Elena. “Heh? Ngapain? Bukannya kamu benci banget sama Pak Albert?” Tanya Elena “Tapi tadi tuh aku ngebentak Pak Albert, jadi aku merasa bersalah banget, Temenin aku yah, “ pintaku. Elena mengangguk. Aku segera turun ke bawah mencari Pak Albert. Tapi aku tidak menemukannya di mana-mana. Akhrinya aku memutuskan untuk kembali ke kelas karena bel sudah berbunyi. Seperti biasa, setelah berdoa, ada beberapa pengumuman yang disampaikan oleh kepala sekolah lewat speaker. “Anak-anak yang terkasih, ada sebuah berita duka, istri dari guru kita, Pak Albert harus berpulang ke rumah Bapa kemarin. Semoga Pak Albert ditabahkan hatinya dan tetap semangat mengajari para murid. Anak-anak, mohon doanya ya,” kata ibu Kepala Sekolah lewat speaker. Deg! Aku kaget mendengar berita itu. Pantas tadi aku tidak melihat senyum menghiasi wajah Pak Albert. Aku merasa sangat bersalah, Pak Albert sedang mempunyai masalah besar, tapi aku malah membuat dia semakin tertekan. Saat istirahat aku segera mencari Pak Albert. Akhirnya aku menemukan Pak Albert sedang berada di lapangan basket sekolahku.Ia sedang duduk sendiri dibawah pohon besar sambil mengamati sebuah foto Pak Albert, istrinya, dan anaknya yang tampak sangat bahagia Dan aku melihat ia sedang menangis. Pak Albert yang selama ini selalu tegar dan senantiasa tersenyum kini tampak sedang menangis. Aku mendekati Pak Albert tapi tidak menghampirinya. Aku berusaha agar Pak Albert tidak menyadari kehadiranku. Aku mendengar Pak Albert berbicara seperti ini dalam tangisnya, “Anakku, maafkan bapak ya. Bapak gagal menjadi ayah yang baik. Bapak gagal menyembuhkan penyakit ibu. Seandainya Bapak punya uang lebih, pasti bapak akan membawa ibu ke rumah sakit dan mendapat perawatan yang bagus. Bapak juga gagal dalam karir bapak. Bapak adalah guru yang tidak disukai oleh murid-murid. Setiap pelajaran Bapak selesai, mereka bersorak kegirangan seakan mereka lepas dari penderitaan Tapi kamu telah mengajari bapak untuk tetap terenyum meski di dalam hati bapak, bapak sering menangis.”

Aku hampir menangis mendengar perkataan Pak Albert. Ternyata, dibalik senyum Pak Albert, Pak Albert mempunyai masalah yang besar. Aku merasa bersalah ketika aku menyoraki Pak Albert. Lalu, aku menghampiri Pak Albert, dan berkata, “Pak, maafkan saya tadi telah membentak Bapak.” Pak Albert cepat-cepat menghapus air matanya. “Sudah, tidak apa-apa. Itu semua juga karena salah saya. Bel sudah berbunyi. Cepat masuk, jangan terlambat masuk kelas,” kata Pak Albert. Aku segera berlari menuju ke kelas. Segera aku menceritakan kisah Pak Albert kepada teman-temanku. Mereka merasa bersalah atas perilaku mereka yang sering menyakiti hati Pak Albert. Akhirnya mereka berencana untuk meminta maaf kepada Pak Albert besok.
Keesokan harinya kami mendengar kabar bahwa Pak Albert telah meninggal bersama anaknya. Teman-temanku menangis mendengar kabar itu terlebih aku. Kami belum sempat meminta maaf kepada Pak Albert, tapi Pak Albert telah meninggalkan kami duluan. Katanya Pak Albert meninggal karena tak sanggup menghadapi cobaan hidup. Tidak, Pak Albert tidak bunuh diri. Aku tahu Pak Albert adalah pria yang tegar. Ia meninggal karena stress tingkat tinggi karena istrinya meninggal, dan sesudah itu anaknya ikut meninggal karena sakit yang parah. Pak Albert pun akhirnya jatuh sakit, tapi ia tidak mau berobat ke dokter. Ia berpikir bahwa ia sudah gagal dalam hidup ini. Ia sudah tidak punya siapa-siapa, buat apa ia hidup. Mungkin Pak Albert juga berpikir bahwa murid-muridnya akan senang jika ia mati, tapi TIDAK bagi kami. Kami telah menyesal dan kami sebenarnya menyayangimu, Pak Albert. Kami juga akan selalu mengingat senyummu, Pak Albert. We love you, Pak Albert.

doaku

Terlalu banyak hal yang kusesali karena berpisah denganmu. Aku terasa akan ditinggal kan dan dimusuhi oleh seluruh isi dunia ini.. apakah kamu tau itu ? Ku coba bersabar dan setia padamu karena kutau kau tak pernah melupakanku yang telah menghancurkan segala jerih payahmu untuk hidupmu. Penyesalaan ku tak kunjung berhenti. setiap kali kupandangi gambar mu, aku selalu memaki diriku dalam hati karena kebodohan ku aku kehilangan orang yang menyayangiku apa adanya. Sungguh kalau memang ada mesin yang bisa memutar balikan waktu, mungkin sudah lama ku sisihkan segala uangku untuk membeli nya. Sekarang aku hanya bisa berharap untuk tetap maju dan semangat menjalani semua tanpa mu. Tapi ingat lah.. Aku selalu berdoa agar kelak, aku menemukan jalanku untuk bersama mu lagi dan bila saat itu tiba.. Aku tak mau lagi menjadi orang bodoh yang melepasmu hanya karena ego ku sesaat. Aku Menyayangi Mu Apapun Yang Terjadi.. Kumohon, Ingat lah Itu.. :)

gadis tak bernama

KALAU kau pernah mengunjungi danau di seberang masjid kampus berkubah putih itu, pasti kau mengenalnya. Tidak hanya pagi hari saat binar fajar melumer, tidak hanya siang ketika hari merangkak ke peraduan, tidak senja, saat hari berangkat menua. Kau akan mendapatinya di setiap larik kehidupan. Saat malam menanti purnama yang anggun pun kau pasti dapat menemui sosoknya.
Ketika kau bertemu orang dan menanyakan tentangnya, pasti mereka dengan sigap mengangguk mematuk. Semua telah sempat menemuinya di pagi yang samar hingga malam yang lebam. Dari kejauhan, meski samar, dia begitu nampak jelas dengan gaun merah maron di padu bandana warna daun kering. Di lengan kiri ada jam tangan perak kecil yang tak henti berdentang dan di kanan gelang manikmanik perak menyerupai mutiara. Kakinya begitu sempurna meski tanpa alas, menyatu dengan tanah tepi danau yang lembab.
***
Suatu sore yang dingin karena gerimis tak kunjung mengering, aku mampir ke tepi danau itu. Meski tak disengaja karena tumpanganku macet, kubiarkan tubuhku jatuh di rerumputan yang basah sejenak melepas penat. Mata kupejam menikmati derai hujan yang jatuh satusatu menikam poripori di wajahku. Dingin menyelinap masuk hingga belulang, tapi aku tak hirau dan membiarkannya membelai tubuhku yang ekstase. Satu tarikan nafas panjang untuk mengakhiri tamasya sore itu. Mata kubuka perlahan dan aku terhentak kaget.
Sebuah sosok tak asing berdiri tepat di atasku, sepersekian milimeter dari kepalaku. Dengan tergesa aku mengangkat tubuhku lantas berdiri bertumpu pada kedua kaki yang sedikit goyah. Dia tidak bergeming. Tetap pada posisinya berdiri tegak bahkan tak menghiraukan sikapku yang mulai kikuk. Sedikit terbata aku mencairkan suasana sore itu, bertanya kenapa dia tibatiba berada di atas kepalaku. Dia tetap kukuh tak mengernyit sedikit pun, apalagi berbalik menatapku yang sedari tadi berada di samping pundaknya.
Apakah dia bisu ? Aku mulai membathin tak karuan. Terlalu banyak kata yang kumuntahkan tapi tak sekalipun dia menggerakkan bibirnya. Sesekali aku meraih pundaknya dan berbicara padanya, dia mematung. Seakan kehadiranku tak berarti apaapa baginya, seperti tak ada sesuatu yang dapat mengusiknya.
Aku semakin bingung dengan sikap diamnya tapi aku tak urung, tetap saja aku bercerita di sampingnya bahkan bibirku kudekatkan ke telinganya agar dia mendengarkan. Meski tak bereaksi sedikitpun, mungkin dia menyimak semua pertanyaan dan ceritaku. Bahkan aku semakin bersemangat bercerita kepadanya, bercerita tentang hujan yang mencuri kelopak senja di tepian pantai, gemintang yang malu bertemu purnama yang anggun, atau tentang kisahkisah kolosal yang di reproduksi menjadi sinetron murahan. Dia masih berdiri.
Jarumjarum mulai menusuki telapak kakiku yang sedari tadi menahan beban berdiri. Sesekali aku jongkok, kemudian duduk di rerumputan dan berdiri lagi untuk melanjutkan cerita. Walau tak di bayar aku tetap saja bercerita, tidak seperti film layar lebar yang mesti menyelipkan nominal uang untuk menontonnya di ruang gelap bernama bioskop. Dadanya terangkat naik dan turun seiring hembusan nafas yang terdengar bergemuruh. Aku melemparkan senyum lega, akhirnya dia bereaksi juga setelah lebih dari sejam mendengar celotehku.
Dia bergerak membelakangiku dan beranjak menjauh menuju titian yang menghubungkan tempat kami berdiri dengan tempat yang serupa pulau kecil. Langkahnya terhenti tepat di atas titian yang terbuat dari balok kayu yang disusun berbaris memanjang. Tangannya memegang balok pembatas yang berada di depannya menghadap ke timur. Dia tak berbalik kepadaku, akupun beranjak pergi setelah berteriak berpamitan mengucap selamat tinggal.
***
Sejauh ini belum ada perubahan yang berarti meski setiap hari aku menyempatkan diri menjenguknya di tepian danau. Kadang sesaat sebelum aku mulai bercerita kusodorkan sepotong roti rasa coklat dengan parutan keju di atasnya, namun dia tak pernah menggerakkan tangannya meraih roti atau botol minuman dingin meski hari begitu gersang.
Hingga suatu waktu petir memecah angkasa dan hujan tumpahruah ke bumi, kami berlarian menuju gasebo yang berada tidak jauh dari titian untuk berlindung dari guyuran hujan. Karena hari sudah sore suasana danau mulai lengang dan di gasebo itu cuma kami berdua. Dingin merebak namun suasana tak hangat juga, tak ada perbicaraan. Hanya diam. Tubuh kami gigil berselimut angin yang menerpa pepohonan di pinggiran danau yang kian beriak di jatuhi titiktitik hujan.
Hujan menderu dan hari semakin gelap, terdengar suara adzan menggema dari corong masjid dari sebelah danau. Seharusnya aku sudah berada di rumah di waktu seperti ini tapi hujan kian deras. Tibatiba dia menggamit tanganku sedikit menarik mendekat ke tubuhnya. Barangkali dia kedinginan, akupun menempelkan pundakku ke pundaknya tapi dia menarik tubuhnya mundur.
“Ada roti, aku lapar…” matanya sayu menatapku.
Senyumku merekah seketika dan dengan sigap kuselipkan tanganku ke dalam ransel mengambil sepotong roti lalu kusodorkan kepadanya. Senang sekali rasanya setelah lebih sebulan datang dan bercerita padanya, akhirnya dia mengucapkan kalimat pertama tanpa kuduga sebelumnya. Ternyata dia tidak bisu. Irama suaranya begitu lembut mengalun dari bibirnya yang pucat. Hujan seakan berhenti dan aku berlarian mengitari gasebo sambil berteriak riang seperti orang kerasukan setan penunggu danau.
Mataku awas mengamati mulutnya yang menguyah begitu lambat, bibirnya gemetar. Aku tak berkata apapun menunggunya menghabiskan roti. Setelah aku yakin roti dalam mulutnya telah habis ditelannya lalu kuberi sebotol air mineral, dia meraihnya kemudian menenggak pun sangat pelan.
Merasa kalau dia sudah menyadari keberadaanku, akupun mulai bertanya tentang dirinya. Dia enggan membuka rahangnya, mungkin masih ada sisa roti di mulutnya. Lima menit kemudian aku memulai bertanya lagi, kali ini dengan pertanyaan yang lebih ringan. Takut dia tak mengerti bahasaku, dia tak bergeming sedikitpun. Aku tidak putus asa tetap kujejali dia dengan pertanyaan yang mungkin memekakkan telinganya, hingga dia berbalik pelan dan melemparkan senyum pasi. Kubalas senyumnya dan menatap matanya, memperhatikan setiap guratan di sudut wajahnya. Kudapati risau disana, ada bayang sendu, dan sejuta tanya yang menanti jawab. Tapi aku tak tahu apa, sulit menafsirkan apa yang telah menimpa hingga membuatnya seperti ini.
Hujan reda. Aku bergegas pulang setelah mengucap kata berpisah padanya.
***
Aku begitu penasaran dengannya hingga kusiapkan selalu waktu mengunjunginya selepas kuliah. Ada pertanyaan besar yang harus terjawab dan ini terus mengusikku. Siapa dia sebenarnya. Rasa penasaranku semakin membuncah setelah dia mengucapkan kalimat pertamanya lalu dia tersenyum, kalau bisa lebih sabar pasti tidak lama lagi aku bakalan tahu siapa dia.
Aku terus saja mengunjunginya, bercerita, tersenyum, membawakannya roti dan kadang nasi bungkus untuk mengganjal perutnya yang lapar.
Ketika sampai di rumah aku menyetel televisi dan menonton program favoritku, berita malam. Di layar kaca begitu marak pemberitaan tentang pilkada dan caleg yang saling adu kemampuan untuk mengkampanyekan dirinya demi meraih suara terbanyak nanti. Tibatiba pada segmen peristiwa aktual seorang reporter yang sangat akrab bagi pemirsa program berita malam menyampaikan sebuah berita dengan latar belakang sebuah danau. Kuperbaiki posisi dudukku dan menambah volume suara televisi lalu menyimak berita tersebut.
Secepat kilat aku menuju danau mengendarai sepeda motor bututku hendak memastikan berita di televisi. Sesampainya disana, yang kudapati hanyalah sunyi lalu retina mataku menangkap sebuah petanda berwarna kuning di sekitar titian, garis polisi.
Ternyata berita itu benar. Dia tenggelam. Aku berteriak sejadijadinya membelah malam, timbul penyesalan yang dalam kenapa aku begitu lalainya. Tak sengaja aku lupa berkunjung ke danau sore tadi, mungkin dia lapar, sedih, butuh teman, hingga tubuhnya retas dan terjatuh ke air.
Padahal, masih ada kisah yang belum sempat aku ceritakan padanya, gadis tak bernama.

mimpi yg nyata

Mama, cuma dia yang aku miliki dalam hidup ini, aku tau mama sayang banget sama aku,,, mama suka manggilk aku dengan sebutan cinta, mungkin karena sama aku, padahal namaku yang sebenarnya LInca. so temen-temen dan orang sekitar aku pun ikut memanggilku cintaaaa!!!! Yang ku tahu mama suka warna merah,, mama suka make' shaal dan selendang, emm seminggu lagi ulangtahun mama. walaupun kami cuma hidup berdua tapi aku mau dech bikin pestabuat mama. Hari ini aku berangkat ke sekolah dijemput tenku. aku pelajar kelas 1 SMA. waktu aku mau berangkat ku lihat mama mendadah dari teras rumah,''hati-hati sayang'' nanti belikan mama obat yach''''iya ma" Dalam perjalanan,'' mama kamu itu baik banget sich ramah lagi'' kta Noura'' iya aku bangga banget sama dia, dia satu-satunya keluargaku tapi dia mampu membiayai aku walaupun dengan hidup yang pas-pasan. Tak terasa hari terus belalu tingal 2 hari lagi mama ulatah, aduh aku mau kasih apa yach..???? emmmm mama kan suka selendang, gimana kalau besok aku belikan mama selendang merah, mama pasti seneng deh, Dalam tidur aku bermimpi melihat bayangan-bayangan yang tampak aneh, mereka mendekatiku, aku sebenarnya takut, bayangan putih itu tampak samar, tapi perlahan mereka lenyap ditelan gepulan asap tapi aneh kenapa tiba-tiba menjadi gelap, aku sudah tidak bisa melihat apa-apa lagi, aku takut, takut takuuuuuuuuuuttttttttt, teriakku sampai terbangun dari tidurku,''kenapa sayang ''''ga papa ma , aku cuma mimpi buruk,''''makanya kalau tidur jangan lupa baca doa''''iyach mam Linca janji dech'' kata ku sambil senyum''''kamu juga hari libur gini masih aja molor, tapi memang kamu mimpi apa sayang?''aku diam,, tiba-tiba air mataku menetes,''kenapa sayang,kamu ko' nangis,?''''aku takut maa, aku ga mau pisah sama mama, entah kenapa aku sedih aku sendiri ga tau''''ya udah kamu cerita lain kali aja,''''sekarang kamu mandi yach kata mama sambil memeluk aku.''''iya ma'' Sehabis mandi aku mau jalan cari kado buat mama,''ma aku mau pergi dulu yach''''iya''............ ''emmm ''''dah ma''''sayang''''ya ma''''hati-hat ihari mendung''. aku senyum, aneh pandangan mama berbeda, dia tampak khawatir banget. sesampai di toko, ternyata selendang merah kesukaan mama sadah habis terpaksa pake selendang putih, tapi ga papa lah, mama pasti seneng walaupun warnanya bukan merah. waktu aku dijalan mau pulangDoooooooooooooaaaaaaaarrrrrrrrr, dentuman petir, aku berlari tiba-tiba aku ditabrak mobil karena mataku tak bisa melihat lagi, selendang putih yang ku bawa untuk mama sudah berubah menjadi mera, aku hanya memandangnya di detik terakhir menghembuskan nafasku.entah apa yang terjadi pada mama

kau khiyanati cintaku

Ibu uuuuuu……., jangan tinggalkan aku bu, ibu bangun bu…, bangun bu…
Sudah lah nak..ikhlaskan kepergian ibumu, kamu harus tabah, biar ibumu pergi dengan tenang.., Haji Somad menenangkanku.
Semua sudah diatur yang di atas, semua yang bernyawa pasti mati, kita semua akan mati, lanjut pa Haji menasehatiku.
Ya..ya pa Haji…
***
Sambil duduk termenung di teras samping aku mendengarkan radio, dari sebuah pemancar FM radio swasta, sudah berapa lagu mengalun, namun tidak membuatku terhibur, walaupun penyiarnya selalu mengatakan “ semoga para pendengar terhibur ”. Malam semakin larut, kian menampakkan keangkerannya, suara anjing mengonggong sahut menyahut, menambah semakin mencekam, bulan purnama sedang sembunyi di balik awan gelap, sepertinya malam ini akan hujan, malam terus menampakkan keangkuhan, namun banyak menyimpan misteri. Suara anjing itu semakin tidak terdengar, hanya suara gesekan ranting, melantunkan melodi kesedihan, seakan ikut merasakan keperihan hatiku, namun ini justru menambah laranya hati, terasa mencabik cabik sampai ke kulitku. Bunyi detak jam dinding di ruang tengah, serasa tak seirama lagi, namun perjalan detik menuju menit terus menuju jam, seperti mengisyaratkan tentang kehidupan ini yang sangat pendek, aku terus larut dalam lamunan yang tak bertepi, hanyut tanpa batas, aku masih tak percaya akan kepergian ibuku yang sangat menyayangiku.
Ibu meninggal dipanggkuan ku, setelah berbulan bulan menderita sakit, dokter bilang, sakit ibu karena tekanan batin yang mendalam. Sebelum sakit, ibu lebih banyak diam, makannya juga sudah tidak teratur lagi, bahkan kadang satu hari ibu tidak makan dan tidak ngomong, hanya mengurung diri di kamarnya.
Perasaanku berbeda dengan saat ayahku meningal dulu, aku masih berumur 4 tahun, aku tidak mengerti apa yang terjadi, pada saat ayahku meninggal, aku justru asyik bermain mobil mobilan, yang dibelikan ayahku seminggu sebelum dia meninggal, ibu selalu menceritakan tentang ayahku, yang sangat sayang kepadaku, karena aku anak laki laki semata wayang, yang di harapankan mengganti dia, dalam mengelola bisnisnya. Namun ayahku begitu cepat meninggalkan aku, ayahku meninggal karena kanker. Sepeningal ayahku, ibuku lah yang melanjukan bisnis ayahku.
Aku masih beruntung, walau aku anak yatim, namun aku masih bisa sekolah dengan baik,berapa banyak anak yang tidak bisa sekolah, karena ketiadaan biaya. Sedangkan aku walau ditinggal ayahku, aku berlimpah harta, karena harta peninggalan ayahku sangat banyak, dan ibuku sangat piawi dalam berbisnis, melanjutkan usaha ayahku.
Walau ibu sibuk dengan bisnis peninggalan ayahku, namun tidak mengurangi kasih sayangnya kepadaku. Setiap hari ibu melayaniku, dari memandikanku, menyuapi aku makan, dan antar jemput aku ke sekolah, sejak aku di Taman Kanak kanak hingga sampai Sekolah Dasar. Dia sempatkan waktu sengangnya untuk bermain dengan ku, kadang aku diajak jalan jalan ke tempat rekreasi,ke pantai, ke taman ria, kadang ibu juga mengajak aku ke museum. Setiap aku mau tidur, ibu selalu bercerita tentang pahlawan Indonesia, bagaimana kehebatan para pejuang kita melawan penjajah, seperti Pangeran Diponegoro, Imam Bonjol, RA. Kartini dll. Lain waktu, ibu menceritakan kehebatan para pejuang Islam, dalam mendakwahkan Islam, diantaranya para sahabat Nabi saw, seperti Abu Bakar ash Shiddiq, Umar bin Khattab, Utsman bin Affan, Ali bin Abi Thalib. Ibu juga menceritakan kehidupan Rasulullah, yang sejak dalam kandungan sudah ditingalkan ayahnya, umur enam tahun ditinggalkan ibunya, lalu dipelihara kakeknya Abdul Muthalib, namun tidak lama cuma dua tahun saja, kakeknya meninggal, kemudian dipelihara oleh pamannya Abu Thalib sampai beliau menjadi Rasul.
***
Ton..toni, bangun nak, ayu bangun, nanti terlambat ke sekolah, ibu membangunkan aku
Aku masih ngantuk bu, jawabku tanpa beranjak,
hari ini, hari Senin ada pelajaran sejarah...lho.., kamu suka kan...., bujuk ibuku

Aku sekarang sudah kelas dua Sekolah Dasar, di kelas dua ada pelajaran sejarah Indonesia, aku memang sangat menyukai pelajaran sejarah, aku mengagumi keperkasaan para pejuang dalam menumpas para penjajah. Aku bercita cita ingin menjadi guru sejarah.
Ulang tahunku bulan kemaren ibu memberikanku hadiah buku sejarah Indonesia, aku gembira sekali, setiap hari aku baca, walau sudah selesai aku, baca lagi, sudah tiga kali aku mengulanginya, aku sangat hafal cerita para pejuang, terutama tentang Budi Utomo, pahlawan pendidikan dari Jawa Timur.
Pada hari Senin kemaren pada saat pelajaran sejarah, pak Guru menceritakan tentang sejarah Panglima Sudirman, bagaimana beliau memimpin perjuangan, walau dalam keadaan sakit, tidak mengurangi semangat juangnya.
***
Hari ini ibu tidak mengajak aku jalan jalan, padahal hari ini hari libur, namun aku juga agak malas keluar rumah, maunya diam di rumah saja, mungkin juga ibu sudah menganggap aku sudah besar, memang sejak aku SMA ibu sudah jarang mengajak aku jalan jalan, apalagi sejak kejadian empat bulan yang yang lalu, dan itu terakhir ibu mengajak aku jalan jalan rekreasi, pada waktu itu kami ke pantai aku sedang jalan jalan di pantai ibu duduk kafe sedang minum teh, di kafe itu ibu bertemu dengan temannya waktu SMP dulu, setelah asyik bercerita kenangan masa lalu mereka, aku datang mendekat ibuku, teman ibuku itu agak kaget melihatku, lama dia terdiam, setengah berbisik aku dengar teman ibuku bertanya kepada ibuku, “suamimu ya, muda sekali ya..”, ibu ku tersenyum dan sembari menjelaskan bahwa aku anaknya.
Ibu sedang asyik membaca buku, seratus tokoh berpengaruh sepanjang jaman. Aku lagi nonton TV acara kesayanganku tentang flora dan fauna. Cuaca agak mendung, seperti mau hujan.
Assalamu alaikum… , suara orang memberi salam di depan rumah, memecahkan keheningan pagi.
Wa alaikum salam..jawab ibuku pelan.
Toni... tolong lihat siapa yang datang..., pinta ibuku.
Ya..bu
Assalamu alaikum.. suara orang di luar mengulang salamnya,
Wa alaikum salam.., jawabku,
Aku membuka pintu, ku lihat seorang pemuda kurus, dengan pakaian yang lusuh, badannya kotor, kelihatannya pemuda ini tidak terawat, agak lama kami saling tatap, pemuda itu tersenyum agak dipaksakan, akupun membalas senyumnya.
Siapa yang datang Ton…, tanya ibuku dari dalam …
Aku tidak segera menjawab pertanyaan ibuku, karena mataku masih menelusuri seluruh tubuh pemuda itu, dari ujung kaki sampai ke ujung rambutnya, aku jadi iba melihatnya. Pemuda itu jadi salah tingkah, dia pun ikut ikutan melihat tubuhnya sendiri, sekali sekali dia kembali menatapku. Agak lama kami saling tatap lagi, dan diam....
Maaf mas... ada yang salah kah dengan saya..., pertanyaannya mengagetkan ku
Aahh...enggak,...., sepertinya saya pernah lihat saudara, jawabku sekenanya.
Dia tersenyum..., tanpa ada kata yang terucap.
Saudara mencari siapa...?
Sorry mas..., pemuda itu mulai bicara, tapi langsung ku potong
Ini masih pagi, belum sore, jawabku sambil tersenyum
Maksud saya mohon maaf..., sebenarnya saya kesini mau cari pekerjaan, mungkin ada yang bisa saya kerjakan, apa saja mas..., yang penting saya bisa makan..., kata pemuda itu melanjutkan omongannya.
Aduuh...., (sebenarnya tidak ada yang sakit sih, ini hanya ucap sepontan, yang aku sendiri tidak tahu kenapa) kerja apa ya..., jawabku
Apa saja mas...
Toni ...siapa yang datang itu..., ibuku bertanya lagi. Aku berjalan agak tergesa menuju kamar ibu,yang sedari tadi membaca buku.
Anu ...bu...
Anu apa Ton....
Itu di luar ada seorang pemuda, yang minta pekerjaan, katanya sih kerja apa saja..
Ahhh...., ibuku mengangkat tangannya sambil mengeliat, mungkin sangat capek, karena terlalu lama duduk membaca buku. Ibu kalo sudah asyik membaca buku sudah lupa segalanya, kalo tidak selesai tidak berhenti.
Ibuku berdiri dan berjalan agak pelan menuju ruang tamu, kemudian lalu ke teras menemui pemuda itu.
Ada yang bisa saya bantu mas ...?,tanya ibuku
Don..., lengkapnya Ramadlan bu..., jawabnya
Saya mohon ibu bisa memberi saya pekerjaan, kerja apa saja bu..., yang penting saya bisa menyambung hidup..., saya sudah malu minta minta..., saya ingin bekerja. Lanjut pemuda itu dengan suara agak memelas.
Kamu bisa kerja apa...?
Apa saja bu...membersihkan halaman... atau merawat tanaman ... saya mau bu...., masalah gaji terserah ibu, yang penting saya bisa makan..., jawab pemuda itu berharap.
Ibu ku masuk ke ruang tamu dan menghampiriku, Ton..., bagaimana tangapanmu tentang pemuda itu..., tanya ibuku kepada ku
Masalah apanya bu...?
Yah...permintaan pemuda tersebut... jawab ibuku
Terserah ibu saja...
Jangan begitu...perasaanmu bagaimana, apakah dia orang baik..., lanjut ibuku
Menurut Toni sih terima saja..., biar dia bisa bantu bersih bersih atau memotong rumput yang di halaman...dan saya juga ada teman... jawabku tanpa pikir panjang.

Ibu kembali keluar menemui pemuda itu, aku kembali nonton tv, saya lihat ibu masih berbincang bincang dengan pemuda tersebut. Acara floura dan fauna sudah selesai, ku matikan tv, lalu aku keluar ingin tahu bagai mana keputusan ibu, tentang permintaan pemuda tersebut.
Kamu sudah makan mas Ramadlan....? tanya ibu ku kepada pemuda itu, ternyata pemuda itu bernama Ramadlan, mas Ramadlan keliatan malu malu, tapi dari raut mukanya aku bisa menangkap kalau dia belum makan.
Belum..bu.., jawab nya
Kalau begitu masuk dulu...., ucap ibuku, beranjak menuju ke belakang, tidak berapa lama ibu sudah membawakan satu piring nasi goreng, sisa sarapan kami pagi tadi, dengan segelas air teh. Ibu kalau bikin nasi goreng enak sekali. Aku sangat suka, tapi ibu bikinnya hanya pada hari libur, hari lainnya kami lebih banyak makan di luar, sekalian ibu mengantar aku ke sekolah dan ibu berangkat ke kantor, kebetulan sekolah ku satu arah dengan kantor ibu ku, ibu mengantar aku dulu, lalu lanjut ke kantornya.
Silahkan dimakan..., mumpung masih hangat...ucap ibuku.
Saya ke belakang dulu..., lanjut ibu, sambil berlalu menuju ke belakang, tinggal aku dengan pemuda Ramadlan itu yang masih duduk di ruang tamu.
Makasih bu..., jawab Ramadlan sambil meraih piring nasi, kelihatanya mas Ramadlan ini benar benar lapar, dia lahap sekali, dia makan seperti tergesa gesa. Aku tetap memperhatikan mas Ramadlan makan, mas Ramadlan mungkin baru sadar kalo dia aku perhatikan, dia tersenyum kepadaku, mengurangi volume makannya, sekarang dia makan agak perlahan.
***
Mas Ramadlan sedang asyik menyapu di halaman rumah membersihkan daun daun kering yang berjatuhan, sudah satu bulan dia bekerja di rumahku, memang sejak dia ada dia rumah kami, rumah kami jadi rame, mas Ramadlan enak diajak ngobrol, dia juga sopan, tutur katanya lembut, tidak pernah membantah kalo disuruh, pekerjaannya juga sangat rapi dan cekatan. Pagi ini cerah sekali, secerah hatiku, karena hari ini ibu mengajak aku ke pantai, ini sudah lama sekali aku tunggu, ibu lagi di dapur menyiapkan bekal untuk dibawa ke pantai, aku menyiapkan yang lainnya, sedangkan mas Ramadlan masih asyik menyapu, tapi sekarang sudah pindah ke halaman samping, tinggal sedikit lagi akan selesai.
Toni ..kamu sudah siap...?, tanya ibuku dari dapur
Iya bu..., jawabku
Suruh mas Ramadlan berhenti dulu, agar dia siap siap berangkat juga, nanti sore baru di lanjutkan..., perintah ibuku, akupun keluar ingin menyampaikan titah ibuku, sesampainya di halaman samping, ternyata mas Ramadlan sedang duduk di bawah pohon ketapang.
Sudah selesai mas..., tanyaku
Iya den..., jawabnya (mas Ramadlan selalu memanggil ku dengan sebutan den, kependekan dari raden)
Ahh..., mas Don jangan panggil aku begitu lagi... dong.., panggil saja dengan namaku... aku jadi enggak enak, dan juga itu tidak pantas buat ku...., protesku, padahal sudah beberapa kali aku mengingatkan mas Ramadlan agar jangan memanggil ku dengan sebutan den,

Iya den..., eeh mas Ton, katanya lagi
Ibu bilang siap siap untuk berangkat..., kalo belum selesai dilanjutkan sore nanti aja
Iya...mas Ton...
***

Sepertinya malam ini, tidak seperti malam kemaren, cahaya bulan purnama turut serta memeriahkan pesta kecil di rumah kami, kenapa aku katakan pesta kecil, yah..,karena hanya ibuku dan mas Ramadlan, yang hadir dalam pesta ini, walau tidak ada lampu hias, tidak ada dekorasi yang indah, tidak ada sepanduk ucapan selamat, namun cahaya rembulan sudah lebih dari cukup untuk mewakili semua itu dan turut meramaikan pesta ini, kami menggelar tikar di halaman samping rumah dan menyalakan api unggun untuk menghangatkan suasana, kami makan sepuasnya sambil bercanda, semua masakan di masak oleh ibu, ibu sekarang lebih banyak di rumah, sejak setahun yang lalu ibu mengangkat mas Ramadlan jadi asestennya, ternyata mas Ramdlan pintar bisnis juga, sejak dia jadi asesten ibu perusahan garmen kami melejit pesat, sekarang sudah membuka beberapa cabang di daerah. Nah malam ini kami melakukan pesta karena ada dua kegembiraan, pertama karena kelulusan ku dari SMA, yang kedua keberhasilan mas Ramadlan memenangkan tender penyedian pakaian untuk sebuah istansi pemerintah.
Malam semakin larut, angin malam yang dingin merayap seluruh sendi sendi tulang ku, cahaya rembulan meski tetap dengan setia menyinari bumi, namun wujudnya sudah bergeser, sesekali burung malam lewat menyapa, bagai ikut mengucapkan selamat untukku, api unggun yang dibuat mas Ramadlan sudah padam, namun aku dan ibu masih ngobrol halaman samping. Mas Ramadlan sudah masuk ke kamarnya, katanya sudah ngantuk dan besok pagi dia akan berangkat ke daerah untuk menghadiri pertemuan dengan pengusaha daerah tersebut.
Ton..., rencanamu mau kuliah kemana..., tanya ibuku
Rencananya saya mau masuk fakultas keguruan dan imu pendidikan ..., saya mau jadi guru sejarah bu...
Kenapa tidak mengambil ekonomi, supaya bisa menggantikan ibu, mengelola perusahan kita...,
Maaf bu..., saya sepertinya tidak tertarik untuk berbisnis, sekali lagi saya mohon maaf bu...,
Kalo itu sudah pilihanmu ibu hanya mendoakan saja...,
Aku juga agak heran dengan jiwaku, ayahku pebisnis yang berhasil, ibuku juga piawi sekali dalam berbisnis, tapi aku sendiri tidak tertarik di dunia bisnis, aku lebih tertarik jadi guru, aku sangat bersyukur ibuku orang sangat demokrasi, beliau tidak pernah memaksakan kehendaknya, beliau selalu mengajak aku bermusyawarah dalam setiap mengambil keputusan. Ibu agak lama terdiam, raut mukanya seperti ada sesuatu yang mengganjal, jangan jangan ibu kecewa dengan keputusan ku, aku jadi serba salah, tidak pernah ibu seperti ini.
Mohon maaf bu..., kalo keputusan saya mengecewakan ibu...
Ahh..tidak nak...
Kenapa ibu keliahatan seperti menyimpan sesuatu....
Sebenarnya ibu mau mengatakan sesuatu...tapi...., ibu terdiam tidak melanjutkan bicaranya
Tapi ...apa bu, katakan saja...saya akan siap mendengarkannya...

Ibu masih diam, sepertinya ada sesuatu yang sangat berat, ada masalah apa aku jadi bertanya tanya, ibu mengerutkan dahinya, kemudian menghela nafas.
Bigini nak..., ibu minta pendapatmu
Masalah apa bu...
Ibu kembali diam,....ibu mau menikah...,
Bagus bu..., dengan siapa ... ? sebenarnya aku agak kaget juga mendengarnya, namun aku memaklumi. Ibu tidak langsung menjawab pertanyaanku, beliau kembali terdiam, dia menatap wajahku, aku jadi rikuh
Kamu sekarang sudah besar ..., kamu sudah bisa mandiri..., jawab ibuku
Jadi selama ini ibu tidak mau menikah lagi karena ingin membesarkanku tanpa terbagi kasih sayangnya dengan orang lain, sekarang sudah waktunya ibu mau menyerahkan tanggungjawab mengurus aku kepada diriku sendiri, aku kembali menanyakan dengan siapa ibu mau menikah.
Menurut kamu mas Ramadlan itu bagaimana orangnya....
Aku agak aneh ibu menanyakan tentang mas Ramadlan, padahal mas Ramadlan sadah lama bersama dan sekarang sudah diangkat jadi asesten oleh ibu, tapi kenapa ibu bertanya lagi tentang Ramadlan.
Apa maksu ibu....?
Ibu mau menikah dengan mas Ramadlan..., jawab ibuku sambil menatap wajahku, kemudian beliau menunduk.
Aku sangat kaget, kanapa ibu memilih dia, tapi aku tak bisa bertanya, lidahku kelu, mulutku seperti terkunci, apalagi usia ibuku lebih tua sepuluh tahun dari mas Ramadlan, kenapa ibu pilih dia.., kenapa..., walaupun aku tahu mas Ramadlan itu selama ini menunjukan prilaku yang baik, pintar mengelola usaha ibuku, tapi hatiku sepertinya tidak setuju, entah apa alasannya aku sendiri tidak tahu.
Bagaimana Ton...kamu setuju,
Aku hanya mengangguk, tapi hatiku berat sekali menerimanya, namun aku tidak bisa mengungkapkannya, lagi pula aku sendiri tidak tahu kenapa perasaanku begitu.
***
Ibu ternyata tidak mengurangi kasih sayangnya kepadaku, meskipun sudah punya suami , selama sepuluh bulan beliau berumahtangga kelihatannya ibu bahagia sekali, aku pun ikut bahagia melihat ibu bahagia. Sejak empat bulan ini ibu total di rumah saja, semua urusan bisnis diserahkan kepada Mas Ramadlan suami ibu. ‘’ibu mau istirahat, ibu ingin hidup tenang” suatu hari ibu mengungkapkan keinginannya. Sejak tidak mengurusi bisnis lagi, ibu mulai menulis buku, selain itu mengurusi rumah, yang dulunya dikerjakan mas Ramadlan sekarang ibu yang mengerjakan.
Sudah satu minggu mas Ramadlan tidak pulang, ibu bilang dia sedang dia sedang di daerah meresmikan cabang baru. Namun perasaanku ada yang aneh, karena sejak dua bulan ini sudah tiga kali mas Ramadlan sering jarang pulang, ibu sekarang mulai banyak diam, beliau lebih banyak mengurung diri di kamar, tidak seperti biasanya, kalo habis shalat subuh beliau ke dapaur menyiapkan sarapan setelah itu menyapu halaman, selesai semuanya ngobrol dengan aku, tanya bagaimana kuliahku, siapa saja teman temanku. Namun sekarang ibu setelah shalat subuh beliau cuma duduk duduk, untuk sarapan beliau beli di rumah makan di seberang jalan, kadang kadang beliau tidak makan.
Ibu tidak sarapan…,
Nanti aja Ton….,
Kalo ibu tidak sarapan nanti sakit…,

Ibu tidak menjawab hanya tersenyum, kemudian beliau masuk kamar dan baru shalat zuhur baru keluar lagi, setelah itu mengurung diri lagi di kamar.
Aku jadi sedih melihat ibu seperti itu, beliau tidak cerita, tidak biasanya ibu seperti ini, biasanya ibu selalu cerita dan minta pendapat aku kalau ada masalah, bahkan masalah bisnis saja ibu minta pendapatku, tapi sekarang kenapa beliau begitu, aku juga agak takut menanyakannya. Sampai pada suatu malam, sekitar pukul sebelas aku dengar ibu bertengkar dengan mas Ramadlan, sekilas ku dengar ibu menanyakan tentang perempuan yang sering menelpon mas Ramadlan, bahkan ibu juga pernah membaca SMS nya, itu yang ku dengar dari marah ibu, namun aku tidak begitu jelas mendengarnya. Setelah pertengkaran itu mas Ramadlan pergi. Sejak kepergian itu mas Ramadlan tidak pulang, sekarang sudah sepuluh hari.
***
Lega rasanya hari ini, seperti terbebas dari penjara, tidak sia sia usahaku salam ini, semua mata kuliah yang ku ambil lulus dengan nilai terbaik, setelah melihat pengumuman aku mau jalan jalan ke mall, sudah lama aku tidak ke mall, sejak sebulan yang lalu hanya bolik balik toko buku dan perpustakaan. Aku pergi dengan Dani teman satu kampusku, dia teman yang paling akrab, dia anak cerdas, aku selalu belajar bersama dengannya.
Sebenarnya aku dan Dani ke mall tidak ada yang akan dibeli hanya jalan jalan, dari lantai bawah naik ke lantai dua lalu kelantai tiga.
Aku haus kita minum dulu …., kataku kepada Dani
Okay….bos…, (dia panggil aku bos, karena aku yang sering yang bayar, kalo makan atau minum, sebenarnya aku tidak setuju, tapi teman aku yang satu ini tidak peduli tetap saja panggil aku bos)
Kami pesan jus alpukat dan rate coklat, kedua makanan ini adalah kesukaan kami, entah apakah Dani juga suka, atau hanya ikut ikutan aku aja suka, tapi selama ini dia tidak pernah protes.
Hey..Ton…, itu bukankah suami ibumu…., ucap Dani sambil menunjuk ke arah seorang laki laki dengan menggandeng seorang wanita muda, aku kaget, sampai jus alpukat yang ku pegang jatuh, ternyata apa ang diributkan ibu dengan mas Ramadlan itu betul tentang seorang peempuan, mas Ramadlan menghianati ibu, aku mau mengejar, ingin ku pukul dia, namun kalah cepat dengan tangan Dani, Dani memegang badanku,
Sabar ..Ton…, tidak enak di lihat orang ribut di tempat umum.
Ayo ita pulang aja…, lanjutnya Dani.
***
Sudah satu minggu ibu di opname di rumah sakit, mas Ramadlan tidak tidak datang juga, hp nya tidak diangkat, kalo ditelpon ke kantor sekretarisnya bilang belum masuk, lalu aku datang ke kantornya, sekretarisnya bilang ke luar kota, aku tanya satpam, kata satpam pagi tadi masih ada.
Aku kembali ke rumah sakit naik taxi, diperjalanan aku melihat mobil mas Ramadlan dan dia duduk dibelakang dengan seorang perempuan.
Bang…, kembali ikuti mobil merah itu…, perintahku kepada sopir taxi
Cepat bang….., kami mengejar mobil mas Ramdlan, pas diperempatan jalan mobil kami tertahan lampu merah, kami kehilangan jejak. Aku sangat kesal, akhirnya aku kembali ke rumah sakit.
Sesampainya di rumah sakit, aku langsung ke ruang VIP, tempat ibu menginap, begitu aku membuka pintu di dalam dokter dan perawat sedang memasang tabung oxegen, aku kaget dan cemas
Ada apa dok…..
Ibu mu susah bernafas…, kata dokter
Ibu tidak sadar, matanya terpejam, nafasnya memang keliatan susah sekali, aku duduk disamping beliau, ku pegang tangan beliau, muka ibu keliatan pucat sekali, badannya kurus, tak terasa aku mengeluarkan air mata, aku sangat sedih melihat nasib ibu berakhir begini, dia tidak pernah bahagia, dengan ayahku hidup berumahtangga tidak lama, dia hanya sendiri mengurusku, mengelola bisnis ayahku, beliau ingin hidup tenang bahagia diakhir hayatnya kawin dengan mas Ramadlan, ternyata dikhianati, duh… ibu malang benar nasib mu, aku tetap memegang tangan beliau sesekali ku cium.
Aku merasa ada yang membelai rambuku, oh…ibu sudah sadar, rupanya aku tadi tertidur di samping ibuku.
Nak..Toni…,
Ada apa bu…, ibu istirahat aja dulu
Kamu harus…sabar…, jangan mendendam dengan siapapun…., kalau kita sabar Tuhan akan mengasihi kita, Tuhan suka dengan orang yang sabar, dan Tuhan tidak suka dengan orang yang pendendam….
Iya bu…
Bagaimana hasil ujianmu nak…
Alhamdulillah nilainya baik semua bu…
Syukurlah…, tapi ingat, kamu jangan lupa shalat, setiap ada kesulitan minta tolonglah kepada Tuhan, jangan suka mengeluh, jangan putus asa, kebahagaian sebenarnya adalah nanti, asalkan kita selalu taat kepada Tuhan. Anak ku… ingat itu…dan…
Apa bu …
Aku ingin pulang…
Tapi ibu belum sembuh…
ibu sudah sehat kok…, ibu hanya kecapen…
***
Sebenarnya dokter tidak mengizinkan ibu pulang, tapi ibu bersikeras tetap ingin pulang, aku minta kepada dokter agar bisa datang ke rumah kalo di perlukan, dokternya besedia.
Sudah dua hari ibu di rumah, sekarang sudah kelihatan sehat, ibu mulai membaca buku lagi, dan melanjutkan menulis bukunya.
Sudah lama aku tidak ke mesjid, sejak ibu masuk rumah sakit aku tidak pulang ke rumah, sejak dua hari ibu di rumah, akupun tidak ke mesjid juga aku shalat di rumah, subuh ini ibu kelihatan sehat sekali, tadi waktu aku shalat tahajjud, ibu sudah bangun sedang membaca al Qur’an. Aku berangkat ke mesjid, setelah minta izin kepada ibu.
Setelah shalat aku ngobrol dengan pak imam dan haji Somad, mereka menanyakan tentang keadaan ibu, perasanku tidak enak ada apa, aku mohon pamit kepada pak imam dan haji Somad, aku bergegas pulang, sesampainya di rumah, aku memberi salam, namun tidak ada jawaban dari ibu, perasanku makin tidak enak, aku mempercepat langku menuju kamar ibu, ibu ku terbaring di atas sajadah, al Qur’an yang ia pegang terjatuh di lantai, aku langsung memeluk ibuku, ku taruh kepalanya di pangkuanku, nafasnya sudah tidak teratur lagi
Ibu…ibu..bangun bu…
Nak ..Toni ..ingat pesan ibu waktu di rumah sakit ya.,..
Setelah ibu mengingatkan pesannya waktu di rumah sakit, ibu diam dan badan lemah, saya pegang lehernya… dan…nadinya sudah tidak berdenyut lagi, ibuku sudah….
Ibuuuu…ibuuuu….
Mendengar teriakanku tetangga berdatangan, termasuk pak imam dan haji Somad.
Ibu uuuuuu……., jangan tinggalkan aku bu, ibu bangun bu…, bangun bu…
Sudah lah nak..ikhlaskan kepergian ibumu, kamu harus tabah, biar ibumu pergi dengan tenang.., Haji Somad menenangkanku.
Semua sudah diatur yang di atas, semua yang bernyawa pasti mati, kita semua akan mati, lanjut pa Haji menasehatiku.
Ya..ya pa Haji…
***
Aku masih duduk di teras samping, sementara penyiar di radio FM masih cuap cuap, lagu lagu lama masih mengalun, penyiar masih saja menceritakan hal hal lucu, tapi tidak memuatku tertawa, aku tidak terkesan dengan lelocon penyiar di radio itu, meskipun leloconnya sangat lucu, kalo biasanya aku tidak bisa menahan tawa, kadang kadang ibuku ikut ikutan duduk menemaniku beliaupun tertawa terpingkal pingkal, sekarang aku hanya sendiri, tidak ada lagi yang menemaniku, malam semakin larut sudah pukul berapa sekarang, aku tidak tahu, mungkin sudah pukul dua belas, cuaca semakin dingin namun aku belum ngantuk, di rumah sekarang semakin sepi, tidak ada lagi yang membangunkanku untuk shalat tahajjud, sudah satu minggu ibu meninggalkan ku, tapi mas Ramadlan tidak menampakkan batang hidungnya, tega sekali dia menghkianati ibu, dia lupa pertama kali dia datang hanya pengemis, ibu yang memberi dia pekerjaan, ibu yang mengangkat statusnya dari hanya sekedar tukang kebun menjadi asestennya di perusahaan, kemudian ibu mengawininya, dan ibu mempercayakan semua urusan bisnis kepadanya, setelah mendapatkan semuanya dia lupa diri, memang tidak tahu diri, kurang ajar sekali, orang seperti itu harus dimusnahkan saja di muka bumi ini, besok aku harus menemuinya di kantor, ku habisi saja dia….
Allahu akbar Allahu akbar….
Aku terkejut mendengar suara azan di mesjid, ternyata aku tertidur di teras samping, sudah subuh sekarang, astaqfirullah…aku tidak shalat tahajjud, aku bergegas ke kamar mandi, terus wudlu dan berangkat ke Mesjid.
***
Hari ini si jahannam itu harus mati, ku buka tas ranselku lalu ku masukkan pisau belati, pokoknya si jahannam itu harus ku bunuh. Aku naik taxi menuju kantor Ramadlan, kurang lebih tiga puluh menit aku sudah sampai di depan kantor perusahan ibuku, yang sekarang dikelola oleh Ramadlan jahannam itu, aku kaget kantor itu sudah berganti nama, satpamnya pun bukan pak Darmo, tapi aku tetap masuk ke halaman kantor itu.
Ada yang bisa saya bantu mas…., tanya satpam itu
Pak Ramadlan ada…, tanyaku
Ramadlan yang mana ya…, satpam itu bingung
Pimpinan perusahan ini…
Maaf mas pimpinan perusahan ini sekarang pak Sumardi…
Sejak kapan bergantinya pak…
Sudah dua hari ini…, perusahan ini dibeli oleh pak Sumardi….
Apa…, jadi…., kepalaku pusing mataku berkunang kunang dan aku sudah tidak ingat lagi….