THOUSANDS OF FREE BLOGGER TEMPLATES

Jumat, 08 Januari 2010

surga itu urusan allah

Meski aku tinggal di rumah, tiap malam aku ke pesantren dekat rumah. Setiap jam 7 malam aku menaiki sepeda menuju tarbiyah, begitu aku menyebutnya, atau madrasah malam, atau sekolah malam. Aku menyebutnya bukan sekolah, tetapi mengaji.

oOo

“Madzhab itu yang terkenal ada empat” Pak Irul berkata keras. Beliau adalah salah satu Ustadz di madrasah

“Apa saja Pak?

“Hanafi, hambali, syafi’i, dan maliki” kata beliau, “tapi yang umum digunakan di Indonesia, utamanya kaum Nahdliyin, adalah madzhab syafi’i”

Aku baru tahu kalau ada yang seperti dalam agamaku, Islam. Setahuku aku lahir dan dibesarkan dari bayi dalam lingkungan islam.

Pertama mendengar keterangan mengenai adanya madzhab-madzhab, aku merasa bingung. Namanya satu, Islam, tapi kok bermacam-macam.

oOo

Suatu malam sehabis mengaji aku bertanya pada pak Irul, “Mengapa harus ada perbedaan pak? Mengaa tidak semuanya Syafi’i saja atau Islam saja?”

Pak Irul lalu menimpali,”Islam dimana-mana sama. Yang berbeda itu tafsirannya. Orang itu tak ada yang sama di dunia. Pemahaman mengenai sesuatupun berbeda-beda. Sebenarnya sumbernya sama, tapi karena banyak faktor luar yang memengaruhinya, maka hasil tafsirannya berbeda. Ya, kan dunia ini terus berubah, jadi ya maklumlah”

Aku tak meneruskan perbincangan malam itu. Sudah terlalu malam.

Tapi, jujur saja, sebelum tidur aku sedikit bertanya-tanya. Aku masih belum paham.

oOo

Aku juga seorang pelajar. Aku sekolah di sebuah SMA negeri di kotaku. Kalau di sekolah, saya sering sholat berjamaah di mushola. Aku sering melihat bebrapa teman berbeda cara beribadahnya. Secara umum sama, tapi kalau secara detail melihat, ada beberapa yang berbeda.

“Kok sholatmu berbeda ya sama aku?”tanyaku.

Aku jelaskan bagian-bagian mana saja yang berbeda padanya dengan jelas. Aku juga menjelaskan bahwa aku mengikuti madzhab syafi’i.

“Beginilah yang diajarkan rasul!” jawabnya keras. Dia menganggap bahwa ia telah sesuai ajaran Nabi.

“Tunggu-tunggu, setahu saya apa yang saya lakukan ini telah sesuai ajaran islam. Tak ada masalah”

“Kamu itu bid’ah. Nabi tak pernah mengajarkan madzhab-madzhab. Dan segala bidah itu sesat, bisa kafir kamu!”

Aku kaget sekaget-kagetnya. Aku diajar mengenai kafir bahwa hal itu adalah sesuatu yang terlarang dalam ajaran agamaku. Neraka balasnnya. Aku tak habis pikir apa yang ada di otak temanku itu, tapi pernyataannya itu membuatku semakin bingung. Ada apa ini sebenarnya? Mengapa berbeda-beda.

Pak Irul selalu mengajarkan bahwa apa yang aku dan teman-teman lain pelajari di madrasah malam adalah juga sesuai Rasul. Kami menyebutnya ahlus sunah wal jamaah. Tapi, ketika aku tanyakan pada temanku tadi, ia juga mengaku ahlus sunah wal jamaah. Makin bingung saja aku..

oOo

Aku kembali menghampiri pak Irul. Aku ceritakan apa yang aku alami tadi siang. Panjang lebar, tapi ia dengan tenang mendengarkannya.

“Oh.. gitu..”

“Gitu apaan pak?”

“Gini, kan dulu sudah aku kasih tahu, kalau seiring dengan perubahan zaman, maka penafsiran terhadap agama itu juga mengikuti. Tapi ingat, intinya agama itu tetap sama, yakni meng-esa-kan Allah.

Agama Islam dulu memang diturunkan di Arab, tapi Islam bukan hanya untuk Arab. Islam itu rahmatallilalamin. Jadi buat siapa saja dan dimana saja.

Oleh karena itu, pada akhirnya Islam itu ditafsirkan orang-orang sesuai zaman dan tempatnya. Islam di arab itu tentu nuansanya berbeda dengan yang di sini.

Oya ngomong-ngomong masalah bid’ah, sebenarnya temanmu itu ngga salah. Tapi mungkin pemahamannya kurang benar. Inti agama itu memang ngga boleh berubah. Intinya kan ada rukun Islam sama rukun iman. Kalau masalah yang lain itu ya tambahan-tambahan aja. Terantung budaya sekitar.

Contohnya kalau dulu nabi itu ngga ada ceritanya mudik terus sungkem-sungkeman alau pas Idul Fitri. Tapi orang Indonesia kan begitu. Tidak ada masalah, kan tidak merusak rukun iman dan rukun Islam tadi.” jawabnya panjang.

“Pak, kalau di Islam sendiri kan ada beberapa madzhab, jujur saja pak, saya ini masih bingung. Mana yang paling benar pak?”

“Kamu harus pahami dulu, kalau yang paling benar itu hanya Tuhan, Allah SWT. Jadi semua itu bisa benar bisa salah. Nah, jadi mau apapun yang kamu yakini sekarang, itu juga bisa benar atau juga salah. Percaya atau tidak? Coba kamu kalau pakai madzhab syafii kan kalau laki-laki itu menyentuh perempuan maka batal kan? Coba kamu sekarang di Arab pas haji. Di sana itu laki perempuan tumplek-blek adi satu. Bersentuhan itu sudah tidak bisa dihindari. Jadi kalau tetap ngeyel harus wudlu, kamu kehabisan waktu. Nah, akhirnya ya bisa beralih ke madzab lain. Jadi fleksibel saja. Beragama itu ngga usah susah-susah. Ambil mana yang lebih mudah dan membuat kita nyaman.”

“Oh..gitu pak”

“Lha ya gitu, orang itu beragama biar dekat sama tuhan. Kalau terus menyusahkan diri dan menyalahkan orang lain kapan mendekatnya. Sedikit-sedikit salah, sedikit-sedikit bilang orang bid’ah. sedikit sedikit menuduh orang lain kafir.

Di dunia ini memang bermacam-macam. Jadi yang harus kamu lakukan teruslah belajar. Terus saling menghargai. Kebenaran di dunia itu relatif, jadi mungkin sekarang benar tapi nanti salah. Yang paling benar itu cuma Tuhan”

“Terus pak, kalau ada teman saya yang bilang bid’ah-bid’ah gitu?”

“Kalau mau diajak dialog ya dialog. Kalau memang tetep ngeyel ya sudah. Tidak usah diladeni. Namanya juga dunia, berbeda itu lumrah. Yang penting kamu itu menghargai mereka.”

“Oya pak, katanya saya bisa masuk neraka..”

“Halah, surga neraka itu urusan Allah, biar diurus sama Allah, kita ngga usah susah mikir itu, yang penting ibadah sungguh-sungguh saja.”

surga and neraka

Menjawab dengan Ahlakul Karimah

* Beranda
* Forum Diskusi
* Misi kami

Islam; Surga dan Neraka
2007 Maret 25
by islamiyah

Jika Allah sudah selesai memperhitungkan amal hamba-hambaNya, para penghuni surga akan dimasukan ke dalam surga dan para penghuni neraka dicampakkan ke dalam neraka. Keimanan pada kebenaran ini adalah bagian dari keimanan pada Allah. Tidaklah benar iman seseorang yang beriman kepada Allah, tetapi ia mengingkari surga dan neraka. Surga dan neraka adalah salah satu alam gaib Allah, sebagaimana halnya malaikat, hari akhir, dan cara perhitungan amal. Selanjutnya, keimanan pada Allah berarti beriman pada yang gaib, sebagaiman telah dibahas sebelumnya.

Allah memberitahukan kepada kita bahwa Dia mempunyai hamba-hamba yang akan masuk surga dan yang akan masuk neraka. Allah memberikan kabar gembira kepada orang-orang beriman dengan surga dan kenikmatannya, sama seperti halnya Dia menakut-nakuti hamba-hamba yang kafir dengan neraka dan siksaan di dalamnya.



Ketika menggambarkan neraka, Allah berfirman:

Bagi mereka lapisan-lapisan dari api di atas mereka dan di bawah merekapun lapisan-lapisan (dari api). Demikianlah Allah mempertakuti hamba-hamba-Nya dengan azab itu. Maka bertakwalah kepada-Ku hai hamba-hamba-Ku.( Az Zumar : 16 )





Ketika menggambarkan surga, Allah berfirman:

Dan sampaikanlah berita gembira kepada mereka yang beriman dan berbuat baik, bahwa bagi mereka disediakan surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya. Setiap mereka diberi rezki buah-buahan dalam surga-surga itu, mereka mengatakan : “Inilah yang pernah diberikan kepada kami dahulu.” Mereka diberi buah-buahan yang serupa dan untuk mereka di dalamnya ada isteri-isteri yang suci dan mereka kekal di dalamnya. ( Al Baqarah :25)



Sebelum membahas masalah pahala yang diletakan Allah di dunia, saya bermaksud menarik perhatian pembaca pada suatu hal pokok, yakni bahwa surga dan neraka adalah gaib.Segala sesuatu yang disebutkan tentang surga dan neraka tak lain dimaksudkan untuk memudahkan akal memahami maknanya. Allah berfirman :



Sesungguhnya orang-orang yang kafir kepada ayat-ayat Kami, kelak akan Kami masukkan mereka ke dalam neraka. Setiap kali kulit mereka hangus, Kami ganti kulit mereka dengan kulit yang lain, supaya mereka merasakan azab. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. (An Nisaa’ ;56)



Ketika Allah berfirman bahwa ada neraka yang membakar kulit, lalu Dia menggantikan kulitnya dengan kulit yang lain agar terus-menerus dibakar, di sini kita memahami bahwa tubuh manusia tidaklah sama seperti ketika di dunia ini. Ada sesuatu yang tidak diketahui terjadi pada tubuh manusia dan membuatnya tidak mati.



Dari realitas kehidupan di muka bumi, kita tahu bahwa jika api membakar kulit seseorang seluruhnya, ia akan mati seketika. Lalu, bagaimana api di akhirat membakar kulit manusia dan Allah menggantikannya dengan kulit lain agar pembakaran terus berlangsung? Apakah kematian akan mati di Hari kiamat kelak? Atau, apakah kita akan menjadi mahluk lain yang memperoleh berbagai siksaan di neraka Jahim atau memperoleh segala macam kenikmatan di surga?



Alquran menunjukkan adanya perbedaan wujud manusia di dunia dengan penciptaan yang baru di akhirat, di Hari Kiamat kelak:



Kami telah menentukan kematian di antara kalian. Kami sekali-kali tidak dapat dikalahkan…

Al quran tidak memberitahukan wujud lain manusia di akhirat kelak. Meskipun demikian, ia menyebutkan dengan jelas bahwa penciptaan bentuk lain ini berada dari penciptaan wujud pertama di dunia. Mungkin inilah benang pertama menakutkan yang mengantarkan kita menuju apa yang dijanjikan Allah. Kekuatan manusia untuk menanggung beban di muka bumi ini dibatasi oleh kehidupan dan tubuhnya. Sementara itu, kekuatan manusia untuk menanggung beban sesudah kebangkitannya dari kematian di akhirat kelak tidak dibatasi oleh apa pun. Dengan kata lain, kenikmatan dan siksaan di akhirat berlangsung terus-menerus dan bersifat kekal. Inilah hakikat pertama yang cukup untuk menyulut ketakutan dalam hati manusia. Usia relatif manusia di muka bumi ini berkisar antara enam puluh sampai seratus tahun, meskipun ada yang lebih dari itu. Namun, kelebihan itu tidaklah banyak. Dari segi ruang dan waktu, apakah bertahun-tahun ini sama dengan siksaan yang tidak pernah berhenti? Alquran memberitahukan kepada kita bahwa keras dan pedihnya azab Allah menyebabkan orang-orang kafir ingin mati dan berteriak.



Mereka berseru: “Hai Malik biarlah Tuhanmu membunuh kami saja.” Dia menjawab: “Kamu akan tetap tinggal (di neraka ini).” (Az Zukhruf : 77)



Malik adalah nama salah satu malaikat penjaga neraka yang sangat kasar. Para penghuni abadi neraka mencari perantara lewat Malik untuk mengantarkan mereka kepada Tuhannya, agar Dia mematikan mereka dan mengambil putusan atas mereka. Dengan singkat, jelas, pasti dan penuh ketenangan, Malik menjawab, “Kamu akan tetap tinggal di sini.” Jadi, tidak ada angan-angan untuk dapat keluar dari neraka dan tidak juga angan-angan untuk mati. Tidak ada jalan menuju peristirahatan.



Seorang penyair, Abu Thayyib al-Mutannabi, mengatakan:



Cukuplah menjadi penyakit bagimu bila engkau

memandang kematian sebagai obat,

Cukuplah kematian itu menjadi sebuah angan-angan.



Gambaran khayalan dalam syair di atas berubah menjadi kenyataan yang sesungguhnya dan dialami oleh orang-orang kafir dalam neraka. Mereka semua mengharapkan kematian agar dapat selamat dari azab. Namun, tidak ada lagi yang namanya kematian. Mereka semua dicampakan ke tempat yang penuh dengan kekerasan dan ketakutan, yang tidak pernah kenyang dan selalu menuntut tambahan. Allah berfirman:



(Dan ingatlah akan) hari (yang pada hari itu) Kami bertanya kepada jahannam : “Apakah kamu sudah penuh?” Dia menjawab : “Masih ada tambahan?” (Qaaf : 30)



Seorang mujahid mengatakan, di sana sama sekali tidak ada ucapan hanya saja, di sana terjadi pembicaraan dalam bentuk kiasan mengenai keadaan jahanam, bahwa ia telah terisi penuh dengan shingga tidak ada lagi tempat kosong. Kami tidak punya alasan untuk menolak pemahaman seperti ini, karena neraka adalah salah satu mahluk Allah. Di Hari Kiamat kelak, akan ada pembicaraan. Hari Kiamat akan membalikkan sifat dan tabiat segala sesuatu. Tangan dan kaki dapat berbicara. Kulit dan pendengaran dapat memberikan kesaksian. Jika anda renungkan dan perhatikan pertanyaan orang-orang kafir ihwal mengapa segenap anggota tubuh mereka menjadi saksi atas diri mereka, niscaya anggota-anggota tubuh itu menjawab bahwa Allah, yang membuat segala sesuatu berkata, menjadikan mereka mampu berkata juga.



Jika kita perhatikan hal itu, kita akan tahu bahwa tidaklah aneh kalau terjadi pembicaraan dengan neraka di Hari Kiamat kelak. Pembicaraan neraka selaras dengan suasan menakutkan yang digambarkan oleh Allah tentang azab-Nya yang ingin sekali — sekiranya mungkin — ditebus oleh orang-orang kafir dengan semua orang yang dicintainya. Allah berfirman :



…Orang kafir ingin kalau sekiranya dia dapat menebus (dirinya) dari azab hari itu dengan anak-anaknya, dan isterinya dan saudaranya, kaum familinya yang melindunginya (di dunia), dan orang-orang di atas bumi seluruhnya. Kemudian, (ia mengharapkan), tebusan itu dapat menyelamatkannya. Sekali-kali tidak dapat…(Qaaf :11-15)



Namun, angan-angan dan harapan orang-orang kafir untuk dapat menebus azab itu dan tidak akan pernah terwujud selamanya. Pada akhirnya, mereka semua akan masuk neraka karena beberapa faktor. Allah berfirman:

“Kecuali golongan kanan, berada di dalam syurga, mereka tanya menanya, tentang (keadaan) orang-orang yang berdosa, “Apakah yang memasukkan kamu ke dalam Saqar (neraka)?” Mereka menjawab: “Kami dahulu tidak termasuk orang-orang yang mengerjakan shalat, dan kami tidak (pula) memberi makan orang miskin, dan adalah kami membicarakan yang bathil, bersama dengan orang-orang yang membicarakannya, dan adalah kami mendustakan hari pembalasan, hingga datang kepada kami kematian.” (Al Muddatstsir : 39-47)

Dengan demikian orang-orang kafir mengakui faktor-faktor penyebab mereka dimasukkan ke dalam neraka. Begitulah, manusia masuk kedalam neraka Jahim karena amal-amal mereka. Akan tetapi, manusia masuk ke dalam surga berkat rahmat Allah, sebab amal manusia saja belumlah memadai untuk bisa memasukkannya ke dalam surga. Allah memperkenankan manusia masuk ke dalam surga-Nya karena rahmat-Nya, meskipun Allah menisbatkannya kepada amal manusia. Rasulullah saw. pernah berkata,



“Tidak ada seorang pun di antara kalian masuk surga karena amalnya.” Para sahabat bertanya, “Bahkan engkau sendiri, Ya Rasulullah?” Beliau menjawab, “Bahkan aku sendiri, kecuali bila Allah meliputiku dengan rahmat-Nya.”



Hakikat ini tidak menghapus ketentuan bahwa pintu surga terbuka buat orang-orang yang menjual dirinya kepada-Nya, berperang di jalan-Nya, menyembah-Nya, bersujud dan ruku’ kepada-Nya, dan memlihara hukum-hukum Allah.

Dalam Alquran, Allah menggambarkan sifat para penghuni surga:



Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang mukmin diri dan harta mereka dengan memberikan surga untuk mereka. Mereka berperang pada jalan Allah; lalu mereka membunuh atau terbunuh. (Itu telah menjadi) janji yang benar dari Allah di dalam Taurat, Injil dan Al Quran. Dan siapakah yang lebih menepati janjinya (selain) daripada Allah? Maka bergembiralah dengan jual beli yang telah kamu lakukan itu, dan itulah kemenangan yang besar. Mereka itu adalah orang-orang yang bertaubat, yang beribadat, yang memuji, yang melawat, yang ruku’, yang sujud, yang menyuruh berbuat ma’ruf dan mencegah berbuat munkar dan yang memelihara hukum-hukum Allah. Dan gembirakanlah orang-orang mukmin itu. ( At Taubah :111-112 )



Akidah Islam berlandaskan keimanan pada surga dan neraka, yakni keimanan pada kenimatan surga dan azab neraka. Kenikmatan surga dan azab neraka tidak hanya bersifat sensual atau inderawi. Ada kaidah pokok yang menjamin keberadaan surga dan neraka, yang dikemukakan oleh Rasulullah saw. dalam sebuah hadis. Diriwayatkan dari Abu Hurayrah bahwa Nabi Muhammad bersabda, “Allah menjanjikan untuk hamba-hamba-Nya yang salih sesuatu yang tidak pernah dilihat mata, tidak pernah didengar telinga, dan tidak pernah terlintas dalam hati manusia. Jika kalian menginginkannya, bacalah ayat Alquran: Seseorang pun tidak mengetahui apa yang disembunyikan untuk mereka, yakni (bermacam-macam nikmat) yang dapat menyedapkan pandangan.” ( As Sajdah :17 ) (H.R Bukhari).



Sabda Nabi Muhammad diatas berkenaan dengan surga. Ini berkebalikan pemahamannya (bi-mafhum al-mukhalafah) dengan neraka. Dengan kata lain, Allah telah menjanjikan untuk hamba-hamba-Nya yang kafir sesuatu yang tidak pernah dilihat oleh mata, tidak pernah didengar telinga, dan tidak pernah terlintas dalam hati manusia. Allah berfirman:



…Lalu diadakan di antara mereka dinding yang mempunyai pintu. Di sebelah dalamnya ada rahmat dan di sebelah luarnya dari situ ada siksa. ( Al Hadiid :13 )



Jadi kenikmatan di akhirat tidak sama dengan kenikmatan dunia. Azab akhirat tidak sama dengan azab dunia. Sifat-sifatnya berbeda, meskipun sebutannya sama. Tidak ada sesuatu pun disurga yang sama dengan apa yang ada di dunia. Hanya namanya saja yang sama. Begitu pula halnya dengan neraka.



Kita tidak menjelaskan perihal kenikmatan tertinggi di dalam surga sebagaimana di gambarkan oleh akidah Islam. Demikian juga, kita tidak menjelaskan ihwa azab paling menakutkan di neraka. Buah-buahan, bidadari bermata jeli, daging buruan, dan segala macam kenikmatan di dalam surga berada di luar jangkauan pemkiran kita. Demikian pula halnya dengan neraka Jahim yang membakar kulit, melumatkan perut, dan mendidihkan otak manusia semuanya berada di luar jangkauan pemikiran kita.



Kita berbicara tentang Allah. Orang-orang yang beribadah kepada Allah karena takut pada api neraka-Nya mirip seorang budak yang takut kepada tuannya. Mereka yang beribadah kepada Allah karena menginginkan surga-Nya mirip seorang budak yang menginginkan harta kekayaan tuannya. Ketakutan dan keinginan tidak menjadi masalah selama keduanya berorientasi kepada Allah. Namun, di atas keinginan dan ketakutan itu, ada sebuah puncak yang tidak akan pernah bisa kita capai.



Puncak dari segalanya dan akar dari kehidupan orang-orang yang menempuh perjalanan menuju Tuhannya adalah Allah Yang Mahasuci, Mahaagung, Mahamulia, Yang Menutup dir-Nya dari penghuni neraka karena kemurkaan-Nya kepada mereka, dan membuka cahaya hijab-Nya yang suci agar para penghuni surga bisa melihat-Nya.



Tentang para penghuni neraka, Allah berfirman:



Sekali-kali tidak, sesungguhnya mereka pada hari itu benar-benar tertutup dari (rahmat) Tuhan mereka.( Al Muthaffifin : 15)

Tentang para penghuni surga, Allah berfirman:



Wajah-wajah (orang-orang mukmin) pada hari itu berseri-seri, Kepada Tuhannyalah mereka melihat. ( Al Qiyaamah : 22-23)



Pada waktu itu, neraka akan menampakkan wujud hakikinya dan mulailah azab bagi orang-orang yang tertutup dari Allah. Begitu pula, surga memperlihatkan wujud hakikinya dan mulailah kenikmatan bagi orang-orang yang diperkenankan melihat Allah. Neraka dan Surga tidak terlihat, dan tampaklah hakikat yang sangat besar. Yang ada hanyalah neraka yang jauh dari Allah dan, di samping itu, kenikmatan melihat wajah-Nya.

Busby SEO Test

pahala

كِلاَهُمَا فَلاَ تَقُل لَّهُمَآ أُفٍّ وَلاَ تَنْهَرْهُمَا وَقُل لَّهُمَا قَوْلاً كَرِيمًا . وَاخْفِضْ لَهُمَا جَنَاحَ الذُّلِّ مِنَ الرَّحْمَةِ وَقُل رَّبِّ ارْحَمْهُمَا كَمَا رَبَّيَانِي صَغِيرًا .

Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia. Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan dan ucapkanlah: “Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil.” (QS Al Isro : 23-24)

Sungguh indah dan bahagianya tatkala kita bisa menunaikan dalil diatas. Namun sayangnya betapa sedikit manusia saat ini yang diberi taufiq Allah dapat menunaikan dalil diatas.

Memang sulit berbakti dengan orang tua kita sebagaimana yang diperintahkan Allah. Allah telah melarang kita mendurhakai mereka walau sekedar perkataan “ah”, padahal kata tersebut merupakan tataran terringan dari perkataan yang buruk (Lihat Tafsir Ibnu Katsir). Maka bagaimana lagi dengan ucapan “ck” atau “males buk” atau perkataan lain yang sering keluar dari lisan kita karena saking biasanya kita bergaul dengan kedua orang tua kita??

Padahal keutamaan berbakti kepada keduanya –sebagaimana dalil diatas, Allah meletakkannya setelah perintah tauhidullah Azza wa Jalla, ini menunjukkan besarnya urusan berbakti pada keduanya disisi Allah. Lihatlah juga apa yang beliau sampaikan tatkala ada seorang shahabat, yakni ‘Abdullah bertanya kepada beliau,
أَيُّ الْعَمَلِ أَحَبُّ إِلَى اللهِ تَعَالَى ؟ قَالَ: ” الصَّلَاةُ لِوَقْتِهَا “، قُلْتُ: ثُمَّ أَيُّ ؟ قَالَ: ” بِرُّ الْوَالِدَيْنِ “، قُلْتُ: ثُمَّ أَيُّ ؟ قَالَ: ” الْجِهَادُ فِي سَبِيلِ اللهِ “

“Amalan apa yang paling dicintai disisi Allah?”, Lantas Beliau menjawab, “Shalat tepat pada waktunya.”, “Kemudian apa?”, beliau menjawab, “Berbakti pada kedua orang tua.”, “Kemudian apa lagi?”, beliau menjawab “Jihad di jalan Allah.” (HR Bukhori -Muslim)

Perhatikanlah bagaimana Rasulullah bahkan mendahulukan berbakti kepada kedua orang tua daripada berjihad fisabilillah. Dan Allah juga mendudukkan keutamaan berbakti pada kedua orang tua setelah shalat 5 waktu, hal inipun menunjukkan betapa besarnya urusan berbakti pada orang tua (Khulashoh fi ahkam bir al walidain –ali ibn nayif asy syuhud, beliau menukil dari al jami’ li ahkamil quran –al qurthubi )

Inilah Dosanya

Adapun ganjaran bagi orang yang durhaka pada kedua orang tuanya, maka Allah dan Rasulnya mengancam dengan ancaman yang sangat berat, yakni tidak masuk surga. Rasulullah bersabda,
لا يدخل الجنة عاق

Tidak masuk surga orang yang durhaka (pada kedua orang tua) (HR An Nasa’i dan Ahmad, diambil dari Al Kabair Imam Adz Dzahabi)

Bahkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memasukkan dosa ini ke dalam dosa besar, dan Imam Adz Dzahabi rahimahullah memasukkan ini dalam dosa besar yang ke-6 dalam Al Kabair. Rasulullah bersabda,
ألا أنبئكم بأكبر الكبائر؟ [فذكر منها عقوق الولدين]

Maukah kukabarkan kepada kalian dosa besar yang paling besar? [kemudian diantaranya beliau menyebutkan durhaka pada orang tua] (muttafaqun ‘alaih)

Semoga Allah Ta’ala menghindarkan kita dari dosa besar ini. Wal’iyadzu billah.

Inilah Bakti Para Nabi Pada Orang Tuanya

Allah memberikan perintah untuk berbakti kepada orang tua tidak hanya pada umat Rasulullah saja. Namun sejak zaman para anbiya ‘alaihimus shalawatu wa sallam, mereka telah berbakti pada orang tuanya. Lihatlah khobar Allah tentang bakti Yahya alaihissalam pada orang tuanya –yaitu Zakariya alaihissalam.
يَا يَحْيَى خُذِ الْكِتَابَ بِقُوَّةٍ وَآتَيْنَاهُ الْحُكْمَ صَبِيًّا . وَحَنَانًا مِنْ لَدُنَّا وَزَكَاةً وَكَانَ تَقِيًّا . وَبَرًّا بِوَالِدَيْهِ وَلَمْ يَكُنْ جَبَّارًا عَصِيًّا.

Hai Yahya, ambillah Al Kitab (Taurat) itu dengan sungguh-sungguh. Dan kami berikan kepadanya hikmah selagi ia masih kanak-kanak. Dan rasa belas kasihan yang mendalam dari sisi Kami dan kesucian (dan dosa). dan ia adalah seorang yang bertakwa. Dan seorang yang berbakti kepada kedua orang tuanya, dan bukanlah ia orang yang sombong lagi durhaka. (QS Maryam 12-14)

Begitu juga Allah memberikan khobar pada kita tentang bakti Isa Ibn Maryam pada ibunya alaihimassalam dalam surat yang sama.
وَجَعَلَنِي مُبَارَكًا أَيْنَ مَا كُنْتُ وَأَوْصَانِي بِالصَّلَاةِ وَالزَّكَاةِ مَا دُمْتُ حَيًّا . وَبَرًّا بِوَالِدَتِي وَلَمْ يَجْعَلْنِي جَبَّارًا شَقِيًّا.

dan Dia menjadikan aku seorang yang diberkati di mana saja aku berada, dan Dia memerintahkan kepadaku (mendirikan) shalat dan (menunaikan) zakat selama aku hidup, dan berbakti kepada ibuku, dan Dia tidak menjadikan aku seorang yang sombong lagi celaka. (Maryam 31-32)

Bagaimana bentuk bakti kita pada keduanya? Semoga Allah memudahkan kami menyampaikannya dalam kesempatan lain. Washallallahu ‘ala nabiyina Muhammad, walhamdu lillahi robbil ‘alamin. (banyak mengambil faedah dari sebuah artikel Khulashoh fi ahkam bir al walidain –ali ibn nayif asy syuhud )

Ibn Hamzah

Ghafarallahu lahu wa li walidaihi
Ditandai sebagai:berbakti, Dosa, OrangTua, Pahala

leave a comment
4 AMALAN RINGAN YANG DAPAT MENGHAPUS DOSA YANG TELAH LALU
Ditulis dalam Aqidah, Hadits, TazkiyatunNafs oleh bagussetiawan pada 15 Oktober 2009

grass

Berikut ana sampaikan amalan-amalan ringan yang dapat menghapuskan dosa-dosa kecil yang telah lalu,

1. Berwudhu’ Sesuai Ajaran Rasul dan Melanjutkan Shalat Sunnah Wudhu’

Diriwayatkan dari Utsman ibn Affan radhiyallahu ‘anhu,
عن حمران مولى عثمان ابن عفان، أنه رأى عثمان دعا بوضوء، فأفرغ على يديه من إنائه ثلاث مرات. ثم أدخل يمينه في الوضوء. ثم تمضمض واستنشق واستنثر. ثم غسل وجهه ثلاثا. ثم مسح برأسه. ثم غسل كلتا رجليه ثلاثا. ثم قال: رأيت النبي صلى الله عليه وسلم توضأ نحو وضوئي هذا وقال: من توضأ نحو وضوئي هذا. ثم صلى ركعتين لا يحدث نفسه فيهما غفر له ما تقدم من ذنبه

Dari Humron –bekas budak Utsman ibn Affan radhiyallahu ‘anhu, pernah melihat Utsman meminta air wudhu. Beliau lantas menuangkan air tersebut dari wadahnya pada kedua telapak tangannya sekaligus membasuh keduanya tiga kali. Kemudian beliau mencelupkan tangan kanannya ke dalam air tersebut, kemudian berkumur-kumur, beristinsyaq (memasukkan air kedalam hidung), dan beristinsyar (mengeluarkan air istinsyaq). Lalu beliau membasuh wajahnya tiga kali, membasuh kedua tangan sampai kedua sikunya tuga kali, kemudian mengusap kepalanya. Setelah itu beliau membasuh kedua kakinya tiga kali dan mengatakan, ”Aku melihat Nabi shallallahu alaihi wa sallam berwudhu’ seperti wudhu’ku ini, kemudian Nabi bersabda, ‘Barangsiapa berwudhu seperti wudhuku ini kemudian mengerjakan shalat dua rakaat dengan penuh kekhusyu’an, maka Allah akan mengampuni dosanya yang telah lalu.’” (HR Bukhari- Muslim, lihat hadits ke-8 Umdatul Ahkam karya Syaikh Abdul Ghani Al Maqdisi)

2. Berpuasa Ramadhan Disertai Iman dan Mengharap Pahala Allah

Dalam sebuah hadits yang sudah sangat sering kita dengarkan. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
من صام رمضان إيمانا واحتسابا غفر له ما تقدم من ذنبه

“Barangsiapa berpuasa Ramadhan disertai dengan Iman dan mengharap pahala dari Allah diampuni dosa-dosanya yang telah lalu.” (HR. Bukhari-Muslim dan Ahmad)

3. Mengamini Al Fatihah Imam Sehingga mencocoki Aminnya Malaikat

Dari Abu Hurairah sip juga beliau mengatakan, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إذا قال الإمام: (غَيرِ المَغضُوب عَلَيهِم وَلا َالضَّاِّلين). فقولوا: آمين فإن من وافق قوله قول الملائكة غفر له ما تقدم من ذنبه

“Jika imam shalat membaca ‘ghoiril maghdhuubi ‘alaihim waladhdholin’, kemudian katakanlah Amiin. Sesugguhnya barangsiapa yang bisa mencocoki aminnya Malaikat akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu. (HR. Bukhari)

4. Berdzikir Setelah Makan

Dari Mu’adz ibn Anas radhiyallahu ‘anhu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
من أكل طعاما فقال: الحمد لله الذي أطعمني هذا ورزقنيه من غير حول مني ولا قوة غفر له ما تقدم من ذنبه

Barangsiapa yang makan, kemudian setelah selesai membaca, ‘alhamdulillahilladzi ath’amaniy hadza wa razaqanihi min ghoiri haulin minni wa laa quwwatin’ maka diampuni dosanya yang telah lalu. (HR. Abu Daud, Tirmidzi, Tirmidzi mengatakan hadits ini hasan shahih, dan Ibnu Majah, syaikh Albany mengatakan hadits ini hasan, lihat Irwaa’ul Gholil)

hikmah2 shalat

Hikmah-hikmah Shalat

Kita sebagai manusia dengan keterbatasan tidak mungkin mengetahui dan mengungkap seluruh hikmah yang terkandung dalam apa yang Allah syariatkan dan tetapkan. Apa yang kita ketahui dari hikmah Allah hanyalah sebagian kecil, dan yang tidak kita ketahui jauh lebih besar, “Dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit.” (Al-Isra`: 85).

Allah adalah al-Hakim, pemilik hikmah, tidak ada sesuatu yang Dia syariatkan kecuali ia pasti mengandung hikmah, tidak ada sesuatu dari Allah yang sia-sia dan tidak berguna karena hal itu bertentangan dengan hikmahNya.

Sekecil apapun dari hikmah Allah dalam sesuatu yang bisa kita ketahui, hal itu sudah lebih dari cukup untuk mendorong dan memacu kita untuk melakukan sesuatu tersebut karena pengetahuan tentang kebaikan sesuatu melecut orang untuk melakukannya.

Setiap perintah Allah Subhanahu wa Ta'ala mengandung kebaikan untuk hamba-hamba-Nya. Memperhambakan diri kepada Allah bermanfaat untuk kepentingan dan keperluan yang menyembah bukan yang disembah. “Aku tidak menghendaki rezki sedikitpun dari mereka dan Aku tidak menghendaki supaya memberi Aku makan. Sesungguhnya Allah, Dialah Maha Pemberi rezki Yang Mempunyai Kekuatan lagi Sangat Kokoh.” (QS. Adz-Dzariyaat: 57-58)

Penghambaan kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala yang menjadi tujuan hidup dan tujuan keberadaan kita di dunia, bukanlah suatu penghambaan yang memberi keuntungan bagi yang disembah, tetapi penghambaan yang mendatangkan kebahagiaan bagi yang menyembah. Penghambaan yang memberikan kekuatan bagi yang menyembahnya.

وَمَنْ شَكَرَ فَإِنَّمَا يَشْكُرُ لِنَفْسِهِ وَمَنْ كَفَرَ فَإِنَّ رَبِّي غَنِيٌّ كَرِيمٌ

“Dan barangsiapa yang bersyukur maka sesungguhnya dia bersyukur untuk (kebaikan) dirinya sendiri dan barangsiapa yang ingkar, maka sesungguhnya Rabbku Maha Kaya lagi Maha Mulia.” (QS. An-Naml: 40)

Imam Qatadah berkata: “Sesungguhnya Allah memerintahkan sesuatu kepada kalian bukan karena berhajat padanya, dan tidak melarang sesuatu atas kalian karena bakhil. Akan tetapi Dia memerintahkan sesuatu pada kalian karena di dalamnya terdapat kemaslahatan untuk kalian, dan melarang sesuatu karena di dalamnya terdapat mafsadat (kerusakan). Oleh karenanya bukan hanya satu tempat di dalam al-Qur’an yang memerintahkan berbuat perbaikan dan melarang berbuat kerusakan.”

Ibadah shalat yang merupakan ibadah teragung dalam Islam termasuk ibadah yang kaya dengan kandungan hikmah kebaikan bagi orang yang melaksanakannya. Siapa pun yang mengetahui dan pernah merasakannya mengakui hal itu, oleh karena itu dia tidak akan rela meninggalkannya, sebaliknya orang yang tidak pernah mengetahui akan berkata, untuk apa shalat? Dengan nada pengingkaran.

Di antara hikmah-hikmah shalat adalah:

Pertama: Manusia memiliki dorongan nafsu kepada kebaikan dan keburukan, yang pertama ditumbuhkan dan yang kedua direm dan dikendalikan. Sarana pengendali terbaik adalah ibadah shalat. Kenyataan membuktikan bahwa orang yang menegakkan shalat adalah orang yang paling minim melakukan tindak kemaksiatan dan kriminal, sebaliknya semakin jauh seseorang dari shalat, semakin terbuka peluang kemaksiatan dan kriminalnya. Firman Allah Subhanahu wa Ta'ala;

إِنَّ الصَّلَاةَ تَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ

“Dan dirikanlah shalat, sesungguhnya shalat itu mencegah dari perbuatan-perbuatan keji dan mungkar.” (Al-Ankabut: 45).

Dari sini kita memahami makna dari penyandingan Allah antara menyia-nyiakan shalat dengan mengikuti syahwat yang berujung kepada kesesatan.

فَخَلَفَ مِنْ بَعْدِهِمْ خَلْفٌ أَضَاعُوا الصَّلَاةَ وَاتَّبَعُوا الشَّهَوَاتِ فَسَوْفَ يَلْقَوْنَ غَيًّا

“Maka datanglah sesudah mereka, pengganti (yang jelek) yang menyia-nyiakan shalat dan memperturutkan hawa nafsunya, maka mereka kelak akan menemui kesesatan.” (Maryam: 59).

Kedua: Seandainya seseorang telah terlanjur terjatuh kedalam kemaksiatan dan hal ini pasti terjadi karena tidak ada menusia yang ma’shum (terjaga dari dosa) selain para nabi dan rasul, maka shalat merupakan pembersih dan kaffarat terbaik untuk itu.
Rasulullah shallalahu 'alaihi wasallam mengumpamakan shalat lima waktu dengan sebuah sungai yang mengalir di depan pintu rumah salah seorang dari kita, lalu dia mandi di sungai itu lima kali dalam sehari semalam, adakah kotoran ditubuhnya yang masih tersisa?
Dari Abu Hurairah radliyallahu 'anhu berkata, aku mendengar Rasulullah shallalahu 'alaihi wasallam bersabda, “Menurut kalian seandainya ada sungai di depan pintu rumah salah seorang dari kalian di mana dia mandi di dalamnya setiap hari lima kali, apakah masih ada kotorannya yang tersisa sedikit pun?” Mereka menjawab,”Tidak ada kotoran yang tersisa sedikit pun.” Rasulullah saw bersabda, “Begitulah perumpamaan shalat lima waktu, dengannya Allah menghapus kesalahan-kesalahan.” (HR. al-Bukhari dan Muslim).

Dari Ibnu Mas’ud radliyallahu 'anhu bahwa seorang laki-laki mendaratkan sebuah ciuman kepada seorang wanita, lalu dia datang kepada Nabi shallalahu 'alaihi wasallam dan menyampaikan hal itu kepada beliau, maka Allah menurunkan, “Dan dirikanlah shalat itu pada kedua tepi siang (pagi dan petang) dan pada bahagian permulaan daripada malam. Sesungguhnya perbuatan-perbuatan yang baik itu menghapuskan (dosa) perbuatan-perbuatan yang buruk.” (Hud: 114) Laki-laki itu berkata, “Ini untukku?” Nabi shallalahu 'alaihi wasallam menjawab, “Untuk seluruh umatku.” (Muttafaq Alaihi).

Ketiga: Hidup manusia tidak terbebas dari ujian dan cobaan, kesulitan dan kesempitan dan dalam semua itu manusia memerlukan pegangan dan pijakan kokoh, jika tidak maka dia akan terseret dan tidak mampu mengatasinya untuk bisa keluar darinya dengan selamat seperti yang diharapkan, pijakan dan pegangan kokoh terbaik adalah shalat, dengannya seseorang menjadi kuat ibarat batu karang yang tidak bergeming di hantam ombak bertubu-tubi.
Firman Allah, (artinya) “Jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu, dan sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyu’.” (Al-Baqarah: 45).
Ibnu Katsir berkata, “Adapun firman Allah, ‘Dan shalat’, maka shalat termasuk penolong terbesar dalam keteguhan dalam suatu perkara.”
Firman Allah (artinya), “Hai orang-orang yang beriman, jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu. Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar.” (Al-Baqarah: 153).
Ibnu Katsir berkata, “Allah Taala menjelaskan bahwa sarana terbaik sebagai penolong dalam memikul musibah adalah kesabaran dan shalat.”

Imam Abu Dawud meriwayatkan dari Hudzaefah bahwa jika Rasulullah shallalahu 'alaihi wasallam tertimpa suatu perkara yang berat maka beliau melakukan shalat. (HR. Abu Dawud nomor 1319).

Keempat: Hidup memiliki dua sisi, nikmat atau musibah, kebahagiaan atau kesedihan. Dua sisi yang menuntut sikap berbeda, syukur atau sabar. Akan tetapi persoalannya tidak mudah, karena manusia memiliki kecenderungan kufur pada saat meraih nikmat dan berkeluh kesah pada saat meraih musibah, dan inilah yang terjadi pada manusia secara umum, kecuali orang-orang yang shalat. Orang yang shalat akan mampu menyeimbangkan sikap pada kedua keadaan hidup tersebut.

Firman Allah, (artinya), “Sesungguhnya manusia diciptakan bersifat keluh kesah lagi kikir. Apabila ia ditimpa kesusahan ia berkeluh kesah. Dan apabila ia mendapat kebaikan ia amat kikir, kecuali orang-orang yang mengerjakan shalat, yang mereka itu tetap mengerjakan shalatnya.” (Al-Ma’arij: 19-23).
Ibnu Katsir berkata, “Kemudian Allah berfirman, ‘Kecuali orang-orang yang shalat’ yakni manusia dari sisi bahwa dia memiliki sifat-sifat tercela kecuali orang yang dijaga, diberi taufik dan ditunjukkan oleh Allah kepada kebaikan yang dimudahkan sebab-sebabnya olehNya dan mereka adalah orang-orang shalat.”

Sebagian dari hikmah yang penulis sebutkan di atas cukup untuk membuktikan bahwa shalat adalah ibadah mulia lagi agung di mana kita membutuhkannya dan bukan ia yang membutuhkan kita, dari sini kita mendapatkan ayat-ayat al-Qur`an menetapkan bahwa perkara shalat ini merupakan salah satu wasiat Allah kepada nabi-nabi dan wasiat nabi-nabi kepada umatnya.

Allah berfirman tentang Isa putra Maryam,

وَجَعَلَنِي مُبَارَكًا أَيْنَ مَا كُنْتُ وَأَوْصَانِي بِالصَّلَاةِ وَالزَّكَاةِ مَا دُمْتُ حَيًّا

“Dan Dia menjadikan aku seorang yang diberkahi di mana saja aku berada, dan dia mewasiatkan kepadaku (mendirikan) shalat dan (menunaikan) zakat selama aku hidup.” (Maryam: 31).

Allah berfirman tentang Musa, (artinya) “Dan dirikanlah shalat untuk mengingat Aku.” (Thaha: 14).

Allah berfirman tentang Ismail, (artinya) “Dan ia menyuruh ahlinya untuk shalat dan menunaikan zakat, dan ia adalah seorang yang diridhai di sisi Tuhannya.” (Maryam: 55).

Allah berfirman tentang Ibrahim, (artinya) “Ya Tuhanku, jadikanlah aku dan anak cucuku orang-orang yang tetap mendirikan shalat, Ya Tuhan kami, perkenankanlah doaku.” (Ibrahim: 40).

Allah berfirman tentang Nabi Muhammad, (artinya) “Dan perintahkanlah kepada keluargamu mendirikan shalat dan bersabarlah kamu dalam mengerjakannya.” (Thaha: 132).
Wallahu a’lam!!!!

bersyukur di hr idul ftri

Bersyukur di Hari Raya Idul Fithri
[Print View] [kirim ke Teman]

اللهُ أَكْبَرُ، اللهُ أَكْبَرُ، اللهُ أَكْبَرُ، اللهُ أَكْبَرُ، اللهُ أَكْبَرُ، اللهُ أَكْبَرُ، اللهُ أَكْبَرُ، اللهُ أَكْبَرُ، اللهُ أَكْبَرُ، اللهُ أَكْبَرُ، اللهُ أَكْبَرُ، لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ وَاللهُ أَكْبَرُ وَلِلهِ الْحَمْدُ، اللهُ أَكْبَرُ كَبِيرًا وَالْحَمْدُ لِلهِ كَثِيْرًا وَسُبْحَانَ اللهِ بُكْرَةً وَأَصِيلًا. الْحَمْدُ لِلهِ الَّذِي شَرَعَ لِعِبَادِهِ عِيْدًا يَذْكُرُوْنَهُ فِيْهِ، وَيَشْكُرُوْنَهُ عَلَى فَضْلِهِ وَإِحْسَانِهِ، وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ يَسْتَوِي عِنْدَهُ مَا فِيْ سِرِّ الْعَبْدِ وَإِعْلاَنِهِ، وََأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ، أَرْسَلَهُ اللهُ بِالْحَقِّ وَتِبْيَانِهِ، صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ وَمَنِ اهْتَدَى بِهُدَاهُ، أَمَّا بَعْدُ:
Segala puji bagi Allah Subhanahu wa Ta’ala yang memiliki nama-nama yang husna dan sifat-sifat yang sempurna. Puji dan syukur kita panjatkan kepada-Nya atas kemudahan agama yang telah dikaruniakan kepada hamba-hamba-Nya. Aku bersaksi bahwasanya tidak ada yang berhak untuk diibadahi dengan benar kecuali hanya Allah Subhanahu wa Ta’ala semata, dan aku bersaksi bahwasanya Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah hamba dan utusan-Nya. Shalawat dan salam semoga senantiasa tercurah kepada Rasulullah, keluarganya, para sahabatnya dan seluruh kaum muslimin yang mengikuti jalannya.
Ma’asyiral muslimin rahimakumullah,
Marilah kita senantiasa bertakwa dan bersyukur kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Karena, dengan sebab pertolongan-Nya kita semua bisa menjumpai seluruh hari di bulan puasa. Mudah-mudahan amal ibadah yang telah kita kerjakan di bulan yang penuh keutamaan tersebut diterima oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala. Dan mudah-mudahan seluruh kesalahan serta kekurangan yang kita lakukan di bulan yang mulia tersebut diampuni oleh-Nya.
Saudara-saudaraku kaum muslimin rahimakumullah,
Hari ini adalah hari yang penuh kebahagiaan bagi kaum mukminin. Betapa tidak. Kaum mukminin telah melewati bulan yang Allah Subhanahu wa Ta’ala istimewakan. Kita juga telah dimudahkan oleh-Nya dalam mengisi hari-hari di bulan tersebut dengan berbagai bentuk ketaatan yang disyariatkan oleh-Nya. Kaum mukminin telah diberi taufiq oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala untuk meraih berbagai keutamaan yang telah Allah Subhanahu wa Ta’ala curahkan di bulan tersebut. Karena itulah, kaum mukminin pada hari ini berbahagia dan bersyukur kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Bukan berbahagia karena semata-mata baju baru yang dipakainya. Bukan berbahagia karena beraneka ragam makanan dan minuman yang ada di hadapannya. Kaum mukminin bukanlah orang-orang yang berbangga karena dunia yang telah diperolehnya. Akan tetapi mereka bangga dan bahagia karena pertolongan Allah Subhanahu wa Ta’ala yang dikaruniakan kepadanya, sehingga bisa menjalankan berbagai amal ketaatan selama hari-hari yang dilaluinya di bulan Ramadhan. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :
قُلْ بِفَضْلِ اللهِ وَبِرَحْمَتِهِ فَبِذَلِكَ فَلْيَفْرَحُوا هُوَ خَيْرٌ مِمَّا يَجْمَعُونَ
“Katakanlah: ‘Dengan karunia Allah dan rahmat-Nya, hendaklah dengan itu mereka bergembira. Karunia Allah dan rahmat-Nya itu adalah lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan’.” (Yunus: 58)
Hadirin rahimakumullah,
Hari ini adalah hari untuk bersyukur kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan berdzikir kepada-Nya. Sekaligus hari ini adalah hari untuk makan dan minum. Kaum muslimin dilarang berpuasa pada hari yang penuh kegembiraan ini. Berpuasa pada hari ini berarti telah menyelisihi syariat Allah Subhanahu wa Ta’ala. Adapun bagi kaum muslimin yang hendak berpuasa 6 hari di bulan Syawwal, maka baru bisa dilakukan setelah masuk pada hari yang kedua dan seterusnya. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ صَامَ رَمَضَانَ ثُمَّ أَتْبَعَهُ سِتًّا مِنْ شَوَّالٍ كَانَ كَصِيَامِ الدَّهْرِ
“Barangsiapa yang telah berpuasa Ramadhan dan kemudian dia mengikutkannya dengan puasa enam hari dari bulan Syawal, maka dia seperti orang yang berpuasa selama satu tahun.” (HR. Muslim)

Kaum muslimin rahimakumullah,
Perlu diketahui, hari raya bukanlah hari untuk berfoya-foya dengan menghambur-hamburkan harta yang tidak pada tempatnya. Bukan pula sebagai hari untuk menikmati hiburan-hiburan yang dipenuhi dengan pelanggaran-pelanggaran terhadap syariat. Berhari raya bagi kaum muslimin bukanlah saat untuk berhura-hura dengan membanggakan dunia dan menyombongkan diri, sebagaimana yang dilalukan oleh orang-orang kafir dalam mengisi hari raya mereka. Hari raya kaum muslimin adalah saat untuk berbahagia dan bersyukur kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan menjalankan berbagai ketaatan.
Di antaranya, kaum muslimin mengeluarkan zakat fitrah pada hari ini sebelum menjalankan shalat ‘Ied, meskipun boleh juga untuk mengeluarkannya dua atau tiga hari sebelumnya. Selanjutnya, pada hari ini pula kaum muslimin keluar dari rumahnya masing-masing sembari bertakbir menuju ke tanah lapang untuk mengerjakan shalat ied, setelah sebelumnya disunnahkan bagi mereka untuk mandi, memakai wewangian serta pakaian yang bagus dan makan sebelum mendatangi shalat. Shalat ‘Ied ini lebih utama dilakukan di tanah lapang, sebagaimana yang dicontohkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kemudian disunnahkan pula bagi kaum muslimin ketika pulang menuju ke rumah setelah selasai dari shalat ied untuk melalui jalan lain (yang berbeda), bukan jalan yang dilaluinya saat berangkat menuju tanah lapang.

Kaum muslimin yang semoga dirahmati Allah Subhanahu wa Ta’ala,
Di antara kebiasaan yang dilakukan oleh kaum muslimin adalah saling berjabat tangan dan mengucapkan doa serta ucapan selamat hari raya. Kebiasaan tersebut, sebagaimana diterangkan oleh sebagian ulama adalah kebiasaan yang tidak bertentangan dengan syariat. Kebiasaan ini justru bisa menumbuhkan rasa saling mencintai dan menghilangkan rasa permusuhan di antara kaum muslimin. Oleh karena itu, kebiasaan tersebut boleh dilakukan. Hanya saja, tidak boleh bagi laki-laki dan perempuan yang bukan mahramnya untuk saling berjabat tangan. Adapun kebiasaan mengkhususkan hari raya untuk melakukan ziarah ke kubur, maka hal ini tidaklah ada dasarnya baik di dalam Al-Qur’an maupun As-Sunnah yang shahih. Oleh karena itu, tidak boleh bagi kaum muslimin untuk mengkhususkan hari ini sebagai saat untuk berziarah kubur.

Hadirin rahimakumullah,
Pada hari raya ini, marilah kita merenungkan, betapa banyak saudara-saudara kita kaum muslimin yang pada tahun-tahun yang lalu ikut shalat ied dan ikut menikmati hari raya bersama kita. Namun saat ini mereka tidak berada lagi di muka bumi ini. Mereka telah berpindah dari tempat beramal di kehidupan dunia yang sesaat ini, menuju ke tempat pembalasan amalan di kehidupan yang abadi di akhirat. Mereka meninggalkan keluarga, rumah, dan harta mereka. Tidak ada yang mereka bawa untuk kehidupan akhiratnya kecuali amalan-amalan yang telah dikerjakan saat di dunia. Harta, anak, jabatan, dan lain-lainnya tidak bisa menghalangi datangnya kematian. Maka janganlah seseorang tertipu dengan gemerlapnya dunia. Pakaian yang indah, kendaraan yang mewah, dan perhiasan dunia yang lainnya tidaklah menjadi jaminan bahwa dirinya akan menjadi orang yang berbahagia. Semua itu, kalaulah tidak menjadikan dirinya menjadi orang yang bertakwa kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, maka tidaklah berguna. Karena, sebaik-baik yang kita pakai adalah pakaian takwa. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
يَابَنِي ءَادَمَ قَدْ أَنْزَلْنَا عَلَيْكُمْ لِبَاسًا يُوَارِي سَوْآتِكُمْ وَرِيشًا وَلِبَاسُ التَّقْوَى ذَلِكَ خَيْرٌ ذَلِكَ مِنْ ءَايَاتِ اللهِ لَعَلَّهُمْ يَذَّكَّرُونَ
“Wahai anak Adam (yaitu umat manusia), sungguh Kami telah menurunkan kepada kalian pakaian untuk menutup auratmu dan pakaian indah untuk perhiasan. Namun pakaian takwa itulah yang paling baik. Yang demikian itu adalah sebagian dari tanda-tanda kekuasaan Allah, agar mereka selalu ingat.” (Al-A’raf: 26)

Hadirin rahimakumullah,
Oleh karena itu, setiap muslim semestinya senantiasa mengingat bahwa harta, keluarga, dan seluruh perhiasan dunia yang sekarang bersamanya pasti akan berpisah dengannya. Setiap orang juga harus mengingat bahwa tubuhnya akan ditimbun dan dikubur dalam tanah serta akan dimakan oleh binatang-binatang yang ada di dalamnya. Maka, akankah seorang muslim menjadikan hari rayanya untuk berhura-hura serta membuang-buang harta untuk acara-acara yang bercampur dengan maksiat?
Sungguh, seandainya seseorang tahu bahwa ibadah yang dia lakukan di bulan Ramadhan diterima oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala, maka semestinya dia bersyukur dan bukan berhura-hura. Karena berhura-hura adalah akhlak orang-orang kafir dalam merayakan hari rayanya. Adapun kalau dirinya tahu bahwa amalannya tidak diterima, maka bagaimana dirinya sanggup untuk berhura-hura pada hari ini?

Kaum muslimin yang semoga dirahmati Allah Subhanahu wa Ta’ala,
Ketahuilah, bahwa kita telah dikaruniai nikmat yang paling besar, yaitu nikmat Islam. Nikmat yang tidak tertandingi oleh seluruh nikmat-nikmat Allah Subhanahu wa Ta’ala lainnya yang besar. Oleh karena itu, marilah kita senantiasa mensyukuri nikmat yang paling besar ini. Yaitu dengan senantiasa mempelajari agama Islam melalui ahlinya agar kita menjadi orang-orang yang paham terhadap ajaran Islam dan bisa menjalankan agama dengan benar. Karena sebagaimana ditunjukkan dalam hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa pahamnya seseorang terhadap agamanya menunjukkan bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala menginginkan kebaikan untuk dirinya.

Hadirin rahimakumullah,
Ketahuilah, bahwa Islam bukanlah sekadar sebuah pengakuan semata tanpa ada pengamalan terhadap ajaran-ajaran yang ada di dalamnya. Namun Islam adalah agama yang mewajibkan pemeluknya untuk beribadah kepada Al-Khaliq, yaitu Allah Subhanahu wa Ta’ala sebagai Sang Pencipta. Islam juga mewajibkan pemeluknya berbuat baik kepada makhluk yang diciptakan-Nya. Persaksian seorang muslim terhadap kalimat La Ilaha Illallah Muhammad Rasulullah mengandung konsekuensi yang mengharuskan orang yang mengucapkannya untuk memurnikan ibadah hanya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala tanpa ada syirik sedikitpun, serta beribadah hanya dengan syariat yang dibawa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tanpa mengada-adakan ibadah baru atau bid’ah yang tidak pernah disyariatkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Oleh karena itu, seorang muslim harus menjadi orang yang bertauhid, yaitu orang yang beribadah hanya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan meninggalkan seluruh perbuatan syirik. Karena dengan tauhid inilah, amalan ketaatan yang lainnya akan bernilai ibadah. Adapun tanpa tauhid, maka ibadah sebesar dan sebanyak apapun tidak akan bernilai di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala. Sebagaimana dalam firman-Nya:
وَلَوْ أَشْرَكُوا لَحَبِطَ عَنْهُمْ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ
“Seandainya mereka mempersekutukan Allah, niscaya lenyaplah dari mereka amalan yang telah mereka kerjakan.” (Al-An’am: 88)
Sebanyak dan sebesar apapun ibadah yang dilakukan oleh seseorang –meskipun dikerjakan dengan ikhlas– tidak akan diterima oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala, bila amalan tersebut tidak sesuai dengan syariat yang dibawa oleh Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Hal ini sebagaimana dalam sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ
“Barangsiapa yang mengamalkan suatu amalan yang tidak ada syariatnya dari kami, maka amalan tersebut ditolak.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

Kaum muslimin rahimakumullah,
Disamping itu, seorang muslim juga harus menundukkan jiwanya untuk menjalankan ketaatan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Di antaranya adalah kewajiban yang paling besar setelah menjalankan dua kalimat syahadat yaitu kewajiban shalat lima waktu serta menjalankan rukun Islam yang lainnya. Begitupula, dia pun menjalankan kewajiban-kewajiban lainnya, seperti bertaubat, menunaikan amanah, jujur, dan kewajiban lainnya serta menjauhi larangan-larangan Allah Subhanahu wa Ta’ala seperti berkhianat, berdusta, ghibah, namimah, memakai pakaian yang menampakkan aurat, dan kemaksiatan lainnya.

Hadirin rahimakumullah,
Disamping menjalankan kewajibannya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, agama Islam juga memerintahkan kepada pemeluknya untuk berbuat baik kepada orang lain. Islam memerintahkan pemeluknya untuk senantiasa berbuat baik kepada orangtuanya, kerabatnya, tetangganya, fakir miskin, anak yatim, dan yang lainnya. Oleh karena itu, ketika seorang muslim berbicara dengan orangtuanya, dia akan berkata dengan kata-kata yang baik dan tidak menyakitkan keduanya. Begitupula, dia membantu kebutuhan-kebutuhan mereka dan tidak menyombongkan diri di hadapan kedua orangtuanya.
Seorang muslim juga sosok yang menyambung hubungan dengan kerabatnya atau yang diistilahkan dengan silaturahim. Dia juga orang yang berbuat baik dan tidak menyakiti tetangganya. Selanjutnya, agama Islam juga memerintahkan kepada para suami untuk berbuat baik kepada istrinya, sebagaimana disebutkan di dalam firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
وَعَاشِرُوهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ
“Dan bergaullah (kalian wahai suami) dengan mereka (para istri) dengan cara yang baik.” (An-Nisa: 19)
Sebaliknya, seorang istri juga diperintahkan untuk menaati dan berkhidmat kepada suaminya, dengan cara membantu keperluan-keperluan suaminya. Karena dia tahu bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menetapkan suaminya sebagai pemimpin bagi dirinya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ
“Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita.” (An-Nisa: 34)


Hadirin rahimakumullah,
Agama Islam juga melarang pemeluknya untuk menyakiti harta, jiwa, dan kehormatan saudaranya. Allah Subhanahu wa Ta’ala menyebutkan di dalam firman-Nya:
وَالَّذِينَ يُؤْذُونَ الْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ بِغَيْرِ مَا اكْتَسَبُوا فَقَدِ احْتَمَلُوا بُهْتَانًا وَإِثْمًا مُبِينًا
“Dan orang-orang yang menyakiti orang-orang yang mukmin dan mukminat tanpa kesalahan yang mereka perbuat, maka sesungguhnya mereka telah memikul kebohongan dan dosa yang nyata.” (Al-Ahzab: 58)
Bahkan meskipun kaum muslimin membenci orang-orang kafir karena orang-orang kafir adalah orang-orang yang dibenci oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala, mereka tidaklah diperbolehkan untuk berbuat zalim kepada orang-orang kafir. Sehingga apa yang dilakukan oleh sebagian kaum muslimin saat-saat ini, dengan melakukan aksi bom bunuh diri di beberapa tempat, meskipun dengan alasan berjihad melawan orang kafir, adalah perbuatan yang sangat bertentangan dengan syariat Islam. Karena perbuatan tersebut pada dasarnya adalah perbuatan bunuh diri yang merupakan salah satu dosa yang sangat besar. Sebagaimana disebutkan dalam sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
وَمَنْ قَتَلَ نَفْسَهُ بِشَيْءٍ فِي الدُّنْيَا عُذِّبَ بِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
“Barangsiapa yang membunuh dirinya dengan sesuatu di dunia, maka dia akan disiksa dengan sesuatu (yang digunakan untuk membunuh dirinya di dunia tersebut) pada hari kiamat.”(HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Disamping itu, aksi bom bunuh diri tersebut juga melanggar syariat Allah Subhanahu wa Ta’ala, yang melarang hamba-Nya untuk membunuh jiwa yang diharamkan-Nya. Di antara jiwa yang diharamkan untuk dibunuh, selain jiwa kaum muslimin, adalah jiwa orang-orang kafir yang telah mendapat jaminan keamanan atau melakukan perjanjian untuk tidak diperangi. Apalagi pada kenyataannya, di antara korban yang meninggal akibat pengeboman-pengeboman tersebut sebagiannya adalah kaum muslimin. Maka sangat jelas bahwa perbuatan tersebut adalah dosa besar dan sangat jauh dari amalan jihad yang disyariatkan dalam Islam. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَلَا تَقْتُلُوا النَّفْسَ الَّتِي حَرَّمَ اللهُ إِلَّا بِالْحَقِّ
“Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (untuk membunuhnya) melainkan dengan sesuatu (sebab) yang benar.” (Al-An’am: 151)
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ قَتَلَ مُعَاهَدًا فِيْ غَيْرِ كُنْهِهِ حَرَّمَ اللهُ عَلَيْهِ الْجَنَّةَ
“Barangsiapa yang membunuh orang kafir yang terikat perjanjian (dengan kaum muslimin) sebelum waktunya, maka Allah Subhanahu wa Ta’ala haramkan baginya surga.” (HR. Abu Dawud dan An-Nasa’i)

Hadirin rahimakumullah,
Akhirnya, marilah kita senantiasa menjaga diri-diri kita dari kemarahan Allah Subhanahu wa Ta’ala, dengan berhati-hati dalam memahami dan mengamalkan agama kita. Jalannya tidak lain adalah dengan kembali kepada para ulama, sehingga kita bisa memahami agama Islam sebagaimana yang dipahami oleh manusia-manusia terbaik yang telah mempelajari agama ini secara langsung dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, yaitu para sahabat Nabi radhiyallahu ‘anhum
Kita memohon kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala agar memberikan hidayah-Nya kepada kita semuanya, juga kepada para pemimpin bangsa kita untuk berjalan di atas syariat-Nya. Kita memohon kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala agar menjadikan negeri kita dan negeri seluruh kaum muslimin menjadi negeri yang aman dan tenteram serta diberi rahmat oleh-Nya. Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah Rabb Yang Maha mengabulkan doa.
اللَّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلَى عَبْدِكَ وَرَسُوْلِكَ مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ أَجْمَعِيْنَ. اللَّهُمَّ أَعِزَّ الْإِسْلاَمَ وَالْمُسْلِمِيْنَ وَأَذِلَّ الشِّرْكَ وَالْمُشْرِكِيْنَ. اللَّهُمَّ أَصْلِحْ أَحْوَالَ الْمُسْلِمِينَ فِي كُلِّ مَكَانٍ. اللَّهُمَّ اجْعَلْ هَذَا الْبَلَدَ آمِنًا مُطْمَئِنًّا وَسَائِرَ بِلاَدِ الْمُسْلِمِيْنَ عَامَّةً، يَا رَبَّ الْعَالَمِيْنَ. سُبْحَانَ رَبِّكَ رَبِّ الْعِزَّةِ عَمَّا يَصِفُونَ، وَسَلَامٌ عَلَى الْمُرْسَلِينَ، وَالْحَمْدُ لِلهِ ربِّ الْعَالَمِينَ.

allah

ALLAH NAK BAGI BARU

Barang saya hilang. Peristiwa ini terjadi ketika saya dan kawan-kawan mahasiswa Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Sultan Taha Saifuddin (STS) Jambi akan berangkat ke lokasi Kukerta (Kuliah Kerja Nyata). Kukerta adalah salah satu mata kuliah wajib komponen institut yang berbentuk pengabdian mahasiswa kepada masyarakat.

Sebelum upacara pelepasan mahasiswa Kukerta oleh Bapak Rektor Prof. Dr. Mukhtar Latif, M. Pd, saya meletakkan barang saya betul-betul di depan pos satpam (pak guard). Setelah upacara pelepasan, saya dan Andika menuju ke Studio Bang Bahar untuk mengambil spanduk (banner) posko Andika dan memesan spanduk untuk posko saya. Begitu kembali ke depan pos satpam, tempat saya meletakkan barang, saya tidak menemukan lagi travel bag hitam merk EIGER type Noah's Ark size medium dan sleeping bag saya.

Semua baju saya yang baru diambil dari laundry awal pagi tadi telah hilang bersama travel beg saya. Kalau barang saya benar-benar hilang, berarti saya akan berangkat ke lokasi Kukerta hanya dengan pakaian yang melekat di badan.

Saya berusaha bertanya-tanya dan mencari-cari di angkot (angkutan kota) dan minibus tumpangan kawan-kawan mahasiswa untuk menuju ke lokasi Kukerta masing-masing, mungkin masih ada. Setelah sekian lama, saya belum juga menemukan barang saya yang hilang. Untuk sementara, saya hentikan dulu pencariannya tapi saya sudah menyusun strategi bagaimana akan mencarinya.

Safwan, kawan serumah saya di rumah KEBAM (Kelab Badminton Anak Malaysia), turut prihatin dan marah-marah kepada orang yang tega mengambil barang saya. "Sape la ambik bag ko? Tak tau ke dia yang ko tak de baju lain. Dah la baju baru lepas laundry. Wangi lagi tu!", begitu komentarnya. Saya sendiri tidak sampai marah sebegitu karena saya yakin tas saya hanya tersalah ambil oleh kawan-kawan yang lain. Saya hanya menjawab sambil tersenyum, "Tak pe! Allah nak bagi baru kot."

Saya mengendarai motor Honda Supra X tahun 2003 ke lokasi Kukerta mengikuti angkot yang di tumpangi kawan-kawan mahasiswi yang seposko dengan saya, posko XVI. Untuk pengetahuan pembaca, saya hanya sendirian mahasiswa di posko XVI, selebihnya semua mahasiswi. Saya juga tidak habis pikir bagaimana penyusunan peserta Kukerta oleh PPM (Pusat Pengabdian Masyarakat) IAIN STS Jambi sebagai panitia pelaksana. Tapi pasti itu semua ada hikmahnya.

Desa Kasang Pudak. Itulah lokasi Kukerta saya dan kawan-kawan. Hanya sekitar 25 menit mengendarai motor dari rumah sewa saya di Telanaipura. Mungkin sebab itulah saya dan Safwan jadi sering pulang-pergi Telanaipura-Kasang Pudak. Seminggu bisa pulang-pergi sampai 3-4 kali tanpa sepengetahuan kawan-kawan mahasisiwi seposko. Maaf ya kawan-kawan!:D Desa ini mendapat jatah dua posko mahasiswa Kukerta. Posko XV dan XVI. Posko XV hanya terdiri dari 2 (dua) anggota laki-laki, Safwan dan Jushar, selebihnya semua perempuan.

Setelah serah terima mahasiswa Kukerta dari Drs. Zulqarnain, MA, DPL (Dosen Pembimbing Lapangan) kami kepada tokoh masyarakat yang diwakili oleh Pak Jono, Kepala Madrasah Tsanawiyah Miftahul Huda, saya meminta izin untuk pulang ke Telanaipura dengan alasan saya tidak punya pakaian lagi kecuali yang melekat di badan karena tas saya hilang. Hari pertama Kukerta tapi saya menginap di rumah KEBAM pada malam harinya.

Keesokan harinya setelah kembali ke Desa Kasang Pudak, saya, Safwan dan Jushar sepakat untuk menyewa rumah yang disebut oleh Safwan sebagai 'reban ayam' supaya kami tinggal terpisah dari kawan-kawan mahasiswi.

Sebelumnya saya sudah mengambil daftar nama seluruh peserta Kukerta di dinding pengumuman di kampus Telanaipura. Strategi saya adalah menghubungi semua kawan-kawan saya, Safwan dan Jushar yang ada di posko lainnya mengenai keberadaan barang saya di posko mereka. Dari semua yang saya hubungi, belum ada yang membuahkan hasil positif. Safwan kembali berkomentar seperti di atas. Saya pun kembali menjawab, "Mungkin Allah nak bagi baru."

Ketika ada kawan-kawan bertanya tentang kabar barang saya, saya hanya menjawab seadanya dengan menambahkan, "Mungkin Allah nak bagi baru". Sehingga kata-kata ini meresap di pikiran bawah sadar saya. Bahkan sekarang atau kapan pun saya mengalami musibah kehilangan, kata-kata ini akan muncul dan menenangkan hati dan pikiran saya.

Akhirnya, setelah hari raya Idul Fitri 1429H saya mendapat kabar positif dari posko Ulil Abshar. di daerah Sungai Gelam. Kabarnya mereka menemukan sleeping bag saya tapi tas saya tidak ada. Pikiran saya mengatakan tidak mungkin travel bag saya tidak di sana. Karena saya meletakkan sleeping bag saya betul-betul terikat di atas travel bag. Saya yakin seyakin-yakinnya.

Kapan saya menemukan travel bag saya? Setelah berakhirnya program Kukerta. Travel bag saya akhirnya ditemukan di posko Abshar, seperti. Begini ceritanya. Ketika kawan-kawan mahasiswa di posko Abshar akan pulang dari lokasi Kukerta, tuan rumah tempat mereka tinggal membawa sebuah travel bag, mungkin milik kawan-mahasiswa Kukerta yang tertinggal. Tapi mereka semua tidak ada yang merasa memiliki travel bag tersebut. Sampai akhirnya kawan saya Musa berinisiatif memeriksa isi tas tersebut dan menemukan nama saya tertera di kwitansi pembayaran laundry. Akhirnya travel bag saya tersebut ikut dibawa pulang ke Jambi.

Hikmahnya, saya mendapat banyak hal berharga dari kejadian tersebut. Di antaranya:
-Saya mendapat baju 'baru' peninggalan Shahril Rosli. :D
-Saya mendapat baju dan handuk baru, beli di Metro, Selincah.
-Saya mendapat celana 'baru' yang dikirim oleh adik saya, Sairul dari Malang. :D
-Saya dapat menanamkan pikiran positif ke dalam pikiran bawah sadar saya ketika terjadi musibah yang serupa, berarti "ALLAH NAK BAGI BARU".

agar buah hati mjd penyejuk hati

Agar Buah Hati Menjadi Penyejuk Hati

Kehadiran sang buah hati dalam sebuah rumah tangga bisa diibaratkan seperti keberadaan bintang di malam hari, yang merupakan hiasan bagi langit. Demikian pula arti keberadaan seorang anak bagi pasutri, sebagai perhiasan dalam kehidupan dunia. Ini berarti, kehidupan rumah tangga tanpa anak, akan terasa hampa dan suram.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

الْمَالُ وَالْبَنُونَ زِينَةُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَالْبَاقِيَاتُ الصَّالِحَاتُ خَيْرٌ عِنْدَ رَبِّكَ ثَوَاباً وَخَيْرٌ أَمَلاً

“Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia, tetapi amalan-amalan yang kekal dan shaleh adalah lebih baik pahalanya di sisi Tuhanmu serta lebih baik untuk menjadi harapan.” (Qs.al-Kahfi: 46)

Bersamaan dengan itu, nikmat keberadaan anak ini sekaligus juga merupakan ujian yang bisa menjerumuskan seorang hamba dalam kebinasaan. Allah Subhanahu wa Ta’ala mengingatkan hal ini dalam firman-Nya,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنَّ مِنْ أَزْوَاجِكُمْ وَأَوْلادِكُمْ عَدُوّاً لَكُمْ فَاحْذَرُوهُمْ

“Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya di antara isteri-isterimu dan anak-anakmu ada yang menjadi musuh bagimu, maka berhati-hatilah kamu terhadap mereka…” (Qs. At-Taghaabun:14)

Makna “menjadi musuh bagimu” adalah melalaikan kamu dari melakuakan amal shaleh dan bisa menjerumuskanmu ke dalam perbuatan maksiat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Ketika menafsirkan ayat di atas, syaikh Abdurrahman as-Sa’di berkata, “…Karena jiwa manusia memiliki fitrah untuk cinta kepada istri dan anak-anak, maka (dalam ayat ini) Allah Subhanahu wa Ta’ala memperingatkan hamba-hamba-Nya agar (jangan sampai) kecintaan ini menjadikan mereka menuruti semua keinginan istri dan anak-anak mereka dalam hal-hal yang dilarang dalam syariat. Dan Dia memotivasi hamba-hamba-Nya untuk (selalu) melaksanakan perintah-perintah-Nya dan mendahulukan keridhaan-Nya…” .

Kewajiban Mendidik Anak

Agama Islam sangat menekankan kewajiban mendidik anak dengan pendidikan yang bersumber dari petunjuk Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya Subhanahu wa Ta’ala. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَاراً وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ

“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu.” (Qs. at-Tahriim: 6)

Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu ketika menafsirkan ayat di atas berkata, “(Maknanya): Ajarkanlah kebaikan untuk dirimu dan keluargamu.”

Syaikh Abdurrahman as-Sa’di berkata, “Memelihara diri (dari api neraka) adalah dengan mewajibkan bagi diri sendiri untuk melaksanakan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya, serta bertobat dari semua perbuatan yang menyebabkan kemurkaan dan siksa-Nya. Adapun memelihara istri dan anak-anak (dari api neraka) adalah dengan mendidik dan mengajarkan kepada mereka (syariat Islam), serta memaksa mereka untuk (melaksanakan) perintah Allah. Maka seorang hamba tidak akan selamat (dari siksaan neraka) kecuali jika dia (benar-benar) melaksanakan perintah Allah (dalam ayat ini) pada dirinya sendiri dan pada orang-orang yang dibawa kekuasaan dan tanggung jawabnya” .

Dalam sebuah hadits yang shahih, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah melarang Hasan bin ‘Ali radhiallahu ‘anhu memakan kurma sedekah, padahal waktu itu Hasan radhiallahu ‘anhu masih kecil, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Hekh hekh” agar Hasan membuang kurma tersebut, kemudian beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Apakah kamu tidak mengetahui bahwa kita (Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan keturunannya) tidak boleh memakan sedekah?”

Imam Ibnu Hajar menyebutkan di antara kandungan hadits ini adalah bolehnya membawa anak kecil ke mesjid dan mendidik mereka dengan adab yang bermanfaat (bagi mereka), serta melarang mereka melakukan sesuatu yang membahayakan mereka sendiri, (yaitu dengan) melakukan hal-hal yang diharamkan (dalam agama), meskipun anak kecil belum dibebani kewajiban syariat, agar mereka terlatih melakukan kebaikan tersebut .

Metode Pendidikan Anak yang Benar

Agama Islam yang sempurna telah mengajarkan adab-adab yang mulia untuk tujuan penjagaan anak dari upaya setan yang ingin memalingkannya dari jalan yang lurus sejak dia dilahirkan ke dunia ini. Dalam sebuah hadits qudsi, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, “Sesungguhnya Aku menciptakan hamba-hamba-Ku semuanya dalam keadaan hanif (suci dan cenderung kepada kebenaran), kemudian setan mendatangi mereka dan memalingkan mereka dari agama mereka (Islam).”

Dalam hadits shahih lainnya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tangisan seorang bayi ketika (baru) dilahirkan adalah tusukan (godaan untuk menyesatkan) dari setan.”

Perhatikanlah hadits yang agung ini, bagaimana setan berupaya keras untuk memalingkan manusia dari jalan Allah sejak mereka dilahirkan ke dunia, padahal bayi yang baru lahir tentu belum mengenal nafsu, indahnya dunia dan godaan-godaan duniawi lainnya, maka bagaimana keadaannya kalau dia telah mengenal semua godaan tersebut?

Maka di sini terlihat jelas fungsi utama syariat Islam dan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam menjaga anak yang baru lahir dari godaan setan, melalui adab-adab yang diajarkan dalam sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang berhubungan dengan kelahiran seorang anak.

Sebagai contoh misalnya, anjuran Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bagi seorang suami yang akan mengumpuli istrinya, untuk membaca doa,

بسم الله اَللّهُمَّ جَنِّبْنَا الشَّيْطَانَ وَجَنِّبِ الشَّيْطَانَ مَا رَزَقْتَنَاz

“Dengan (menyebut) nama Allah, ya Allah jauhkanlah kami dari (gangguan) setan dan jauhkanlah setan dari rezki yang Engkau anugerahkan kepada kami.”

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jika seorang suami yang ingin mengumpuli istrinya membaca doa tersebut, kemudian Allah menakdirkan (lahirnya) anak dari hubungan tersebut, maka setan tidak akan bisa mencelakakan anak tersebut selamanya.”

Berdasarkan keterangan di atas, jelaslah bahwa syariat Islam merupakan satu-satunya metode yang benar dalam pendidikan anak, yang ini berarti bahwa hanya dengan menerapkan syariat Islamlah pendidikan dan pembinaan anak akan membuahkan hasil yang baik.

Syaikh Muhammad bin Shaleh al-’Utsaimin berkata, “Yang menentukan (keberhasilan) pembinaan anak, susah atau mudahnya, adalah kemudahan (taufik) dari Allah Subhanahu wa Ta’ala, dan jika seorang hamba bertakwa kepada Allah serta (berusaha) menempuh metode (pembinaan) yang sesuai dengan syariat Islam, maka Allah akan memudahkan urusannya (dalam mendidik anak), Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
“Barangsiapa yang bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan menjadikan baginya kemudahan dalam (semua) urusannya.” (Qs. ath-Thalaaq: 4)

Pembinaan Rohani dan Jasmani

Cinta yang sejati kepada anak tidaklah diwujudkan hanya dengan mencukupi kebutuhan duniawi dan fasilitas hidup mereka. Akan tetapi yang lebih penting dari semua itu pemenuhan kebutuhan rohani mereka terhadap pengajaran dan bimbingan agama yang bersumber dari petunjuk al-Qur-an dan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Inilah bukti cinta dan kasih sayang yang sebenarnya, karena diwujudkan dengan sesuatu yang bermanfaat dan kekal di dunia dan di akhirat nanti.

Allah Subhanahu wa Ta’ala memuji Nabi-Nya Ya’qub ‘alaihissalam yang sangat mengutamakan pembinaan iman bagi anak-anaknya, sehingga pada saat-saat terakhir dari hidup beliau, nasehat inilah yang beliau tekankan kepada mereka. Allah berfirman,

أَمْ كُنْتُمْ شُهَدَاءَ إِذْ حَضَرَ يَعْقُوبَ الْمَوْتُ إِذْ قَالَ لِبَنِيهِ مَا تَعْبُدُونَ مِنْ بَعْدِي قَالُوا نَعْبُدُ إِلَهَكَ وَإِلَهَ آبَائِكَ إِبْرَاهِيمَ وَإِسْمَاعِيلَ وَإِسْحَاقَ إِلَهاً وَاحِداً وَنَحْنُ لَهُ مُسْلِمُونَ

“Adakah kamu hadir ketika Ya’qub kedatangan (tanda-tanda) kematian, ketika dia berkata kepada anak-anaknya, ‘Apa yang kamu sembah sepeninggalku?’ Mereka menjawab, ‘Kami akan menyembah Rabb-mu dan Rabb nenek moyangmu, Ibrahim, Isma’il, dan Ishaq, (yaitu) Rabb Yang Maha Esa dan kami hanya tunduk kepada-Nya.’” (Qs. al-Baqarah: 133)

Renungkanlah teladan agung dari Nabi Allah yang mulia ini, bagaimana beliau menyampaikan nasehat terakhir kepada anak-anaknya untuk berpegang teguh dengan agama Allah , yang landasannya adalah ibadah kepada Allah  semata-semata (tauhid) dan menjauhi perbuatan syirik (menyekutukan-Nya dengan makhluk). Dimana kebanyakan orang pada saat-saat seperti ini justru yang mereka berikan perhatian utama adalah kebutuhan duniawi semata-mata; apa yang kamu makan sepeninggalku nanti? Bagaimana kamu mencukupi kebutuhan hidupmu? Dari mana kamu akan mendapat penghasilan yang cukup?

Dalam ayat lain Allah berfirman,

وَإِذْ قَالَ لُقْمَانُ لاِبْنِهِ وَهُوَ يَعِظُهُ يَا بُنَيَّ لا تُشْرِكْ بِاللَّهِ إِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيمٌ

“Dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi nasehat kepadanya, ‘Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar.’” (Qs. Luqmaan: 13)

Lihatlah bagaimana hamba Allah yang shaleh ini memberikan nasehat kepada buah hati yang paling dicintai dan disayanginya, orang yang paling pantas mendapatkan hadiah terbaik yang dimilikinya, yang oleh karena itulah, nasehat yang pertama kali disampaikannya untuk buah hatinya ini adalah perintah untuk menyembah (mentauhidkan) Allah semata-mata dan menjauhi perbuatan syirik .

Manfaat dan Pentingnya Pendidikan Anak

Imam Ibnu Qayyim al-Jauziyyah – semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala merahmatinya – berkata, “Salah seorang ulama berkata, ‘Sesugguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala pada hari kiamat (nanti) akan meminta pertanggungjawaban dari orang tua tentang anaknya sebelum meminta pertanggungjawaban dari anak tentang orang tuanya. Karena sebagaimana orang tua mempunyai hak (yang harus dipenuhi) anaknya, (demikian pula) anak mempunyai hak (yang harus dipenuhi) orang tuanya. Maka sebagaimana Allah berfirman,

وَوَصَّيْنَا الْأِنْسَانَ بِوَالِدَيْهِ حُسْناً

“Dan Kami wajibkan manusia (berbuat) kebaikan kepada kedua orang tuanya.” (Qs. al-’Ankabuut: 8)

(Demikian juga) Allah berfirman,

قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَاراً وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ

“Peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu.” (Qs. at-Tahriim: 6)

Maka barangsiapa yang tidak mendidik anaknya (dengan pendidikan) yang bermanfaat baginya dan membiarkannya tanpa bimbingan, maka sungguh dia telah melakukan keburukan yang besar kepada anaknya tersebut. Mayoritas kerusakan (moral) pada anak-anak timbulnya (justru) karena (kesalahan) orang tua sendiri, (dengan) tidak memberikan (pengarahan terhadap) mereka, dan tidak mengajarkan kepada mereka kewajiban-kewajiban serta anjuran-anjuran (dalam) agama. Sehingga karena mereka tidak memperhatikan (pendidikan) anak-anak mereka sewaktu kecil, maka anak-anak tersebut tidak bisa melakukan kebaikan untuk diri mereka sendiri, dan (akhirnya) merekapun tidak bisa melakukan kebaikan untuk orang tua mereka ketika mereka telah lanjut usia. Sebagaimana (yang terjadi) ketika salah seorang ayah mencela anaknya yang durhaka (kepadanya), maka anak itu menjawab: “Wahai ayahku, sesungguhnya engkau telah berbuat durhaka kepadaku (tidak mendidikku) sewaktu aku kecil, maka akupun mendurhakaimu setelah engkau tua, karena engkau menyia-nyiakanku di waktu kecil maka akupun menyia-nyiakanmu di waktu engkau tua.”

Cukuplah sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berikut menunjukkan besarnya manfaat dan keutamaan mendidik anak,

إن الرجل لترفع درجته في الجنة فيقول: أنى هذا ؟ فيقال: باستغفار ولدك لك

“Sungguh seorang manusia akan ditinggikan derajatnya di surga (kelak), maka dia bertanya, ‘Bagaimana aku bisa mencapai semua ini? Maka dikatakan padanya: (Ini semua) disebabkan istigfar (permohonan ampun kepada Allah yang selalu diucapkan oleh) anakmu untukmu.’”

Sebagian dari para ulama ada yang menerangkan makna hadits ini yaitu: bahwa seorang anak jika dia menempati kedudukan yang lebih tinggi dari pada ayahnya di surga (nanti), maka dia akan meminta (berdoa) kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala agar kedudukan ayahnya ditinggikan (seperti kedudukannya), sehingga Allah pun meninggikan (kedudukan) ayahnya.

Dalam hadits shahih lainnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Jika seorang manusia mati maka terputuslah (pahala) amalnya kecuali dari tiga perkara: sedekah yang terus mengalir (pahalanya karena diwakafkan), ilmu yang terus diambil manfaatnya (diamalkan sepeninggalnya), dan anak shaleh yang selalu mendoakannya.”

Hadits ini menunjukkan bahwa semua amal kebaikan yang dilakukan oleh anak yang shaleh pahalanya akan sampai kepada orang tuanya, secara otomatis dan tanpa perlu diniatkan, karena anak termasuk bagian dari usaha orang tuanya . Adapun penyebutan “doa” dalam hadits tidaklah menunjukkan pembatasan bahwa hanya doa yang akan sampai kepada orangtuanya , tapi tujuannya adalah untuk memotivasi anak yang shaleh agar orang tuanya.

Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani – semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala merahmatinya – berkata, “(Semua pahala) amal kebaikan yang dilakukan oleh anak yang shaleh, juga akan diperuntukkan kepada kedua orang tuanya, tanpa mengurangi sedikitpun dari pahala anak tersebut, karena anak adalah bagian dari usaha dan upaya kedua orang tuanya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

وَأَنْ لَيْسَ لِلْإِنْسَانِ إِلَّا مَا سَعَى

“Dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya.” (Qs. an-Najm: 39)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sungguh sebaik-baik (rezki) yang dimakan oleh seorang manusia adalah dari usahanya sendiri, dan sungguh anaknya termasuk (bagian) dari usahanya.”

Kandungan ayat dan hadits di atas juga disebutkan dalam hadits-hadist (lain) yang secara khusus menunjukkan sampainya manfaat (pahala) amal kebaikan (yang dilakukan) oleh anak yang shaleh kepada orang tuanya, seperti sedekah, puasa, memerdekakan budak dan yang semisalnya.”

Tulisan ringkas ini semoga menjadi motivasi bagi kita untuk lebih memperhatikan pendidikan anak kita, utamanya pendidikan agama mereka, karena pada gilirannya semua itu manfaatnya untuk kebaikan diri kita sendiri di dunia dan akhirat nanti.

Ya Rabb kami, anugerahkanlah kepada kami isteri-isteri dan keturunan kami sebagai penyejuk (pandangan) mata (kami), dan jadikanlah kami pemimpin bagi orang-orang yang bertakwa

وصلى الله وسلم وبارك على نبينا محمد وآله وصحبه أجمعين، وآخر دعوانا أن الحمد لله رب العالمين

Kota Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, 20 Jumadal akhir 1430 H

hadist

Taisir Musthalah Hadits (6): Idroj, Ziyadah, Meringkas Hadits dan Meriwayatkan Dengan Makna

Idroj dalam matan

1. Definisinya
2. Kedudukannya dan contoh
3. Kapan dinilai itu sebagai hadits sisipan

1. Idroj (sisipan) dalam matan (الإدراج في المتن) : Salah seorang rowi memasukkan kata-kata yang berasal dari dirinya sendiri tanpa dia jelaskan bahwa itu adalah kata-katanya sendiri. Dia melakukan itu bisa jadi untuk menjelaskan kata-kata yang asing dalam hadits tersebut, istinbath hukum (mengambil kesimpulan hukum) atau untuk menjelaskan hikmah.

2. Idroj di awal hadits, tengah hadits atau akhir hadits.
Contoh idroj di awal matan:
Hadits dari Abu Huroiroh rodhiallahu ‘anhu yang diriwayatkan oleh Imam Bukhori dan Imam Muslim.

“Sempurnakanlah wudhu, celakalah tumit-tumit yang tidak terkena air, celakalah karena berada di neraka.” [1]

Kata-kata “sempurnakanlah wudhu” adalah sisipan yaitu ucapan Abu Hurioroh rodhiallahu ‘anhu. Hal ini diketahui berdasarkan satu riwayat dalam Shohih Bukhori. Dalam riwayat tersebut, Abu Huroiroh rodhiallahu ‘anhu mengatakan,

“Sempurnakanlah wudhu, karena Abul Qosim shollallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan,’Celakalah tumit-tumit yang tidak terkena air.’”

Contoh sisipan di tengah matan:

Hadits dari ‘Aisyah rodhiallahu ‘anha tentang awal mula datangnya wahyu pada Rosulullah shollallahu ‘alaihi wa sallam. Dan hadits tersebut, Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam bersepi-sepi di Gua Hiro, lalu ber-tahanus (pada asalnya artinya adalah menjauhi dosa), namun di sini dijelaskan oleh rowi maksud dari tahanus yaitu beribadah selama beberapa malam yang bisa di hitung.

Kata-kata “tahanus adalah beribadah” adalah sisipan, tepatnya merupakan perkataan az-Zuhri. Hal ini dijelaskan satu riwayat dalam riwayat Bukhori dari jalurnya Zuhri, dengan lafadz bahwasannya Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam pergi ke Gua Hiro dan tahanus di dalamnya, Zuhri mengatakan, makna tahanus adalah beribadah. Kemudian Zuhri melanjutkan pada beberapa malam yang bisa dihitung.

Contoh idroj di akhir matan:

Hadits Abu Hurorioh rodhiallahu ‘anhu sesungguhnya Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“Sesungguhnya umatku akan dipanggil pada hari kiamat dalam keadaan putih terang wajah, tangan dan kaki, karena bekas wudhu. Oleh karena itu siapa diantara kalian yang mampu memanjangkan cahaya putih terangnya maka hendaknya ia lakukan.“

Diriwayatkan oleh Imam Bukhori dan Imam Muslim.

Kata-kata “Siapa diantara kalian yang mampu memanjangkan cahayanya maka lakukanlah”, adalah perkataaan Abu Huroiroh rodhiallahu ‘anhu yang menyebabkan perkataan Abu Huroiroh ini masuk ke hadits Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam adalah seorang rowi yang bernama Nu’aim ibn Mujmir[2].

Disebutkan dalam Musnad Imam Ahmad, dari Nu’aim ibn Mujmir, beliau mengatakan, “Saya tidak tahu apakah itu sabda Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam atau kata-kata Abu Huroiroh” [3]. Lebih dari satu pakar hadits yang menegaskan bahwa kata-kata tersebut adalah sisipan. Bahkan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan itu tidak mungkin merupakan sabda Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam [4].

3. Tidak bisa dinilai sebagai sisipan sampai ada bukti.

Sehingga hukum asalnya adalah bagian dari hadits dan bisa diketahui:

* Dengan ucapan rowi itu sendiri.
* Ucapan Imam yang teranggap ucapannya.
* Dari kata-kata yang disisipkan karena mustahil Nabi mengatakannya

Ziyadah Dalam Hadits

1. Pengertiannya
2. Pembagiannya, penjelasan hukum pada masing-masing pembagian beserta contohnya.

1. Ziyadah (tambahan) dalam hadits (الزيادة في الحديث):

Salah seorang rowi (periwayat hadits) menambahi redaksi (matan) hadits dengan sesuatu yang bukan merupakan bagian dari hadis tersebut.

2. Ziyadah terbagi menjadi dua macam:

1. Ziyadah yang sejenis dengan idroj.

Merupakan tambahan yang diberikan seorang rowi dari dirinya sendiri, tanpa bermaksud bahwa tambahan tersebut merupakan bagian dari hadits. Penjelasan hukumnya telah disampaikan di muka.

2. Ziyadah yang diberikan oleh sebagian rowi dengan maksud bahwa tambahan tersebut merupakan bagian dari hadits. Jenis ini terbagi menjadi dua:

* Jika datang dari rowi yang tidak tsiqoh. Maka tidak diterima dikarenakan riwayat rowi tersebut jika sendirian itu tidak diterima, maka tambahan yang dia berikan pada riwayat orang lain lebih layak untuk ditolak.
* Jika datang dari rowi yang tsiqoh: Jika bertentangan dengan riwayat lain yang jalannya lebih banyak atau periwayatannya lebih tsiqoh, maka tidak diterima dikarenakan riwayat ini termasuk hadits yang syadz. Misal:Hadis yang diriwayatkan oleh Malik dalam Al Muwattho bahwasannya Ibnu Umar radhiallahu ’anhuma jika memulai sholat, beliau mengangkat kedua tangannya sejajar dengan kedua pundaknya, dan jika mengangkat kepalanya dari ruku’, beliau mengangkat keduanya lebih rendah dari itu. Abu Daud berkata, “Tidak disebutkan ‘beliau mengangkat keduanya lebih rendah dari itu’ oleh seorang pun selain Malik menurut sepengetahuanku.”

Dan riwayat yang shohih dari Ibnu Umar radhiallahu ’anhuma, marfu’ kepada Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam, bahwasannya beliau mengangkat kedua tangannya sampai sejajar dengan pundaknya jika memulai sholat, dan ketika ruku’, ketika bangkit dari ruku’ tanpa dibeda-bedakan.

Jika tidak bertentangan dengan rowi selainnya maka diterima, dikarenakan didalamnya terdapat tambahan ilmu. Misal:Hadis Umar radhiallahu ’anhu bahwasannya beliau mendengar Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“Tidaklah salah seorang dari kalian berwudhu sampai selesai dan sempurna kemudian mengucapkan:’ Asyhadu allaa ilaaha illallah , wa anna muhammadan ’abdullahi wa rasuuluh’ melainkan dibukakan baginya pintu syurga yang berjumlah delapan, dia boleh masuk dari pintu mana yang dia inginkan.”

Hadits ini telah diriwayatkan oleh Muslim dari dua jalan periwayatan. Pada salah satu dari keduanya terdapat tambahan (وحده لا شريكله) setelah (إلاّ اللّه).

Meringkas Hadits

1. Pengertiannya
2. Hukumnya

1. Meringkas hadits (احتصار الحديث):

Seorang rowi atau penukil hadits membuang sebagian dari hadits.

2. Tidak diperbolehkan meringkas hadits kecuali dengan lima syarat:

1. Tidak merusak makna hadits. Seperti pengecualian, tujuan, keadaan/keterangan, syarat, dan selainnya. Misal, sabda Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam,

لا تبيعوا الذهب با الذهب إلاّ مثلا بمثل
“Jangan kalian menukar emas dengan emas kecuali semisal dengan semisal.”

لا فبيعوا الثمر حتى يبدو صلاحه
“Janganlah kalian menjual buah-buahan sampai tambak baiknya.”

لا يقضين حكم بين اثنين و هو غضبان
“Janganlah memutuskan hukum antara dua perkara sedangkan dia dalam keadaan emosi.”

نعم، اذا هي رأت الماء
“Iya, jika kalian melihat air.” Perkataan nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam sebagai jawaban kepada Ummu Sulaim tentang pertanyaannya, Apakah wanita wajib mandi jika bermimpi?

لا يقل أحد كم: اللهم اغفر لي إن شئت
“Jangan berkata salah seorang dari kalian: ya Allah, ampunilah aku jika Engkau menghendaki.”
الحج المبرور ليس له جزاء إلا الجنة
“Haji mabrur, tidak ada balasan baginya kecuali surga.”

Maka tidak boleh membuang perkataan
“kecuali semisal dengan semisal” (إلاّ مثلا بمثل)

“sampai tampak baiknya” (حتى يبدو صلاحه)

“sedangkan dia dalam keadaan emosi” (هو غضبان)

“jika kalian melihat air” (اذا هي رأت الماء)

“jika Engkau menghendaki” (إن شئت)

“mabrur” (المبرور)

Dikarenakan membuang kata-kata diatas merusak makna hadits

2. Tidak membuang redaksi hadits/matan yang hadits itu datang karenanya,

Misal:
أن رجلا سأل النبي صلى الله عليه و سلم فقال: إنا نركب الرحر و نحمل معنا القليل من الماء، فإن توضأنا به: عطشنا، أفنتوضأ بماء البحر. فقال النبي: ((هو الطهور ماؤه، الحل ميتته))
Hadits Abu Huroiroh radhiallahu ‘anhu: seseorang bertanya pada Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam “Sesungguhnya kami menaiki perahu di laut dan kami membawa sedikit air. Jika kami berwudhu dengannya, kami akan kehausan. Apakah kami boleh berwudhu dengan air laut? Maka Nabi bersabda: “Laut itu suci airnya dan halah bangkainya.”

Maka tidak boleh menghapus sabda beliau shollallahu ‘alaihi wa sallam, “Laut itu suci airnya dan halal bangkainya” (هو الطهور ماؤه، الحل ميتته) karena hadits ini datang karenanya, maka dia adalah maksud pokok dari hadits tersebut.

3. Yang dibuang bukan merupakan penjelasan tentang tata cara ibadah, baik berupa perkataan atau perbuatan.

Misal:
أن النبي صلى الله عليه و سلم قالك (( إذا جلس أحدكم في الصلاة فليقل: التحيات لله و الصلوات و الطيبات السلم عليك ايها النبي و رحمة الله و بركته السلم علينا و على عباد الله الصابحين أشهد أن لا إله لا الله و أشهد أن محمدا عبده و رسوله))

Hadits Ibnu Mas’ud radhiyallahu’anhu, Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jika salah seorang dari kalian duduk dalam sholat, maka hendaknya dia membaca: ” Attahiyyaatu lillahi washolawaatu wathoyyibaat, Assalaamu ’alaika ayyuhannabiyu wa rahmatullahi wa barakaatuh, Assalamu ’alainaa wa ’ala ’ibaadillahishoolihiin, Asyhadu allaa ilaaha illallah, wa asyhadu anna muhammadan ’abduhu wa rasuuluh”

Maka tidak boleh menghapus satu bagian pun dari hadits ini karena akan merusak tata cara ibadah yang disyari’atkan, kecuali dengan menjelaskan bahwa ada bagian hadits yang dipotong atau dibuang.

4. Hendaknya yang membuang, mempunyai ilmu tentang kandungan lafadz.

Lafadz mana yang merusak makna jika dibuang dan mana yang tidak merusak, supaya tidak membuang lafadz yang merusak makna secara tidak sadar.

5. Rowi yang melakukan pengurangan hadits tidak akan menjadi sasaran tuduhan; karena dikira jelek hafalannya jika dia meringkasnya, atau dikira memberi tambahan jika dia menyempurnakannya, karena memeringkas pada keadaan ini menyebabkan orang akan ragu-ragu untuk menerima rowi tersebut sehingga hadits menjadi lemah karenanya. Persyaratan ke-lima ini untuk hadits yang tidak tercatat, karena jika hadits tersebut sudah tertulis maka dapat merujuk pada kitab yang mencatatnya dan hilanglah keraguan.

Jika semua syarat-syarat tersebut sudah dipenuhi, maka diperbolehkan meringkas hadits. Lebih-lebih memotong hadits untuk berdalil pada setiap potongan hadits pada tempat yang tepat. Banyak ulama’ dari kalangan ahlul hadits dan ahlul fikih yang melakukan hal ini. Lebih baik lagi pada saat meringkas hadits ditambahi penjelasan adanya peringkasan, dengan perkataan “hingga akhir hadits”, atau “sebagaimana yang disebutkan oleh suatu hadits” , dan selainnya.
Meriwayatkan Hadits dengan makna

1. Pengertiannya
2. Hukumnya

1. Meriwayatkan hadits dengan makna, yaitu menukilkan hadits dengan lafadz yang bukan lafadz asli yang diriwayatkan.

2. Tidak boleh meriwayatkan hadits dengan makna kecuali dengan tiga syarat:

1. Dilakukan oleh orang yang mengetahui maknanya dari sisi bahasa, dan dari sisi maksud teks yang diriwayatkan.

2. Terpaksa melakukannya, semisal karena rowi lupa dengan teks asli hadits tersebut tapi ingat maknanya. Jika teks hadits masih ingat, maka tidak boleh merubah kecuali jika dituntut kebutuhan untuk memahamkan orang yang diajak bicara dengan bahasa yang lebih mudah dipahami.

3. Lafadz hadits tersebut bukan merupakan lafadz yang digunakan untuk beribadah., seperti lafadz dzikir, dan selainnya.

Jika meriwayatkan hadits dengan makna, maka hendaknya disampaikan sesuatu yang menunjukkan hal itu, dengan mengatakan sesudah menyampaikan hadits:, “Atau semisal yang dikatakan oleh Nabi” (أو كما قال), atau “semisal itu” (أو نحوه).

Seperti yang ada dalam hadits dari Anas rodhiallahu ‘anhu tentang kisah orang Arab badui yang kencing di dalam masjid, kemudian Rosulullah shollallahu ‘alaihi wa sallam memanggilnya dan berkata padanya:

إن هذه المساجد لا تصلح لشيء من هذا البول و لا القذر؛ إنما هي الذكرالله – عز و جل - ، و الصلاةن و قراءة القران، أو كما قال صلى الله عليه و سلم

“Sesungguhnya masjid ini tidak sepantasnya terkena air kencing, tidak pula kotoran, sesungguhnya ia adalah untuk mengingat Allah ’Azza wa Jalla , sholat, dan membaca Al Quran”, atau semisal yang dikatakan Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam.

Juga seperti yang ada dalam hadits dari Mu’awiyah bin Hakam. Beliau berkata-kata ketika sholat karena tidak tahu kalau hal tersebut terlarang. Setelah selesai sholat, Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepadanya:

إن هذه الصلاة لا يصلح فيها شيء كم كلام الناس؛ إنما هو : التسبيح، و تكبيرن ،و قراءة القران، أو كما قال صلى الله عليه و سلم

“Sesungguhnya sholat itu tidak sepantasnya di dalamnya terdapat perkataan orang. Sesungguhnya isi sholat adalah tasbih, takbir, dan membaca al quran”, atau semisal yang dikatakan Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam.

1. Artinya siksaan hanya mengenai sebagian badan. Siksa neraka ada dua macam, ada yang meliputi sebagian badan dan ada yang meliputi seluruh badan. Dan ini adalah contoh yang mengenai sebagian badan. Demikian juga orang yang isbal. Bagian badan yang terjeluri kainlah yang dapat siksa di neraka. Namun, jangan remehkan siksaan neraka walaupun sebagian badan saja. Sungguh, orang yang mendapat siksaan dengan terompah neraka di telapak kakinya, yang mendidih adalah otaknya. Jadi, jangan diremehkan.

2 . Jadi, aslinya adalah terpisah. Akan tetapi karena Nu’aim ibn Mujmir maka perkataan Abu Huroiroh tadi tergabung dengan hadits Nabi dari Abu Hurorioh.
3. Jadi dia lupa, dan hanya dia yang membawa riwayat dengan menggabungkan antara perkataan Abu Huroiroh dengan hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

4. Karena Nabi adalah orang yang paling paham dan fasih bahasanya. Dan dalam bahasa Arab yang namanya ghurron adalah putih cemerlang di wajah. Dan wajah itu sudah ada batasannya mungkinkah dipanjangkan? Oleh karena ini jelas bahwa kata-kata tersebut adalah hadits mudroj, maka pendapat yang paling benar, tidak ada anjuran untuk melebihkan wudhu dari batasan yang telah ditetapkan oleh syari’at.

***

inilah bahasa arab

Inilah Bahasa Arab!

Penulis: Ummul Hasan
Pemuraja’ah: Ustadz Abu Salman

Semangat manusia mempelajari “bahasa ibu” suatu bangsa menunjukkan seberapa besar perhatian mereka terhadap bahasa tersebut. Banyaknya jasa kursus bahasa Inggris menunjukkan bahwa banyak orang yang berminat untuk memperdalam bahasa Inggris. Bahasa Inggris telah menjadi “bahasa dunia”, yang seperti menjadi satu “kartu bebas kunjung internasional”. Cobalah kita saksikan, dengan bekal bahasa Inggris seseorang bisa berkunjung ke negara manapun dengan menggunakannya sebagai bahasa komunikasi di sana.

Beberapa tahun belakangan ini, mulai lagi muncul tren bahasa Mandarin. Banyak orang yang berbondong-bondong mengikuti kursus bahasa Mandarin. Ada yang mengatakan bahwa bahasa Mandarin adalah bekal kedua–setelah bahasa Inggris–untuk memasuki era globalisasi. Apalagi sepak terjang Cina dalam perdagangan internasional semakin meluas.

Orangtua tak ingin kalah untuk memasukkan anak-anaknya ke berbagai tempat kursus kedua bahasa tersebut. Orang kantoran dan mahasiswa pun tak ingin ketinggalan roda modernisasi. Intinya, banyak orang tak ingin ketinggalan zaman gara-gara tidak menguasai bahasa Inggris ataupun bahasa Cina. Seperti itu pulakah kita kaum muslimah? Lalu, dimanakah kedudukan bahasa Arab di hati kita?

Bahasa Arab, Bahasa Kebanggaan Kaum Muslimin

Jika sesuatu itu memiliki keutamaan, bukankah dia pantas untuk diperebutkan? Tentu saja! Nah, demikianlah bahasa Arab. Sebuah bahasa yang telah Allah jadikan sebagai bahasa al-Quran, kitab yang paling agung dan senantiasa dijaga oleh-Nya ‘Azza wa Jalla sampai kiamat. Dengan demikian, bahasa manakah yang lebih mulia dan lebih utama daripadanya?

Jika seseorang mampu berpayah-payah dalam mempelajari bahasa Inggris, Mandarin, Jerman, atau yang lainnya demi dunia, maka marilah kita bersikap yang jauh lebih baik daripada itu terhadap bahasa Arab. Jika seseorang rela mengeluarkan banyak uang agar sampai ke level bahasa asing yang paling mahir, maka marilah kita bersikap yang jauh lebih baik daripada itu terhadap bahasa Arab.

Bukan Berarti Kita Tidak Boleh Belajar Bahasa Asing Selain Bahasa Arab

Untuk menghindari kerancuan pemahaman dalam permasalahan ini, marilah kita simak penjelasan seorang ulama besar kaum muslimin abad ini, Syekh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin rahimahullah.

(?) Syekh ‘Utsaimin rahimahullah ditanya:
Apakah pendapat Anda jika seorang penuntut ilmu mempelajari bahasa Inggris, terlebih lagi jika dia mempelajarinya untuk berdakwah di jalan Allah?

(+) Syekh ‘Utsaimin menjawab:
Menurut saya, tidak diragukan lagi bahwa mempelajari bahasa Inggris merupakan salah satu sarana, dan sarana tersebut akan menjadi sarana yang baik jika memiliki tujuan yang baik, dan akan menjadi sarana yang membinasakan jika tujuannya buruk. Akan tetapi, yang perlu dihindari adalah menjadikan bahasa Inggris sebagai pengganti bahasa Arab, karena sesungguhnya menggantikan kedudukan bahasa Arab yang merupakan bahasa al-Quran dan juga bahasa yang paling mulia dengan bahasa Inggris adalah sebuah keharaman. Telah diriwayatkan dari salah seorang salaf (yaitu ‘Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu -ed) tentang larangan bercakap-cakap menggunakan bahasa orang kafir. Adapun jika digunakan sebagai sarana dakwah, maka tidak diragukan lagi bahwa terkadang hal tersebut menjadi wajib. Saya pun terkadang berangan-angan seandainya saya mempelajari bahasa Inggris dan pada sebagian waktu aku sangat butuh untuk menggunakan bahasa Inggris, sampai-sampai penerjemah tidak dapat mengungkapkan maksud hati saya secara sempurna. (Kitabul ‘Ilmi, hlm.116)

Anda Semakin Tertarik Belajar Bahasa Arab?

Jika Anda benar-benar tertarik belajar bahasa Arab, kami sarankan agar Anda menentukan sasaran yang ingin Anda tuju. Bisa jadi sasaran tersebut Anda tentukan berdasarkan kebutuhan atau berdasarkan minat. Selanjutnya, fokuslah pada salah satu atau beberapa sub-pelajaran yang dapat memenuhi sasaran tersebut. Untuk permulaan belajar, berikut ini adalah beberapa bidang pelajaran dalam bahasa Arab yang dapat Anda pilih:

(1) Nahwu dan sharaf

Nahwu dan sharaf adalah dua di antara beberapa sub-pelajaran dalam bahasa Arab. Nahwu dan sharaf merupakan pelajaran tentang tata bahasa. Atas pertolongan Allah kemudian dengan bekal keduanya, insya Allah seseorang dapat lebih memahami kandungan Al-Quran dan hadits-hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Selain itu, kemahiran membaca kitab bahasa Arab yang tanpa harakat (lebih terkenal dengan istilah “kitab gundul”) dapat diperoleh. Karya tulis para ulama yang sarat dengan ilmu sebagian besar ditulis dalam bahasa Arab. Sungguh sayang jika kita tak mampu menggali manfaatnya. Nahwu dan sharaf adalah jembatan menuju ke sana.

Nahwu adalah ilmu yang mempelajari perubahan keadaan akhir suatu kata, contoh:

Dalam suatu teks, susunan huruf محمد memiliki tiga kemungkinan cara baca, yaitu مُحَمَّدٌ (Muhammadun), مُحَمَّدٍ (Muhammadin), atau مُحَمَّدًا (Muhammadan). Jika kita membaca “Muhammadun”, maka fungsi kata tersebut dalam suatu kalimat akan berbeda dengan jika kita membacanya “Muhammadan” atau “Muhammadin”. Perubahan keadaan akhir (harakat atau huruf) suatu kata akan menyebabkan fungsinya dalam kalimat menjadi berbeda, yaitu apakah dia akan menjadi subjek, objek, kata keterangan, atau yang lainnya.

Kata مُسْلِمُوْنَ (muslimun) dan kata مُسْلِمِيْنَ (muslimin) memiliki arti yang sama, namun fungsi yang berbeda dalam suatu kalimat. “Muslimun” dapat berfungsi sebagai subjek, namun tidak dapat berfungsi sebagai objek. Adapun kata “muslimin” dapat berfungsi sebagai objek, tetapi tidak dapat berfungsi sebagai subjek.

Adapun sharaf, dia adalah ilmu yang mempelajari pembentukan kata dan perubahannya karena penambahan atau pengurangan. Contoh: dari kata كَتَبَ (artinya: dia (seorang laki-laki) telah menulis) dapat kita peroleh kata كِتَابٌ (artinya: buku).

(2) Muhaddatsah/Hiwar (Percakapan)
Sasaran muhaddatsah/hiwar adalah untuk meraih kemampuan menggunakan bahasa Arab secara aktif. Pelajaran ini i sya Allah bermanfaat untuk orang-orang yang membutuhkan percakapan sehari-hari dalam bahasa Arab, misalnya orang non-Arab yang akan bermukim di wilayah yang penduduknya berbahasa Arab. Dapat pula bermanfaat bagi orang-orang yang ingin menambah kosakatanya dalam bahasa Arab agar mempermudah pada saat menelaah kitab berbahasa Arab (sehingga tidak perlu sering membuka kamus).

(3) Khath
Sebagaimana dalam bahasa-bahasa lain, dalam bahasa Arab pun terdapat berbagai bentuk keterampilan, yaitu membaca, berbicara, menulis, dan mendengarkan. Khath adalah bidang ilmu yang mengajarkan tata cara menulis aksara-aksara arab (lebih kita kenal dengan istilah “huruf hijaiyyah”), baik pada saat aksara tersebut berdiri sendiri maupun pada saat bersambung dengan aksara lain.

Tetap Ingat yang Satu Ini

Bahasa Arab adalah ilmu yang menjadi sarana untuk memahami cabang-cabang ilmu syariat yang lain. Karena itulah, kita sepatutnya bersungguh-sungguh mengejar ilmu bahasa Arab di jalan mana pun yang mesi ita susuri. Namun, tetaplah ingat bahwa ilmu adalah makanan (bagi jiwa), maka perhatikanlah dari siapa ilmu bahasa Arab kita peroleh. Pilihlah guru yang lurus akidahnya dan bersih pemahamannya tentang Islam. Sungguh banyak orang yang pandai berbahasa Arab, tetapi kepandaiannya itu justru menyesatkannya semakin jauh dari jalan kebenaran, karena ilmu tersebut diperolehnya dari orang-orang yang kelam pandangannya dan sungguh buruk pemahamannya tentang Islam.

Demikianlah sedikit ilmu yang dapat kita jikmati bersama kali ini. Semoga bermanfaat dan beralir berkah dari Allah Subhanahu wa Ta’ala bagi kita semua.

Saudariku, Belajar bahasa Arab sungguh menyenangkandan bermanfaat. Selamat mencoba.

Maraji’ (referensi):
- Kitabul ‘Ilmi, Syekh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin, 1426 H/2005 M, Kairo: Maktabah Islamiyah.
- Qawa’idul Asasiyyah (Cetakan ke-3), 1427 H/2007 M, Beirut: Darul Kutub Al-‘Ilmiyyah.

***