THOUSANDS OF FREE BLOGGER TEMPLATES

Sabtu, 09 Januari 2010

hari yg lalu

Waktu ini, penuh lamunan. Langit cerah, tetapi hujan deras. Sepertinya
langit sedang menangis. Menangis untuk mengenangmu, Cinta. Hari ini genap 7
x 365 hari yang lalu aku mengenalmu. Waktu terasa berlalu begitu cepat. Tak
terasa usai sudah sesuatu yang kita sebut ‘hidup’. Karena ternyata waktu tak
menunggu.

Rasanya seperti mimpi. Aku masih mendengar tawamu yang ceria ketika kita
berlari kecil menelusuri bilik satu ke bilik di rumah sakit itu. Aku masih
mendengar suara banggamu karena tubuhmu mulai menggemuk. Masih tertawa
karena leluconmu tentang kepala ku yang dicukur botak. Masih melihatmu
berdandan, dan memakai eyeshadow itu.

Rasanya baru kemarin aku memeluk tubuhmu yang kecil. Baru kemarin engkau
menyuruhku untuk menjaga kesehatan. Baru kemarin engkau mengucapkan kata
‘Selamat ulang tahun’. Rasanya seperti mimpi. Kini telah kau pergi. Dan tak
mungkin kembali.

Banyak pertama kali yang kulakukan denganmu. Banyak yang telah kau beri
dalam hidupku. Kau mengajarkan aku kekuatan, mengajarkan aku untuk tak
pernah menyerah. dan memberikan aku pengertan tentang mimpi-mimpi kita.

Lucu. Karena rasanya baru kemarin engkau menampar pipiku hingga merah. Dan
keluar aroma cinta dari hatiku yang lebam-lebam. Rasanya baru kemarin kau
mengecup keningku, dan mengatakan betapa engkau mencintaiku.

Aku masih ingat betul, Sayang. Saat kau mencaci-maki aku. Kata-kata itu
masih terekam jelas di otakku. Yang membuatku bertanya-tanya, mengapa katamu
kau mencintaiku. Yang membuatku semakin ragu akan yang kau sebut dengan
cinta.

Dan teringat ketika akhir itu mereka bertanya, ‘mengapa? Mengapa harus
engkau?!’ Tapi aku tahu pasti jawabannya, karena Tuhan pasti begitu
mencintai mu.

Kau mengeluh sakit, tapi kau tetap tertawa. Kau terus berjuang melawan
penyakit yang melanda tubuhmu yang mungil itu. Di kala deritamu engkau masih
mengingat aku. Dan kau tak lupa pada satupun keluargamu. Kau berjuang. Kau
kuat. Kau tidak kalah, Sayang, kau tidak kalah pada penyakit itu. Tapi Tuhan
punya rencana lain. Rencana yang tak dapat dimengerti nalar manusia, tetapi
pasti yang terbaik untukmu.

Tahukah kamu, siapa yang setiap malam mendoakan engkau dan kesehatanmu?
Siapa yang setiap malam menaruh secarik kertas harapan mimpi indah di balik
bantalmu? Siapa yang setiap malam menenangkan engkau dari racauan-igauanmu
yang nampak sangat meresahkan itu? Itu aku.

Aku melihatmu terkulai di sana, 7 x 365 hari yang lalu dengan nafas yang
parau Semua menangis melihatmu, semua prihatin. Tapi mereka tahu kau tidak
kalah melawan penyakit. Mereka tahu betapa kuatnya engkau. Mereka tahu
betapa indahnya hidupmu. Mereka tahu kau tidak lagi menderita, dan betapa
bahagianya dirmu cinta, Mereka tahu hidupmu selalu dipenuhi oleh kebaikan,
Sayang. Jadi tak ada yang perlu disesali. dan ditangisi hanya doa-doa yang
keluar dari mulut mereka

Hari itu, adalah yang terakhir kalinya aku melihatmu. Setelah sekian lama
aku menunggu untuk dapat menatap dirimu. Engkau tertidur, di sana, dan
wajahmu bagai tersenyum. Aku menjemputmu, Sayang. Berharap kau akan
melihatku kembali, setelah bertahun-tahun lamanya engkau buang pandanganmu
sejauh mungkin dari seonggok hati berisi cinta padamu ini.

Di atas peti wajahmu begitu damai, kau meninggalkan kita. Tapi kenangan
tentangmu selalu ada. Hingga akhir jaman. Kenangan yang kau tinggalkan tak
pernah sia-sia.

Maka lonceng waktu itu berbunyi 7 x 365 hari yang lalu, dan saatnya untuk
pergi. Permintaan terakhirku dikabulkan sudah. Dan saatnya untukmu kembali
di sisinya.

Maaf, Sayang, tapi kali ini tak lagi aku menemani. Karena aku tak bisa
membantumu menemanimu ke taman-taman syurga yang telah di janjikan Allah
SWT. Karena tubuhku kini berat, setelah sekian lama kau beri aku dengan
beribu kata-kata Cinta. Maafkan aku, Sayang. Ini adalah pertama kalinya aku
meninggalkanmu, melupakan arti cintaku padamu. ini tak perlu lagi ditangisi.
Tak perlu lagi kami kuatir. Kau tak akan pernah mengeluh sakit lagi. Tak
perlu memakan semua sayur-sayuran tanpa rasa yang selalu kau makan setiap
hari.

Karena kini Tuhan menjagamu, menjadi sahabatmu, menggantikan kami. Kini
engkau telah bertemu dengan pendahulu-pendahulumu, dan bercanda bersama
mereka di alam sana. saat ku sholat jenazah, aku menitikkan air mata duka.
Bukan duka lazimnya terhadap yang meninggal dunia, namun duka terhadap
diriku sendiri yang fana. dan doaku
"Allahumma anta rabbi Laa ilaaha illa anta khalaqtani Wa anaa abduka wa anaa
alaa 'ahdika Wawa'dika mastatho'tu Abuu ulaka bi ni'mati alayya wa abuu
bidzanbin"
"FAGHFIRLIII FAINNAHU LAA YAGHFIRUDZDZUNUUBA ILLAA ANTA "

(Ya Allah, engkaulah Rabb ku Tiada ilah melainkan Engkau, yang telah
menciptakanku Dan aku hanyalah hambaMu, yang terikat janji denganMu Kan
kupenuhi janji itu semampuku Kuakui segala nikmatMu padaku, dan kuakui pula
segala dosaku"
UNTUK ITU AMPUNILAH DAKU ...KARENA TIADALAH YANG MAMPU MENGAMPUNI DOSA
MELAINKAN ENGKAU)

sudah dan akan selalu ku titipkan doaku setiap ku bersimpuh kepada-Nya agar
engkau selalu berbahagia, berada di sisi-Nya. ya kekasihku, tidurlah
disisinya untuk selamanya kekasihku yang tercinta.

manusia diluar angkasa

Aku yakin wajah yang berada di dalam cermin itu bukan diriku. Teksturnya menyimpang liar dari fakta. Dengan jujur aku mengakui bahwa aku terlahir ganteng. Mirip Antonio Banderas sedikit. Tapi saat jemari mentari pagi memancar mataku dan membuyarkan mimpi dalam pulasku, kebanggaan akan wajahku sekonyong-konyong terancam. Tapi pagi ini, aku berani menyangkal. Aslinya penampilanku memikat, namun kenapa musti nongol figur makhluk aneh?
Aku tak bisa mendeskripsikan secara detail 'diri'-ku yang lain, yang nampak di cermin. Kira-kira begini, kepalaku nyaris mengembang sebesar guci keramik yang dipajang di ruang tamu. Bulat rada melonjong. Jidatku lebar dan berkerut-merut. Oya, kepala 'asing' itu botak licin mengkilap. Sepasang mataku persis ikan maskoki, seputarnya sembab. Pelipisku membengkak dan alisku rimbun kecoklatan. Hidungku cuma menyembul satu senti dengan cuping mekar. Pesek. Makhluk itu, selayang mengingatkan pada film-filim science-fiction yang kerap aku tonton. Jelek, menjijikkan, dan menakutkan.
Lama pula aku terpekur. Aku tegaskan harapan semoga pengalaman aneh pagi ini cuma ilusi belaka. Harus ada proses kausalitas kalau aku terhasut percaya. Kenapa begitu? Tapi yang mengherankan saat aku menguji kesesuaian antara diriku yang di luar dan bayangan di dalam cermin. Tiap gerakan fisik yang aku lakukan misalnya meraba-raba pipi, hidung, bibir, telinga, mata, dan kening, dia menirunya serba tepat. Tapi aku tetap merasakan keberadaan diriku wajar-wajar saja. Ah, apa yang sebenarnya terjadi?
Satu-satunya cara membuktikan apakah semua ini ilusi atau bukan adalah mencari persepsi obyektif dari Ibu dan Bapakku. Meskipun aku yakin makhluk dalam cermin itu bukan diriku yang riil.
"Tumben terlambat, Ry," kata Ibu yang lagi mengoleskan selai nanas ke lempengan roti. "Buruan mandi, deh. Sebentar kesiangan sampai sekolah."
Senyumku tercetak kaku. Jarum jam dinding merangkak di kisaran enam lima belas menit. Sesaat aku tertegun memandang mereka.
Bapak mendongak dari rentangan koran yang dibacanya sejenak. "Malah bengong. Bapak pengen berangkat nih, Ry. Mau menumpang atau nggak?"
"Siap, Bos," sahutku. Lalu ngeloyor ke belakang. Lega.
Tapi seusai mandi dan balik bersalin seragam di kamar, aku kembali menemukan 'diri'-ku yang asing saat bercermin.

***

Sebenarnya aku segan mengeluhkan perihal ini. Pada siapapun, bahkan Bapak dan Ibu. Aku ingin melupakannya. Masih mengantri sederet masalah lain yang lebih penting dipikirkan. Namun entah kenapa peristiwa edan pagi tadi itu terus-menerus menerjang benakku. Sesosok makhluk antah-berantah. Ini amat mengganggu ketenanganku.
Unek-unek itu coba aku limpahkan ke Beno. Dari sejumlah teman seantero sekolah, Beno ibarat kulit dan daging denganku. Dekat. Sahabat. Kadang anak-anak iseng meledek kami pasangan hombreng. Cuek. Hak mereka bersuara. Yang jelas kerukunanku sama Beno terbina. Beno baik. Solidaritasnya cemerlang. Itulah pasalnya aku mempercayainya.
Bahwa Beno terheran-heran selepas menyimak pemaparanku, aku mafhum. Kiasah misterius ini sarat kadar khayali. Sembilanpuluh sembilan prosen, mungkin. Sukar dicerna rasio. Tapi ketika kubuktikan kepadanya, lewat secarik kaca peraut pinsil, Beno terkejut bukan kepalang. Merinding. Dan percaya. Setelah sekian menit mencermatinya.
"Tapi mengapa keadaanmu yang kulihat sekarang nggak menggambarkan kelainan oragan-oragan sedikit pun?" tanya Beno meringis. Tubuhnya melorot lemas di kursi. Dipandangnya aku lumat-lumat.
"Itu yang masih belum terjawab," sahutku, sambil menyusupkan rautan tadi ke dalam ransel.
"Mirip-mirip... mutant? Tahu kan, Ry?" Beno mereka-reka.
"Ya, perubahan sel-sel genetik akibat faktor tertentu," tanggapku. "Radiasi nuklir atau limbah-limbah kimiawi pun memungkinkan terangsangnya proses mutasi gen jika terkena."
"Tapi ini bukan mutasi, Ry," sergah Beno serius.
"Saya rasa begitu," keluhku. "Ah, kenapa saya ini?!"
"Anatomi makhluk dalam cermin itu, kayak makhluk-makhluk imajinasi dari angkasa luar, Ry," Beno mengobral taksiran lain.
"Alien, begitu? Saya dirasuki Alien? Bagaimana bisa?" Aku jadi merasa geli sendiri. Aku tak kuasa menangkal laju senyumku. Pembicaraan kami di kantin siang ini sepulang sekolah seakan-akan saling menguliti kebodohan saja. "Dalam jasadku hidup Alien...."
"Kamu percaya UFO, Ry? Kehidupan lain selain di bumi?"
Aku menguncupkan bahu sambil tertawa. "Nggak tahu, deh. Tapi kamu bisa kan mengupas masalah saya ini dari sudut yang wajar?"
Beno tergugu. Lalu melengos. "Yah, kamu benar," sungutnya.

***

Kelas III IPS 2 ramai dan gaduh. Sesekali terlontar sorak-sorai membahana. Begitu riuh dan bersemangat. Dan dijerat amarah.
Beno menyongsong kedatanganku. Ia nampak cemas.
"Gawat, Ry. Bondan menghasut anak-anak!"
"Apa?" Aku tersengat. Aku bersijingkat. Melongok ke dalam kelas dari kerumunan siswa yang memadati pintu. Bondan nampak berdiri kokoh di atas meja. Berkoar-koar dengan tatapan berapi-api.
Seantero SMA 17 Agustus 45 pasti kenal Bondan. Dialah siswa pemberani di sekolah ini. Ketimpangan-ketimpangan yang ia temukan dalam aktifitas pendidikan di sekolah kami, digugatnya blak-blakan. Pendukungnya banyak. Ia figur pemberontak tulen. Ia terpaksa didepak dari keanggotaan OSIS, karena kelewat gencar mengkritik dan melecehkan inisiatif ketua yang melempem.
Katanya, para pengurus OSIS itu cuma numpang tenar, biar dekat sama guru-guru. Hebatnya lagi, cowok yang bokapnya sehari-hari bekerja sebagai buruh pabrik itu, tak sungkan-sungkan hengkang dari kelas saat guru mengajar. "Cara menerangkannya payah. Tuh guru pantes ngajar di TK!" ujarnya.
Kini, ia menancapkan aksi baru. Dasar senewen!
Bondan pengen mengadakan demonstrasi?" Aku menoleh ke Beno.
"Yah," angguk Beno. "Tadi, tiba-tiba saja ia memanggil anak-anak dari kelas-kelas lain. Mengumpulkannya di kelas kita. Ipung dan Fredi membantunya. Kamu tahu kan, Ry, Bondan jago propaganda. Dia bilang, Kepala Sekolah kita yang baru sebulan bertugas itu diangkat lewat prosedur nggak sah. Dia juga tambahkan, Kepsek baru itu mata duitan. Ry, kita harus cegah niat sontoloyo Bondan."
Aku tak sangka Bondan berpikiran sekotor itu. Menimang-nimang sedetik, lalu aku menyeruak. Hingga aku berada di dalam kelas.
"Bondan, turun!" bentakku. "Saya mau ngomong sama kamu!"
Bondan menyeringai ke arahku. Ia melompat ke lantai.
"Halo, Ketua Kelas kita. Mau bergabung?" Gayanya menyebalkan.
Aku menggeretnya ke pojok kelas. Menghindar dari keramaian.
"Kamu musti punya alasan yang kuat kenapa mengajak demo, Dan?!"
"Aku rasa sudah jelas. Kita tuntut agar Pak Widnarjo, Kepsek kita yang terdahulu, dikembalikan posisinya. Kepsek baru sekarang ini mutunya rendah!"
"Aku kenal Pak Sigit, Dan. Sekolah memilih dia karena dedikasinya yang tinggi. Ia justru lebih baik ketimbang Pak Widnarjo."
"Problem kamu, Ry. Pokoknya aku dan lainnya menentang."
Mendadak kepalaku pening. Tubuhku limbung dan tersandar ke dinding. Pada saat itu, sebersit adegan ringkas berkelebat di benakku. Aku melihat Bondan menerima segepok uang dari Pak Widnarjo!
"Ry, kamu kenapa?" tanya Bondan acuh tak acuh.
Adegan tadi sirna. Pening itu berangsur hilang. Aneh....
"Kamu disogok berapa sama Pak Widnarjo?" tebakku spontan, seolah aku yakin tebakanku jitu. Aku tatap Bondan setajam pedang.
Bondan tersekat. Gelisah. "Ki-kita bagi dua, Ry," bisiknya.
"Kamu bubarkan anak-anak atau aku laporkan ke guru BP," ancamku.
"Ry, aku cuma disuruh beliau. Dia kecewa atas penggeseran jabatan Kepsek itu. Dia dendam," ujar Bondan tersendat-sendat.
"Itu fitnah, Dan. Kamu sama saja makan uang haram!" geramku.
Agaknya Bondan menyesal. "Bagaimana kamu bisa tahu imbalan itu, Ry?"
Aku mendengus. Menggeleng. Tuhan, apa lagi ini...."

***

Sorot mata mereka terpusat ke arahku. Berpuluh-puluh makhluk mengerikan itu mengelilingi. Di bawah keremangan suatu ruang. Mereka membisu, namun telingaku menangkap suara-suara riuh. Kupikir mereka menggunakan sistem komunikasi telepatis. Pesan-pesan disampaikan terselubung. Brain to brain!
Inilah bahasa paling rumit sekaligus runyam yang pernah kuketahui. Pakar linguistik atau etnologi pun mungkin kudu ekstra pusing menerjemahkannya. Tapi aku sedikit dan tak lancar mampu mengkamuskan pesan-pesan itu. Entah bagaimana aku bisa tahu!
Ada sepenggal kalimat terus-menerus mendengung memenuhi tempurung kepalaku, hingga aku menghapalnya.
"Secepatnya kami menjemputmu. Segenap bangsa menanti takdir kepemimpinanmu. Generasi tercerdas dan lebih bermoral luhur. Revolusi ini harus dihentikan. Korban sudah banyak. Secepatnya kami menjemputmu. Secepatnya...."
Aku terbangun. Dadaku berdebebar-debar tak beraturan. Cuplikan mimpi tadi masih menggelepar-gelepar di ingatanku. Perasaan gamang berkecamuk di lorong-lorong sukmaku. Malam itu aku mengalami derita batin menyayat. Ditindas oleh terkaman berjuta tanya. Siapakah diriku sesungguhnya?!
Aku beranjak dari ranjang. Kunyalakan lampu. Dengan gelisah aku menjenguk cermin. Napasku tersedak. Wajah makhluk itu masih ada. Kini aku lekas tanggap. Wajahku dalam cermin itu persis wajah makhluk yang menghiasi arena mimpiku. Persis!
Tuhan, siapakah aku sebenarnya? Mengapa Engkau datangkan cobaan berat ini pada hamba-Mu? Siapakah mereka... siapakah aku...?

***

Rasanya aku tak bisa menyimpan lebih lama lagi keganjilan-keganjilan yang akhir-akhir ini merongrong ketenteramanku. Hari itu, aku beberkan seluruhnya pada Ibu dan Bapak.
Mereka terkejut sekali. Terlebih-lebih pas aku buktikan.
"Astaga, waktunya telah tiba," desis Ibu dengan muka haru.
Aku terhenyak. "Maksdu Ibu apa?"
"Ah, nggak. Nggak apa-apa," kelit Ibu seakan tersentak.
Kebingunganku tumbuh. Aku tak mengerti mengapa ketika kegundahan tengah membelit hatiku, mereka malah semakin memupuknya.
"Bu, Pak, Hery harus tahu arti semua ini?!" Aku coba mendesak.
Bapak mendengus berat. Ibu menoleh ke Bapak. Saling kikuk.
"Perjanjian itu sudah kita sepakati, Bu. Kita tak boleh melanggarnya. Bukankah kita berhutang budi pada mereka...."
"Pak, ada apa sih?" Kesabaranku dihimpit penasaran.
Mata tua Ibu berkilat sayu. "Bapak saja yang cerita."
Bapak mengangguk. Mendehem. Ia pindah ke sofa tempatku membeku tegang. Duduk di sisiku. Merangkul pundakku, ia bertutur pelan.
"Ry, delapanbelas tahun lalu, keluarga kita belum semakmur sekarang. Kami, Bapak-Ibu, masih di Cianjur. Perkebunan cabai shishito yang Bapak kelola bersama Ny. Hamada terancam musnah. Cabai khas Jepang yang ditanam di lahan seluas 660 meter persegi itu diserang hama. Seluruhnya. Sulit dipastikan jenis hama apa. Apakah ulat grayak, nematoda, tungau, atau hama thrips. Ny. Hamada malah cenderung mengira antranoksa, sejenis penyakit tanaman yang membahayakan. Kami kelimpungan. Meskipun penanaman cabai ini merupakan proyek percontohan yang pertama dirintis di Indonesia, dan prospeknya nggak sebagus pembudidayaan cabai-cabai lokal, Ny. Hamada bertekad menyelamatkannya. Para petani yang bekerja satu per satu mulai undur diri. Hanya Bapak yang tetap bertahan. Bersama Ny. Hamada, pimpinan proyek itu, kami berpikir keras. Penyemprotan pestisida maunpun insektisida sudah dilakukan. Hasilnya nihil. Sejumlah tenaga ilmuwan rekan Ny. Hamada, dari Jepang, kalang-kabut. Mereka menyerah. Dalam semangat yang kian rapuh, kami masih berjuang memecahkan masalah ini. Dalam saat-saat kritis itulah, kami didatangi oleh seseorang."
"Siapa dia? Utusan pemda?" selaku. Aku menyimak seksama.
"Mulanya kami dan staf lainnya menduga begitu. Ia mengunjungi laboratorium kami malam hari. Ia menjanjikan bahwa besok pagi kondisi area tanaman cabai shishito itu akan kembali normal. Ia mengaku memiliki zat kimiawi tertentu yang ampuh memberantas hama atau penyakit. Kami senang mendengarnya. Tapi ia baru bersedia memenuhi janjinya asalkan kami sanggup menjalani satu syarat. Ini dia tujukan ke Bapak dan Ibu. Entah dari mana ia tahu kalau kami sudah menikah. Pria itu meminta agar kami mengadopsi seorang bayi dari mereka. Ibumu menyambut setuju. Sudah lama Ibu merindukan anak. Bapak turut bahagia. Maka dibuatlah perjanjian. Saatnya kamu menanjak dewasa, mereka akan menemui kami. Mengambil kamu, Ry. Membawamu pergi lagi."
Kali ini aku kurang paham. Dan Bapak agaknya tahu hal ini.
Perlahan ia melanjutkan. "Orang itu menepati janji. Esok harinya perkebunan cabai shishito kami nampak lebih sehat, segar, kuat dan subur. Nggak lagi layu dan meranggas kusam seperti kemarin-kemarin. Terlebih menakjubkan, sejak itu tanaman cabai shishito kami kebal terhadap gangguan hama dan penyakit apa pun."
"Bagaimana ia bisa melakukannya?" tanyaku.
"Nggak seorang pun tahu...." Suara Bapak terbata. Melirik Ibu.
"Semuanya, Pak. Ungkapkan," ujar Ibu tampak tabah dalam duka.
"Baiklah. Kamu nggak tahu teknologi apa yang mereka terapkan. Sekitar pukul dua dinihari, sepeninggalnya, kami terjaga dari tidur. Hampir semua peneliti, staf, dan termasuk Ny. Hamada, mendengar bunyi gemuruh halus di angkasa. Kami berduyun-duyum keluar laboratorium. Di atas areal perkebunan cabai, mengapung sebuah piringan raksasa. Menyerupai cakram. Garis tengahnya diperkirakan sembilan ratus meter. Cahaya kehijauan tertumpah merata dari satu lubang yang menganga di permukaan bawah benda itu. Lahan tanaman cabai benderang oleh cahaya. Lima menit berlalu, cahaya lenyap. Benda tadi membubung lamban. Kali ini tanpa bunyi sedikit pun. Suasana terasa hening. Sunyi. Sampai benda itu tiba-tiba melejit luar biasa cepatnya. Nggak sampai satu menit, kamu sudah menyaksikan benda itu tinggal sebentuk titik mungil. Membaur di antara tebaran bintang. Dari peristiwa itu, kami menyimpulkan bahwa cahaya itulah yang memulihkan tananman cabai."
Prasangka konyol menembus benakku. "Apakah mereka...."
"Ya, pria penolong itu makhluk luar bumi," potong Bapak. "Kami nggak pernah bertemu lagi. Tapi ia pasti muncul lagi, setelah bayi yang diserahkan ke kami meningkat dewasa. Kami rawat, didik dan asuh bayi itu dengan penuh kasih-sayang. Kami anggap darah-daging kami sendiri. Sekarang ia sudah besar, gagah, tampan, dan pintar. Sang Jabang Bayi itu adalah... kamu sendiri, anakku...."
"Bapak mengada-ada!" sangkalku keras. Kaget dan tak percaya.
"Benar, Ry," Ibu menegaskan. "Di sana, tempat asalmu, kamu adalah calon pemimpin. Kamu dipersiapkan guna menumbangkan pemimpin mereka saat ini. Yang bertindak semena-mena. Zalim dan biadab. Ada satu materi penting yang mereka sadari telah dilalaikan. Moral dan mental suci. Timbullah gagasan mempelajarinya dari umat manusia di bumi. Seorang bayi kaum mereka direkayasa sedemikian rupa hingga berwujud sama dengan bayi manusia. Bayi ini akan tumbuh sebagaimana layaknya manusia umumnya dan menyerap segala hal dalam kehidupan manusia. Termasuk apa itu moral dan mental. Sejak TK hingga kamu menjelang tamat SMA."
Aku tercenung. Menelan ludah dengan susah payah.
Bapak melanjutkan. "Makhluk yang kamu lihat dalam cermin itu adalah sosok aslimu. Hanya akan terlihat jika kamu sudah mencapai kedewasaan. Ini juga isyarat, mereka tengah bersiap-siap menjemputmu. Selanjutnya kamu akan digembleng ilmu kemiliteran di sana."
"Ah, ini mengada-ada!" desahku takut dan sedih. "Ibulah yang melahirkan aku. Kalianlah orangtua aku yang sesungguhnya!"
"Sebelum Bapak menikah, Ibumu dinyatakan mandul oleh dokter. Akibat kanker kandungan yang pernah dideritanya," jelas Bapak dengan serius.
Aku terbelalak. Badai ganas menerpa jiwaku. "Bagaimana kalau aku menolak pergi saat mereka datang?!" dalihku emosi. Kalut luar biasa.
"Kami pun nggak rela berpisah darimu, tapi kami harus mematuhi perjanjian. Kamu harus ikut mereka," jawab Bapak murung. Matanya berkaca-kaca.
"Kalau kerusuhan di sana mereda, kamu bisa sesekali menemui kami, Ry. Tentu kamu akan membawa cerita-cerita menarik tentang dunia di sana. Dunia asing yang masih misterius itu," hibur Ibu, juga dengan mata berkaca-kaca.
Bapak dan Ibu sepertinya telah siap menghadapi hal ini. Tiba-tiba saja aku merasa tak punya pilihan lain lagi. Walau sulit kucerna, akhirnya kepasrahan membalutku. Siapa pun aku, inilah takdir. Bahwa ternyata aku adalah putra dari segolongan kaum yang bukan manusia. Dan malam itu, aku bersikap tegar saat di atas rumahku mengambang megah sebuah cakram raksasa.
Keberangkatanku telah tiba. ©

cahaya putih jilbab matahari

Siang ini matahari menyengat lebih panas dari hari-hari sebelumnya.

Entah kenapa. Padahal, perkiraan cuaca untuk hari ini justru sama sekali tidak cerah.

Apakah karena jilbab putih ini yang menyekat ruang-ruang udara di sekitar wilayah wajahku? Padahal, kata orang warna putih seharusnya tidak terlalu baik dalam menyerap panas.

Siang ini panas matahari benar-benar menyusup ke dalam uluh hatiku.

Panas, sangat panas!

Lebih-lebih ketika seisi sekolah mendendangkan satu nama, Sulistiya Rahmawati.

Ya, akhirnya gadis manis itu merebut juara pertama lomba olah vokal antar kelas.

Muak! Aku benar-benar muak dengannya. Memangnya hanya Sulis yang bisa diagung-agungkan oleh seisi sekolah? Aku pun bisa! Asalkan jilbab putih ini tidak mengikat kepalaku, pasti namaku yang bersenandung, Nandiva Safitri.

„Diva, lengan tanganmu kelihatan, tuh!

Nggak enak dilihat sama temen-temen sekelas lainnya. Lebih-lebih laki-laki. Kan sayang auratmu,“ Tukas Sri, salah satu rekan sekelasku yang benar-benar militan terhadap apa-apa yang kukerjakan. Semuanya pasti dikomentari! Baju yang tidak terlalu ketat, rambut yang tak boleh segaris pun terlihat, cara berjalan yang harus seadanya, pandangan yang harus senantiasa terjaga…. Tidak ada yang alpa dari pandangan gadis berjilbab „terpanjang“ satu sekolah itu.

„Iya Sri, ini memang disengaja kok. Kalau lengan kemeja panjang ini sedikit dilipat ke atas aku ngerasa lebih bebas untuk menulis.

Lagipula, gadis berjilbab bukan berarti ketinggalan mode dong?!“ belaku.

Sri tersenyum dingin. Dari gayanya memicingkan sedikit mata, aku tahu ia sedikit kurang suka dengan jawabanku.

Daripada terus berdebat dengan Sri, langsung saja kuayunkan langkahku ke kantor guru. Niatku kali ini sudah cukup bulat. Aku harus mendaftarkan diri dalam lomba olah vokal antar Sekolah se-Jakarta Timur. Aku pasti bisa! Meski dengan beban helaian bahan putih di kepalaku, kurasa itu bukan masalah. Toh, banyak juga artis-artis berjilbab yang masih saja ber“lenggok“ di depan layar kaca. Kalau mereka boleh, kenapa aku tidak?

*****

Sial! Meja Pak Teguh sudah dikerumuni banyak siswa. Tidak kukira. Ternyata lomba yang tinggal seminggu itu sangat banyak diminati. Makin banyak saja sainganku. “Ya Tuhan, walau bagaimanapun aku percaya pasti kau jadikan aku yang terbaik. Bukankah aku hambaMu yang taat?”

Setelah 30 menit menunggu, akhirnya tibalah giliranku. Serentak kusebutkan namaku dan asal kelasku. Aku benar-benar bersemangat. Namun, ada yang ganjil di raut wajah Pak Teguh, entah kenapa? Aku merasa sangat terdiskriminasi, mentang-mentang wajahku berselimut jilbab putih? Tidak adil!

Namun demikian, untungnya Pak Teguh tetap menyertakan namaku, walau sebelumnya, ia masih saja meyakinkanku, apakah aku benar-benar ingin ikut? Tentu saja kujawab tegas, „iya!“ Siapa sih yang belum kenal namaku? Diva, 2 tahun berturut-turut aku selalu menjadi juara olah vokal antar kelas? Pak Teguh pun selalu saja membanggakan namaku. Tentu ia sudah tahu benar bagaimana kemampuanku.

Pandanganku kali ini teralih kepada Sulis. Gadis itu juga berjalan menuju meja Pak Teguh. Sial! Pasti gadis itu juga ingin turut ambil bagian. Dari samping pintu pelan-pelan kulihat pembicaraan Sulis dengan Pak Teguh. Pasti Pak Teguh meminta Sulis benar-benar serius dan berlatih. Karena baru tahun ini sekolah kami ambil bagian di lomba bergengsi ini.

Dan aku percaya, Pak Teguh pasti lebih menjagokan Sulis. Selain cantik, ia juga memang berbakat. Sedangkan aku? Walaupun suaraku tidak kalah hebat dengan suaranya, tapi penampilanku pasti kalah menarik dengan Sulis. Ya! Lagi-lagi gara-gara jilbab putih yang senantiasa terikat di kepalaku.

Ah, andai saja 6 bulan yang lalu pesona Muaz tidak membuat hatiku rapuh.

Andai saja aku tahu, walau dengan jilbab putih ini aku masih belum bisa menarik perhatian ketua rohis itu.

Tetap saja. Semua karena jilbab putihku!

*****

Pagi-pagi Sri dan kawan-kawan lainnya sudah berkerumun di depan kelas. Entah ada kejadian apa. Padahal belum ada hasil ulangan yang akan keluar di minggu-minggu ini. Apakah ada yang ulang tahun?

Ternyata sebuah kejutan! Aku terperangah. Siapa kira, ada yang berbeda dengan penampilan Sulis hari ini. Ia berhijab! Aku tersentak. Ada mukjizat apa?

Sri dan kawan-kawan lainnya terus menyalami dan memeluk Sulis. Senandung yang diucapkan pun sama persis seperti yang kudapatkan dulu, ketika aku memakai jilbab untuk pertama kalinya. „Selamat atas hidayah termahal yang telah kamu dapatkan. Semoga kau senantiasa istiqomah di jalanNya. Dengan berhijab berarti kamu sudah belajar menjunjung keanggunan dan kehormatanmu sebagai seorang wanita. Pun, berati kau menjadikan dirimu intan yang benar-benar memancarkan keanggunan. Bukan, bukan kecantikan yang mudah dipamerkan ke semua orang sembarang, tapi justru kecantikan yang teramat mahal, yang dijaga atas dasar keimanan dan ketaatan. “

Kata-kata itu tidak hanya lewat, namun pekat di jaring-jaring otakku.

Tak kalah ambil bagian, langsung kuhampiri dia seraya kuucapkan,

„Selamat ya Sulis. Kau terlihat lebih anggun dengan jilbab putih itu.

Dan aku sependapat denganmu, berjilbab bukan berarti tidak bisa berkreasi dan berseni kan? Kau sudah siap untuk pertandingan besok kan?“

„Tidak, Va. Aku tidak ikut pertandingan itu,“ tukas Sulis datar.

Hatiku mendadak tersentak.

“Kenapa?”

“Sebenarnya, sejak beberapa waktu lalu aku sudah tidak minat aktif di lomba olah vokal di sekolah ini. Setengah hatiku merasa hilang. Benar-benar hilang. Seiring keluarnya kata-kata syahdu yang bergema di kedua bibirku. Sejalan gerak gemulai yang kutebarkan saat tampil. Jauh di lubuk hati, Kadang-kadang kurasa ada yang salah. Tak bisa kujawab itu apa,“

„Lalu, mengapa waktu itu kau juga mendaftarkan diri kepada Pak Teguh?“ tanya heranku.

„Aku sama sekali tidak mendaftarkan diri, Diva. Pak Teguh-lah yang justru tiba-tiba memanggilku. Dia bertanya kenapa kali ini aku tidak ikut serta. Lalu kujelaskan semuanya kepada Beliau. Betapa malas aku ikut acara-acara seperti itu. Lagipula, suara wanita itu aurat kan, Va?”

Aku tersenyum ringan.

Ya Tuhan, entah hadiah apa yang telah kau berikan?

Doaku di malam-malam seminggu ini terkabul. Sulis batal ikut pertandingan!

Ya Tuhan, kusadari betapa sayang dan cintanya Kau kepada hambaMu ini.

Jeling hatiku menari ceria. Semuanya berjalan sempurna. Kesempatanku untuk menang jauh lebih besar, bahkan tak lagi dapat dipungkiri.

*****

Pagi itu ada yang beda di raut wajah Sri. Ia tak lagi menyapaku. Entah kenapa. Padahal hari ini adalah hari perdanaku. Akan kukerahkan segala kemampuanku.

Ah, Sri, biarlah… Semuanya hanya Tuhan yang tahu. Keputusanku untuk sementara melepas jilbab hari ini adalah keputusan yang sulit. Namun aku sudah bertitah, besok akan kukenalkan jilbab putih itu lagi.

Hanya hari ini Tuhan! Pasti kau akan mengerti. Toh, hari esok masih akan ada. Dan tentunya, matahari masih akan bersinar.

Rinai wajahku siang itu memancarkan sinar indah. Sebuah piala bertuliskan Juara Pertama: Lomba Olah Vokal antar SMU Se-Jakarta Timur terjinjing di tanganku.

Teman-temang terus menyebut dan mengagung-agungkan namaku. Melodi di jiwaku benar-benar berirama. Tak kalah merdu juga pujian Pak Teguh yang terus bergeming di telingaku,

„Diva kamu benar-benar hebat! Kamu masih sangat muda dan berbakat. Selain memiliki suara emas, gayamu di panggung tadi benar-benar menakjubkan.

Teruslah berlatih, satu saat nanti kamu akan menjadi orang yang terkenal. Bapak bangga terhadapmu.“

Satu sekolah benar-benar melantunkan namaku.

Aku benar-benar tersanjung.

Ah, Tuhan, lagi-lagi Kau mengerti aku. Walaupun hari ini gerai rambutku tak lagi tertutup, namun kau masih saja memberiku kesempatan.

NikmatMu tiada tara Tuhan!

*****

Siang itu matahari tidak terlalu menampakkan wajahnya. Udara benar-benar sangat sejuk. Sesejuk lantunan pujian-pujian yang terus menari-nari di hatiku.

Teman-teman di satu Mikrolet pun masih memuji dan membanggakanku.

Hari ini adalah hari yang indah!

Siang itu matahari tidak terlalu bersinar, padahal impian dan cita-citaku kian cerah dan merona.

Tiupan udara dari jalan Mikrolet yang cukup kencang membelai setiap helaian rambutku yang bergerak bebas siang itu.

Lambaian angin melenakanku. Aku terlelap.

Sinar terang sekejap membuka kegelapan yang membongkah di pekat kedua mataku.

Pandanganku langsung tertuju kepada wajah yang kukenal itu, Sri.

„Sri, maafkan aku. Demi Allah! Aku menyesal. Tidak lagi-lagi akan terulang! Aku takut Sri, benar-benar takut…“

„Sesosok menyeramkan itu datang! Besar! Aku terus berteriak kencang...

Ampunilah aku Allah! Ampuunn..Ampuun..Ampuunn..!

Teriak sesalku tak pelak didengar. Sosok itu masih saja menggeretku.

Badanku benar-benar terseret, ia terus menarikku. Tidak dengan tanganku Sri, Ia menyeret tubuhku dengan tarikan keras di rambutku. Setiap utas rambutku berteriak kesakitan. Ubun-ubun kepalaku benar-benar panas, mendidihkan serat-serat kulit kepalaku. Pedih. Sakit yang tak pernah terasakan. Tak tahan akan semua itu …“

“Sri, aku akan berubah…! Tak sanggup kuulang lagi memori mimpi ini. Tidak! Kau mau memaafkan aku ,kan? Kau akan terus menjadi sahabat yang terus mengingatkan aku kan Sri?...“ pohonku seraya terus mendekati Sri.

„Lihat Sri! Lihat! Kali ini wajahku telah terbalut dengan jilbab putih lagi. Bahkan lebih panjang Sri! Aku ingin tubuhku benar-benar tertutup rapat!“

Wajahnya terus memandangku. Belum sepatah kata pun yang keluar dari wajahnya. Hanya air mata di kedua pipinya yang kali ini mengalir deras.

Ia terlihat membatin. Wajahnya yang pucat terus memandangku.

Satu kalimat terakhir yang masih ia alunkan,

Allaahummaghfirlaha warhamha wa´aafihi wa` fu anha

diatas sajadah cinta

KOTA KUFAH terang oleh sinar purnama. Semilir angin yang bertiup dari utara membawa hawa sejuk. Sebagian rumah telah menutup pintu dan jendelanya. Namun geliat hidup kota Kufah masih terasa.

Di serambi masjid Kufah, seorang pemuda berdiri tegap menghadap kiblat. Kedua matanya memandang teguh ke tempat sujud. Bibirnya bergetar melantunkan ayat-ayat suci Al-Quran. Hati dan seluruh gelegak jiwanya menyatu dengan Tuhan, Pencipta alam semesta. Orang-orang memanggilnya “Zahid” atau “Si Ahli Zuhud”, karena kezuhudannya meskipun ia masih muda. Dia dikenal masyarakat sebagai pemuda yang paling tampan dan paling mencintai masjid di kota Kufah pada masanya. Sebagian besar waktunya ia habiskan di dalam masjid, untuk ibadah dan menuntut ilmu pada ulama terkemuka kota Kufah. Saat itu masjid adalah pusat peradaban, pusat pendidikan, pusat informasi dan pusat perhatian.

Pemuda itu terus larut dalam samudera ayat Ilahi. Setiap kali sampai pada ayat-ayat azab, tubuh pemuda itu bergetar hebat. Air matanya mengalir deras. Neraka bagaikan menyala-nyala dihadapannya. Namun jika ia sampai pada ayat-ayat nikmat dan surga, embun sejuk dari langit terasa bagai mengguyur sekujur tubuhnya. Ia merasakan kesejukan dan kebahagiaan. Ia bagai mencium aroma wangi para bidadari yang suci.

Tatkala sampai pada surat Asy Syams , ia menangis,

“fa alhamaha fujuuraha wa taqwaaha.
qad aflaha man zakkaaha.
wa qad khaaba man dassaaha
…”
(maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu jalan kefasikan dan ketaqwaan,
sesungguhnya, beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu,
dan sungguh merugilah orang yang mengotorinya
…)

Hatinya bertanya-tanya. Apakah dia termasuk golongan yang mensucikan jiwanya. Ataukah golongan yang mengotori jiwanya? Dia termasuk golongan yang beruntung, ataukah yang merugi?

Ayat itu ia ulang berkali-kali. Hatinya bergetar hebat. Tubuhnya berguncang. Akhirnya ia pingsan.

***

Sementara itu, di pinggir kota tampak sebuah rumah mewah bagai istana. Lampu-lampu yang menyala dari kejauhan tampak berkerlap-kerlip bagai bintang gemintang. Rumah itu milik seorang saudagar kaya yang memiliki kebun kurma yang luas dan hewan ternak yang tak terhitung jumlahnya.

Dalam salah satu kamarnya, tampak seorang gadis jelita sedang menari-nari riang gembira. Wajahnya yang putih susu tampak kemerahan terkena sinar yang terpancar bagai tiga lentera yang menerangi ruangan itu. Kecantikannya sungguh memesona. Gadis itu terus menari sambil mendendangkan syair-syair cinta,

“in kuntu ‘asyiqatul lail fa ka’si
musyriqun bi dhau’
wal hubb al wariq
…”
(jika aku pencinta malam maka
gelasku memancarkan cahaya
dan cinta yang mekar
…)

***

Gadis itu terus menari-nari dengan riangnya. Hatinya berbunga-bunga. Di ruangan tengah, kedua orangtuanya menyungging senyum mendengar syair yang didendangkan putrinya. Sang ibu berkata, “Abu Afirah, putri kita sudah menginjak dewasa. Kau dengarkanlah baik-baik syair-syair yang ia dendangkan.”

“Ya, itu syair-syair cinta. Memang sudah saatnya dia menikah. Kebetulan tadi siang di pasar aku berjumpa dengan Abu Yasir. Dia melamar Afirah untuk putranya, Yasir.”

“Bagaimana, kau terima atau…?”

“Ya jelas langsung aku terima. Dia ‘ kan masih kerabat sendiri dan kita banyak berhutang budi padanya. Dialah yang dulu menolong kita waktu kesusahan. Di samping itu Yasir itu gagah dan tampan.”

“Tapi bukankah lebih baik kalau minta pendapat Afirah dulu?”

“Tak perlu! Kita tidak ada pilihan kecuali menerima pinangan ayah Yasir. Pemuda yang paling cocok untuk Afirah adalah Yasir.”

“Tapi, engkau tentu tahu bahwa Yasir itu pemuda yang tidak baik.”

“Ah, itu gampang. Nanti jika sudah beristri Afirah, dia pasti juga akan tobat! Yang penting dia kaya raya.”

***

Pada saat yang sama, di sebuah tenda mewah, tak jauh dari pasar Kufah. Seorang pemuda tampan dikelilingi oleh teman-temannya. Tak jauh darinya seorang penari melenggak lenggokan tubuhnya diiringi suara gendang dan seruling.

“Ayo bangun, Yasir. Penari itu mengerlingkan matanya padamu!” bisik temannya.

“Be…benarkah?”

“Benar. Ayo cepatlah. Dia penari tercantik kota ini. Jangan kau sia-siakan kesempatan ini, Yasir!”

“Baiklah. Bersenang-senang dengannya memang impianku.”

Yasir lalu bangkit dari duduknya dan beranjak menghampiri sang penari. Sang penari mengulurkan tangan kanannya dan Yasir menyambutnya. Keduanya lalu menari-nari diiringi irama seruling dan gendang. Keduanya benar-benar hanyut dalam kelenaan. Dengan gerakan mesra penari itu membisikkan sesuatu ketelinga Yasir,

“Apakah Anda punya waktu malam ini bersamaku?”
Yasir tersenyum dan menganggukan kepalanya. Keduanya terus menari dan menari. Suara gendang memecah hati. Irama seruling melengking-lengking . Aroma arak menyengat nurani. Hati dan pikiran jadi mati.

***
Keesokan harinya.

Usai shalat dhuha, Zahid meninggalkan masjid menuju ke pinggir kota . Ia hendak menjenguk saudaranya yang sakit. Ia berjalan dengan hati terus berzikir membaca ayat-ayat suci Al-Quran. Ia sempatkan ke pasar sebentar untuk membeli anggur dan apel buat saudaranya yang sakit.

Zahid berjalan melewati kebun kurma yang luas. Saudaranya pernah bercerita bahwa kebun itu milik saudagar kaya, Abu Afirah. Ia terus melangkah menapaki jalan yang membelah kebun kurma itu. Tiba-tiba dari kejauhan ia melihat titik hitam. Ia terus berjalan dan titik hitam itu semakin membesar dan mendekat. Matanya lalu menangkap di kejauhan sana perlahan bayangan itu menjadi seorang sedang menunggang kuda. Lalu sayup-sayup telinganya menangkap suara,

“Toloong! Toloong!!”

Suara itu datang dari arah penunggang kuda yang ada jauh di depannya. Ia menghentikan langkahnya. Penunggang kuda itu semakin jelas.

“Toloong! Toloong!!”

Suara itu semakin jelas terdengar. Suara seorang perempuan. Dan matanya dengan jelas bisa menangkap penunggang kuda itu adalah seorang perempuan. Kuda itu berlari kencang.

“Toloong! Toloong hentikan kudaku ini! Ia tidak bisa dikendalikan!”

Mendengar itu Zahid tegang. Apa yang harus ia perbuat. Sementara kuda itu semakin dekat dan tinggal beberapa belas meter di depannya. Cepat-cepat ia menenangkan diri dan membaca shalawat. Ia berdiri tegap di tengah jalan. Tatkala kuda itu sudah sangat dekat ia mengangkat tangan kanannya dan berkata keras,

“Hai kuda makhluk Allah, berhentilah dengan izin Allah!”

Bagai pasukan mendengar perintah panglimanya, kuda itu meringkik dan berhenti seketika. Perempuan yang ada dipunggungnya terpelanting jatuh. Perempuan itu mengaduh. Zahid mendekati perempuan itu dan menyapanya,

“Assalamu’alaiki. Kau tidak apa-apa?”

Perempuan itu mengaduh. Mukanya tertutup cadar hitam. Dua matanya yang bening menatap Zahid. Dengan sedikit merintih ia menjawab pelan,

“Alhamdulillah, tidak apa-apa. Hanya saja tangan kananku sakit sekali. Mungkin terkilir saat jatuh.”

“Syukurlah kalau begitu.”

Dua mata bening di balik cadar itu terus memandangi wajah tampan Zahid. Menyadari hal itu Zahid menundukkan pandangannya ke tanah. Perempuan itu perlahan bangkit. Tanpa sepengetahuan Zahid, ia membuka cadarnya. Dan tampaklah wajah cantik nan memesona,

“Tuan, saya ucapkan terima kasih. Kalau boleh tahu siapa nama Tuan, dari mana dan mau ke mana Tuan?”

Zahid mengangkat mukanya. Tak ayal matanya menatap wajah putih bersih memesona. Hatinya bergetar hebat. Syaraf dan ototnya terasa dingin semua. Inilah untuk pertama kalinya ia menatap wajah gadis jelita dari jarak yang sangat dekat. Sesaat lamanya keduanya beradu pandang. Sang gadis terpesona oleh ketampanan Zahid, sementara gemuruh hati Zahid tak kalah hebatnya. Gadis itu tersenyum dengan pipi merah merona, Zahid tersadar, ia cepat-cepat menundukkan kepalanya. “Innalillah. Astagfirullah,” gemuruh hatinya.

“Namaku Zahid, aku dari masjid mau mengunjungi saudaraku yang sakit.”

“Jadi, kaukah Zahid yang sering dibicarakan orang itu? Yang hidupnya cuma di dalam masjid?”

“Tak tahulah. Itu mungkin Zahid yang lain.” kata Zahid sambil membalikkan badan. Ia lalu melangkah.

“Tunggu dulu Tuan Zahid! Kenapa tergesa-gesa? Kau mau kemana? Perbincangan kita belum selesai!”

“Aku mau melanjutkan perjalananku!”

Tiba-tiba gadis itu berlari dan berdiri di hadapan Zahid. Terang saja Zahid gelagapan. Hatinya bergetar hebat menatap aura kecantikan gadis yang ada di depannya. Seumur hidup ia belum pernah menghadapi situasi seperti ini.

“Tuan aku hanya mau bilang, namaku Afirah. Kebun ini milik ayahku. Dan rumahku ada di sebelah selatan kebun ini. Jika kau mau silakan datang ke rumahku. Ayah pasti akan senang dengan kehadiranmu. Dan sebagai ucapan terima kasih aku mau menghadiahkan ini.”

Gadis itu lalu mengulurkan tangannya memberi sapu tangan hijau muda.
“Tidak usah.”

“Terimalah, tidak apa-apa! Kalau tidak Tuan terima, aku tidak akan memberi jalan!”

Terpaksa Zahid menerima sapu tangan itu. Gadis itu lalu minggir sambil menutup kembali mukanya dengan cadar. Zahid melangkahkan kedua kakinya melanjutkan perjalanan.

***

Saat malam datang membentangkan jubah hitamnya, kota Kufah kembali diterangi sinar rembulan. Angin sejuk dari utara semilir mengalir.

Afirah terpekur di kamarnya. Matanya berkaca-kaca. Hatinya basah. Pikirannya bingung. Apa yang menimpa dirinya. Sejak kejadian tadi pagi di kebun kurma hatinya terasa gundah. Wajah bersih Zahid bagai tak hilang dari pelupuk matanya. Pandangan matanya yang teduh menunduk membuat hatinya sedemikian terpikat. Pembicaraan orang-orang tentang kesalehan seorang pemuda di tengah kota bernama Zahid semakin membuat hatinya tertawan. Tadi pagi ia menatap wajahnya dan mendengarkan tutur suaranya. Ia juga menyaksikan wibawanya. Tiba-tiba air matanya mengalir deras. Hatinya merasakan aliran kesejukan dan kegembiraan yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Dalam hati ia berkata,

“Inikah cinta? Beginikah rasanya? Terasa hangat mengaliri syaraf. Juga terasa sejuk di dalam hati. Ya Rabbi, tak aku pungkiri aku jatuh hati pada hamba-Mu yang bernama Zahid. Dan inilah untuk pertama kalinya aku terpesona pada seorang pemuda. Untuk pertama kalinya aku jatuh cinta. Ya Rabbi, izinkanlah aku mencintainya.”

Air matanya terus mengalir membasahi pipinya. Ia teringat sapu tangan yang ia berikan pada Zahid. Tiba-tiba ia tersenyum,

“Ah sapu tanganku ada padanya. Ia pasti juga mencintaiku. Suatu hari ia akan datang kemari.”

Hatinya berbunga-bunga. Wajah yang tampan bercahaya dan bermata teduh itu hadir di pelupuk matanya.

***
Sementara itu di dalam masjid Kufah tampak Zahid yang sedang menangis di sebelah kanan mimbar. Ia menangisi hilangnya kekhusyukan hatinya dalam shalat. Ia tidak tahu harus berbuat apa. Sejak ia bertemu dengan Afirah di kebun kurma tadi pagi ia tidak bisa mengendalikan gelora hatinya. Aura kecantikan Afirah bercokol dan mengakar sedemikian kuat dalam relung-relung hatinya. Aura itu selalu melintas dalam shalat, baca Al-Quran dan dalam apa saja yang ia kerjakan. Ia telah mencoba berulang kali menepis jauh-jauh aura pesona Afirah dengan melakukan shalat sekhusyu’-khusyu’ -nya namun usaha itu sia-sia.

“Ilahi, kasihanilah hamba-Mu yang lemah ini. Engkau Mahatahu atas apa yang menimpa diriku. Aku tak ingin kehilangan cinta-Mu. Namun Engkau juga tahu, hatiku ini tak mampu mengusir pesona kecantikan seorang makhluk yang Engkau ciptakan. Saat ini hamba sangat lemah berhadapan dengan daya tarik wajah dan suaranya Ilahi, berilah padaku cawan kesejukan untuk meletakkan embun-embun cinta yang menetes-netes dalam dinding hatiku ini. Ilahi, tuntunlah langkahku pada garis takdir yang paling Engkau ridhai. Aku serahkan hidup matiku untuk-Mu.” Isak Zahid mengharu biru pada Tuhan Sang Pencipta hati, cinta, dan segala keindahan semesta.

Zahid terus meratap dan mengiba. Hatinya yang dipenuhi gelora cinta terus ia paksa untuk menepis noda-noda nafsu. Anehnya, semakin ia meratap embun-embun cinta itu semakin deras mengalir. Rasa cintanya pada Tuhan. Rasa takut akan azab-Nya. Rasa cinta dan rindu-Nya pada Afirah. Dan rasa tidak ingin kehilangannya. Semua bercampur dan mengalir sedemikian hebat dalam relung hatinya. Dalam puncak munajatnya ia pingsan.

Menjelang subuh, ia terbangun. Ia tersentak kaget. Ia belom shalat tahajjud. Beberapa orang tampak tengah asyik beribadah bercengkerama dengan Tuhannya. Ia menangis, ia menyesal. Biasanya ia sudah membaca dua juz dalam shalatnya.

“Ilahi, jangan kau gantikan bidadariku di surga dengan bidadari dunia. Ilahi, hamba lemah maka berilah kekuatan!”

Ia lalu bangkit, wudhu, dan shalat tahajjud. Di dalam sujudnya ia berdoa,

“Ilahi, hamba mohon ridha-Mu dan surga. Amin. Ilahi lindungi hamba dari murkamu dan neraka. Amin. Ilahi, jika boleh hamba titipkan rasa cinta hamba pada Afirah pada-Mu, hamba terlalu lemah untuk menanggung-Nya. Amin. Ilahi, hamba memohon ampunan-Mu, rahmat-Mu, cinta-Mu, dan ridha-Mu. Amin.”

***

Pagi hari, usai shalat dhuha Zahid berjalan ke arah pinggir kota . Tujuannya jelas yaitu melamar Afirah. Hatinya mantap untuk melamarnya. Di sana ia disambut dengan baik oleh kedua orangtua Afirah. Mereka sangat senang dengan kunjungan Zahid yang sudah terkenal ketakwaannya di seantero penjuru kota . Afiah keluar sekejab untuk membawa minuman lalu kembali ke dalam. Dari balik tirai ia mendengarkan dengan seksama pembicaraan Zahid dengan ayahnya. Zahid mengutarakan maksud kedatangannya, yaitu melamar Afirah.

Sang ayah diam sesaat. Ia mengambil nafas panjang. Sementara Afirah menanti dengan seksama jawaban ayahnya. Keheningan mencekam sesaat lamanya. Zahid menundukkan kepala ia pasrah dengan jawaban yang akan diterimanya. Lalu terdengarlah jawaban ayah Afirah,

“Anakku Zahid, kau datang terlambat. Maafkan aku, Afirah sudah dilamar Abu Yasir untuk putranya Yasir beberapa hari yang lalu, dan aku telah menerimanya.”

Zahid hanya mampu menganggukan kepala. Ia sudah mengerti dengan baik apa yang didengarnya. Ia tidak bisa menyembunyikan irisan kepedihan hatinya. Ia mohon diri dengan mata berkaca-kaca. Sementara Afirah, lebih tragis keadaannya. Jantungnya nyaris pecah mendengarnya. Kedua kakinya seperti lumpuh seketika. Ia pun pingsan saat itu juga.

***

Zahid kembali ke masjid dengan kesedihan tak terkira. Keimanan dan ketakwaan Zahid ternyata tidak mampu mengusir rasa cintanya pada Afirah. Apa yang ia dengar dari ayah Afirah membuat nestapa jiwanya. Ia pun jatuh sakit. Suhu badannya sangat panas. Berkali-kali ia pingsan. Ketika keadaannya kritis seorang jamaah membawa dan merawatnya di rumahnya. Ia sering mengigau. Dari bibirnya terucap kalimat tasbih, tahlil, istigfhar dan … Afirah.

Kabar tentang derita yang dialami Zahid ini tersebar ke seantero kota Kufah. Angin pun meniupkan kabar ini ke telinga Afirah. Rasa cinta Afirah yang tak kalah besarnya membuatnya menulis sebuah surat pendek,



Kepada Zahid,

Assalamu’alaikum

Aku telah mendengar betapa dalam rasa cintamu padaku. Rasa cinta itulah yang membuatmu sakit dan menderita saat ini. Aku tahu kau selalu menyebut diriku dalam mimpi dan sadarmu. Tak bisa kuingkari, aku pun mengalami hal yang sama. Kaulah cintaku yang pertama. Dan kuingin kaulah pendamping hidupku selama-lamanya.
Zahid,
Kalau kau mau. Aku tawarkan dua hal padamu untuk mengobati rasa haus kita berdua. Pertama, aku akan datang ke tempatmu dan kita bisa memadu cinta. Atau kau datanglah ke kamarku, akan aku tunjukkan jalan dan waktunya.

Wassalam
Afirah


Surat itu ia titipkan pada seorang pembantu setianya yang bisa dipercaya. Ia berpesan agar surat itu langsung sampai ke tangan Zahid. Tidak boleh ada orang ketiga yang membacanya. Dan meminta jawaban Zahid saat itu juga.

Hari itu juga surat Afirah sampai ke tangan Zahid. Dengan hati berbunga-bunga Zahid menerima surat itu dan membacanya. Setelah tahu isinya seluruh tubuhnya bergetar hebat. Ia menarik nafas panjang dan beristighfar sebanyak-banyaknya. Dengan berlinang air mata ia menulis untuk Afirah :



Kepada Afirah,

Salamullahi’alaiki,

Benar aku sangat mencintaimu. Namun sakit dan deritaku ini tidaklah semata-mata karena rasa cintaku padamu. Sakitku ini karena aku menginginkan sebuah cinta suci yang mendatangkan pahala dan diridhai Allah ‘Azza Wa Jalla’. Inilah yang kudamba. Dan aku ingin mendamba yang sama. Bukan sebuah cinta yang menyeret kepada kenistaan dosa dan murka-Nya.
Afirah,
Kedua tawaranmu itu tak ada yang kuterima. Aku ingin mengobati kehausan jiwa ini dengan secangkir air cinta dari surga. Bukan air timah dari neraka. Afirah, “Inni akhaafu in ‘ashaitu Rabbi adzaaba yaumin ‘adhim!” ( Sesungguhnya aku takut akan siksa hari yang besar jika aku durhaka pada Rabb-ku. Az Zumar : 13 )
Afirah,
Jika kita terus bertakwa. Allah akan memberikan jalan keluar. Tak ada yang bisa aku lakukan saat ini kecuali menangis pada-Nya. Tidak mudah meraih cinta berbuah pahala. Namun aku sangat yakin dengan firmannya :
“Wanita-wanita yang tidak baik adalah untuk laki-laki yang tidak baik, dan laki-laki yang tidak baik adalah buat wanita-wanita yang tidak baik (pula), dan wanita-wanita yang baik adalah untuk laki-laki yang baik dan laki-laki yang baik adalah untuk wanita-wanita yang baik (pula). Mereka (yang dituduh) itu bersih dari apa yang dituduhkan oleh mereka. Bagi mereka ampunan dan rizki yang mulia (yaitu surga).”
Karena aku ingin mendapatkan seorang bidadari yang suci dan baik maka aku akan berusaha kesucian dan kebaikan. Selanjutnya Allahlah yang menentukan.
Afirah,
Bersama surat ini aku sertakan sorbanku, semoga bisa jadi pelipur lara dan rindumu. Hanya kepada Allah kita serahkan hidup dan mati kita.

Wassalam,
Zahid


Begitu membaca jawaban Zahid itu Afirah menangis. Ia menangis bukan karena kecewa tapi menangis karena menemukan sesuatu yang sangat berharga, yaitu hidayah. Pertemuan dan percintaannya dengan seorang pemuda saleh bernama Zahid itu telah mengubah jalan hidupnya.

Sejak itu ia menanggalkan semua gaya hidupnya yang glamor. Ia berpaling dari dunia dan menghadapkan wajahnya sepenuhnya untuk akhirat. Sorban putih pemberian Zahid ia jadikan sajadah, tempat dimana ia bersujud, dan menangis di tengah malam memohon ampunan dan rahmat Allah SWT. Siang ia puasa malam ia habiskan dengan bermunajat pada Tuhannya. Di atas sajadah putih ia menemukan cinta yang lebih agung dan lebih indah, yaitu cinta kepada Allah SWT. Hal yang sama juga dilakukan Zahid di masjid Kufah. Keduanya benar-benar larut dalam samudera cinta kepada Allah SWT.

Allah Maha Rahman dan Rahim. Beberapa bulan kemudian Zahid menerima sepucuk surat dari Afirah :


Kepada Zahid,

Assalamu’alaikum,

Segala puji bagi Allah, Dialah Tuhan yang memberi jalan keluar hamba-Nya yang bertakwa. Hari ini ayahku memutuskan tali pertunanganku dengan Yasir. Beliau telah terbuka hatinya. Cepatlah kau datang melamarku. Dan kita laksanakan pernikahan mengikuti sunnah Rasululullah SAW. Secepatnya.

adakah yg mendoakan kita

Seorang pengarah yang berjaya jatuh di kamar mandi dan akhirnya stroke. Sudah 7 malam dirawat di RS di ruang ICU. Di saat orang-orang terlelap dalam mimpi malam, dalam dunia roh seorang malaikat menghampiri si pengarah yang terbaring tak berdaya. Malaikat memulakan pembicaraan, Kalau dalam waktu 24 jam ada 50 orang berdoa buat kesembuhanmu, maka kau akan hidup. Dan sebaliknya jika dalam 24 jam jumlah yang aku tetapkan belum terpenuhi, itu berertinya kau akan meninggal dunia! Kalau hanya mencari 50 orang, itu sangat mudah.'kata si pengarah ini dengan yakinnya. Setelah itu Malaikat pun pergi dan berjanji akan datang 1 jam sebelum batas waktu yang sudah disepakati. Tepat pukul 23:00, Malaikat kembali mengunjunginya; dengan bangganya si pengarah bertanya, Apakah esok pagi aku sudah pulih? Pastilah banyak yang berdoa buat aku, jumlah pekerja aku punya lebih dari 1000 orang, jadi kalau hanya mencari 50 orang yang berdoa pasti bukan perkara susah. Dengan lembut si Malaikat berkata, Anakku, aku sudah berkeliling mencari suara hati yang berdoa buatmu tapi sampai saat ini baru 3 orang yang berdoa buatmu, sementara waktumu tinggal 60 minit lagi. Rasanya mustahil kalau dalam waktu dekat ini ada 50 orang yang berdoa buat kesembuhanmu.
Tanpa menunggu reaksi dari si pengarah, si malaikat menunjukkan layar besar berupa TV siapa 3 orang yang berdoa buat kesembuhannya. Di layar itu terlihat wajah duka dari sang isteri, di sebelahnya ada 2 orang anak kecil, putera puterinya yang berdoa dengan khusuk dan nampak ada titisan air mata di pipi mereka. Kata Malaikat, Aku akan memberitahukanmu, kenapa Tuhan rindu memberikanmu kesempatan kedua? Itu kerana doa isterimu yang tidak putus-putus berharap akan kesembuhanmu. Kembali terlihat dimana si isteri sedang berdoa jam 2:00 subuh, Tuhan, aku tahu kalau selama hidupnya suamiku bukanlah suami atau ayah yang baik! Aku tahu dia sudah mengkhianati pernikahan kami, aku tahu dia tidak jujur dalam kerjanya, dan kalaupun dia memberikan sumbangan, itu hanya untuk popularity dan menaikkan namanya saja untuk menutupi perbuatannya yang tidak benar dihadapanMu. Tapi Tuhan, tolong pandang anak-anak yang telah Engkau berikan pada kami, mereka masih memerlukan seorang ayah. Hambamu ini tidak mampu membesarkan mereka seorang diri. Dan setelah itu isterinya berhenti berkata-kata tapi air matanya semakin deras mengalir di pipinya yang kelihatan cengkung kerana kurang rehat. Melihat peristiwa itu, tanpa terasa, air mata mengalir di pipi pengarah ini. Timbul penyesalan bahwa selama ini bahawa dia bukanlah suami yang baik. Dan bukan ayah yang menjadi contoh bagi anak-anaknya. Malam ini dia baru menyadari betapa besar cinta isteri dan anak-anak padanya. Waktu terus berlalu, waktu yang dia miliki hanya 10 minit lagi, melihat waktu yang makin sempit semakin menangislah si pengarah ini,penyesalan yang luar biasa. Tapi waktunya sudah terlambat ! Tidak mungkin dalam waktu 10 minit ada yang berdoa 47 orang mayat

Dengan sedihnya dia bertanya, Apakah diantara pekerjaku, kaum kerabatku, teman kerja ku, teman organisasiku tidak ada yang berdoa buatku? Jawab si Malaikat, Ada beberapa yang berdoa buatmu.Tapi mereka tidak ikhlas. Bahkan ada yang mensyukuri penyakit yang kau derita saat ini. Itu semua karena selama ini kamu mementingkan diri, sombong, mengainaya pekerja, kejam, ego dan bukanlah pihak atasan yang baik. Bahkan kau sanggup memecat pekerja yang tidak bersalah dan yang tidak setimpal dengan kesalahannya. Si pengarah tertunduk lemah, dan pasrah kalau malam ini adalah malam yang terakhir buat dia. Tapi dia minta waktu sesaat untuk melihat anak dan si isteri yang setia menjaganya sepanjang malam.
Air matanya tambah deras, ketika melihat anaknya yang sulung tertidur di kerusi hospital dan si isteri yang kelihatan lelah juga tertidur di kerusi sambil memangku si bongsu. Ketika waktu menunjukkan pukul 24:00, tiba-tiba si Malaikat berkata, Anakku, Tuhan melihat air matamu dan penyesalanmu!! Kau tidak jadi meninggal,karena ada 47 orang yang berdoa buatmu tepat jam 24:00. Dengan hairan dan tidak percaya, si pengarah bertanya siapakah yang 47 orang itu. Sambil tersenyum si Malaikat menunjukkan suatu tempat yang pernah dia kunjungi bulan lalu. Bukankah itu Pusat Asuhan Anak Yatim? kata si pengarah perlahan. Benar anakku, kau pernah memberi bantuan bagi mereka beberapa bulan yang lalu, walau aku tahu tujuanmu saat itu hanya untuk mencari populariti saja dan untuk menarik perhatian kerajaan dan pelawat luar negeri.

Pagi tadi , salah seorang anak pusat asuhan tersebut membaca di surat khabar bahawa seorang pengarah terkena stroke dan sudah 7 hari di ICU. Setelah melihat gambar di surat khabar dan yakin kalau orang yang sedang koma adalah kamu, orang yang pernah menolong mereka dan akhirnya anak-anak yatim pusat asuhan sepakat berdoa buat kesembuhanmu.
..........................................................................................
Kuasa Doa
Doa sangat besar kuasanya. Kita malas. Tidak ada waktu. Beban untuk berdoa bagi orang lain. Ketika kita mengingat seorang sahabat lama/keluarga, kita fikir itu hanya kebetulan saja padahal seharusnya kita berdoa bagi dia. Mungkin saja pada saat kita mengingatnya dia dalam keadaan memerlukan doa dari orang-orang yang mengasihi dia. Disaat kita berdoa bagi orang lain, kita akan mendapatkan kekuatan baru dan kita boleh melihat kemuliaan Tuhan dari peristiwa yang terjadi. Hindarilah perbuatan menyakiti orang lain. Sebaliknya perbanyaklah berdoa buat orang lain. Kerana pahlawan sejati, bukan dilihat dari kekuatan fizikal dan hartanya,tapi dari kekuatan hatinya. Katakan ini dengan perlahan,

''Ya TUHAN saya mencintai-MU dan memerlukan- MU, datang dan terangilah hati kami. Ya Allah aku mohon pertolonganMu, jadikanlah aku ini hambaMu yang soleh, Ya Allah aku mohon pertolonganMu, jadikanlah aku ini hambaMu yang taat pada Mu, taat pada RasulMu s.a.w., taat pada kedua orang tuaku, ayahbonda ku tercinta, taat kepada semua guru murshidku yang telah membimbingku menuju jalan sampai kepada Mu. Ya Allah aku mohon pertolonganMu, jadikanlah aku ini hambaMu yang bijaksana hikmah yang dibekali olehMu ilmu yang menjadikan teguh pendirianku dalam bertaqwa mengabdikan diri pada Mu dengan penuh rasa syukur atas segala nikmat-nikmatMu wahai Tuhan yang berbelas kasih.

akhir sebuah cinta

Kain Putih yang menutupi rambut Chika melambai-lambai tertiup angin saat duduk di serambi masjid al-Hijri UIKA Bogor selepas shalat Dzuhur. Suasana masjid yang sejuk membawa hati dan fikiran terasa tenang dan tentram. Chika tidak langsung beranjak pulang setelah dua mata kuliahnya berakhir, sangat sayang jika dia buru-buru pulang tanpa bercakap-cakap terlebih dahulu dengan teman kuliah barunya, Indri.

Dari dalam masjid sepasang mata misterius tampak memperhatikannya, sosok pemuda dengan sorot mata tajam penuh kesejukan, rambut tertata rapi dengan baju koko putih yang dipakai sangat serasi dengan wajahnya yang bersih bercahaya.

“Hey…, Chika!! Liatin siapa sih loe? serius amat!” Indri mengagetkan Chika yang sedang asyik membalas jauh tatapan sesosok pemuda yang sekilat telah pergi entah kemana.

“Ah elu, In. ngagetin aja! Eh…In, tadi ada Cowok ngelitain gua terus lho… Wah, ganteng banget In, serius!!” Chika membalas dengan ceria dan memainkan kerlingan matanya yang putih.

“Huh, Ge-er aja loe! Sudah ah, kita ngobrolnya di Shelter, sambil nunggu bis Rudi.” Indri mencubit pinggang Chika dan beranjak pergi meninggalkan Chika yang sedang mengaduh kesakitan bercampur geli.

Chika mengikuti Indri, berjalan disampingnya dan saling menceritakan pengalaman hidupnya. Bercerita tentang hal yang tidak pernah diduga oleh manusia, sesuatu yang terkadang luput dalam ingatan, walaupun hanya sekedar untuk diingat.

Hari berlari dalam dekapan sang malam, berkejaran dengan manusia-manusia pencari dunia. Semuanya berjalan seperti hembusan nafas yang datang pergi silih berganti, semua jiwa merangkak mengejar hari yang penuh cinta. Mendamba kebahagian dan keindahan surga. Semua manusia selalu saja disemayamkan benih-benih cinta, merembes kedalam hati menyejukkan jiwa.

Sejak hari itu Chika merasa ada sesuatu yang tersembunyi dalam hatinya, tatapan mata pemuda di masjid membuat dirinya merasa penasaran, siapa gerangan sosok pemuda itu. Tatapan matanya dirasa benar untuk dirinya, bukan untuk orang lain.

“Assalamu’aliakum, maaf mengganggu,” terdengar suara lelaki disamping Chika.

“Wa’alaikum salam, O…, nggak! gak apa-apa kok!!” balas Chika gelagapan saat mengetahui yang menyapanya pemuda yang dua hari lalu terlihat di dalam masjid.

“Kenalkan, saya Pengeran, Mahasiswa fakultas agama islam, semester lima. Kamu Chika kan??!” tanya Pangeran dengan ramah dan senyuman penuh cinta.

“Oia.., Pangeran. Gua Chika! Kok kamu tahu nama gua sih?!”

“Ehmm…, tau aja. Kamu kan peserta ospek terbaik kemarin, siapa sih yang gak kenal perempuan cantik kayak kamu…” Chika tersipu, tubuhnya melayang-layang keatas langit, untung saja atap perpustakaan tidak terlalu tinggi jadi tubuhnya kembali ketempat duduknya semula.

“Kok bengong, kamu ikutan kegiatan apa disini?” Pangeran menyadarkan Chika yang jiwanya sedang berputar-putar diperpustakaan yang sejuk oleh AC bersuhu 16 derajat CC.

“Owh…, gua ya??” Chika sekali lagi kebingungan.

“Ya… iyalah. Masak sih ibu perpus itu…!!” pangeran tertawa kecil sambil melirikkan matanya ke petugas perpus yang mesem-mesem memperhatikan Pangeran dan Chika yang sedang asyik ngobrol di meja baca.

“Saat ini gua belum ikut apa-apa sih. Loe ikutan apa? Mang disini organisasi yang bagus apaan sih??” tanya Chika penuh harap.

“Aku… ikut BEM, LDK sama ASSTI. Disini organisasinya bagus-bagus, tergantung kitanya juga sih, mau dibikin bagus ya… bagus, mau dibikin jelek ya… jelek. Kan organisasi itu bisa dilihat dari orang-orang didalamnya. Saran aku sih kamu ikut ASSTI atau LDK aja.” jelas Pangeran sambil promosi.

“O…, gitu ya. Oke deh tar gua pikir-pikir dulu. Tapi emang gua bisa masuk gitu??” tambah Chika dengan perasaan pesimis,

“Masa perempuan gaul kayak gua bisa ikut organisasi keislaman… tapi, kalau dia yang ngajak? Hmm…, gimana ya?” pikir Chika.

Why not, dik manis. Kamu bisa ikutan, nanti kita bisa sering ketemu.” jelas Pangeran dengan sedikit merayu dan memberikan harapan.

Percakapan pun terus berlanjut saling bercerita tentang pengalaman hidup, seiring berputarnya jarum jam, seiring hembusan salju yang keluar dari AC, seiring keluar masuknya pengunjung perpus.

“Ok. Chika, gitu aja ya…, aku ada acara lagi nih, Insyaallah kalau ada umur panjang. Nanti disambung lagi. maaf kalau mengganggu.” Pangeran lalu meninggalkan Chika sendirian yang wajahnya berseri merona. Jiwanya merasakan keinginan kuat untuk berlama-lama dengannya. Namun, hanya mampu menatap Pangeran yang setapak demi setapak meninggal gedung perpustakaan.

Haripun kembali berganti. Wajah-wajah manusia berputar menghiasi skenario sang ilahi, merubah hal yang terkadang takut untuk dibayangkan.

Chika terlihat gusar, tatapannya kosong. Jiwanya melayang terbang mengelilingi angkasa raya. Hatinya dipenuhi asa yang entah seperti apa rasanya. Ruang kuliah yang terlihat baru dibangun membuat suasana bersih. Beberapa ruang kelas tampak terisi oleh mahasiswa yang sedang mendengarkan dosennya berceramah. Begitu juga di ruang B, pak Sakti serius menjelaskan materi kuliahnya. Namun, tampaknya Chika yang sedang asyik menatap jauh tidak terlalu memperhatikan penjelasan Pak Sakti.

“Chika! Coba kamu buat jurnal soal nomor 5 sampai 10 ?!!” pak Sakti bertanya setengah berteriak sambil menyodorkan spidol kearah Chika.

“Saya pak??” Chika mengacungkan tangan.

“Iya kamu, dari tadi kamu bengong aja.” tegas pak Sakti, Dosen Pengantar akuntansi yang sedikit sewot karena tidak diperhatikan Chika.

Chika pun beranjak dari tempat duduknya menuju papan tulis dan menggoreskan angka-angka yang tidak jelas.

“Eng… Uh.. maaf pak saya gak bisa,” Chika tertunduk malu setelah berusaha keras mengutak-atik huruf dan angka. Suara gaduh teman-temannya terdengar jelas oleh Chika.

“Ya udah, kamu duduk sana!! Nah, ini contoh kalau kalian tidak memperhatikan pelajaran. Padahal tadi Bapak sudah menjelaskannya dan,” bla… bla… bla… pak Sakti berceramah. Sedangkan Chika hanya terdiam, tubuhnya bercucuran keringat, pipi ayunya memerah dengan bening-bening putih memenuhi mata yang sekilas seperti awan yang hendak turun hujan, berkali-kali pulpen yang dipegangnya jatuh dengan tangan lembut gemetar.

Beberapa hari ini memang Chika terlihat bimbang, kuliahnya tidak dapat konsentrasi lagi. Keceriaan yang dimilikinya berubah drastis. Ingatannya hanya tertuju pada seseorang yang kini bersemayam dihatinya. Seorang kakak kelasnya yang membuat hari-harinya dipenuhi keinginan.

“Chika, lu dikelas kenapa??” tanya Indri sambil mengaduk-aduk mie Ayam yang baru dihidangkan oleh pak Alpa di kantin.

“Gua…, gua lagi punya masalah nih, In.” jawab Chika lalu meminum es teh manis dengan hausnya.

“Loe punya masalah, kok gak bilang-bilang ke gua… emang ada apa sih?” tanya Indri heran

“Loe tau gak, In. Cowok yang suka ngobrol sama gua tempo hari??” serius Chika sambil menatap temannya yang sudah dianggapnya sahabat.

“O…, Pangeran!!. Sebentar gua tebak. Hah!!, jangan… jangan… loe jadian sama dia??” gertak Indri, saking kerasnya nyaris mangkok mienya terbang.

“Dengerin dulu…, berisik amat sih loe!, gua belum jadian, justru sekarang gua inget terus sama dia. Loe tau sendiri dia alim banget, salaman sama gua aja pake jurus jarak jauh. Mana berani gua jadian sama dia. Tapi, In. Terus terang gua jatuh cinta sama dia, please!! Gimana dong??” Chika menjelaskan perasaannya yang terdalam, hatinya sudah dipenuhi oleh bunga-bunga mawar yang hendak menebarkan wanginya. Hatinya sudah terketuk oleh sosok Pangeran yang sholeh dan berwajah ganteng.

“Hmm, gimana ya…?? Kamu mau tahu solusinya??” tawar Indri serius.

“Iya, In. gimana?”

“Hmm, gampang! Tapi, kamu harus sewa nona Indri dulu biar konsultasinya mulus.. he… he…!!” canda Indri sambil nyeruput mienya yang mulai dingin.

“Ah, Elu… becanda terus, Serius nih!!” sambung Chika sedikit kesal.

“Saran gua sih loe bilang terus terang aja sama dia, gua perhatiin dia juga ada perhatian sama loe.” balas Indri dengan mimik serius.

“Yang bener, In. Gua harus terus terang sama dia?? wah malu dong!! dia kan kakak kelas.” Chika terlihat pesimis.

“Loe gimana sih, katanya minta nasehat ke gua tapi loe sendiri gak percaya ke gua, dah lakuin aja saran itu. Gua jamin lu sukses!!” Indri memantapkan hati Chika, yang masih terdiam dengan sejuta angan dikepalanya.

***

Bumi dipayungi langit yang berwarna hitam, tak ada cahaya terang disana. Hanya sekilas bulan yang mengintip disela-sela awan yang juga tampak malu untuk bersombong dimalam hari. Rengekan bayi dirumah sebelah terdengar jelas menemani kegundahan Chika yang mematut di depan cermin, memandangi wajahnya yang cantik jelita.

Lampu neon kamar, menemani suasana malam seorang Chika yang bimbang. Wajah bersih pangeran masih terbayang-bayang dihadapannya. Selalu menggoda setiap detik dalam setiap perjalanan menit. Chika tak mampu menghabiskan makan malamnya, karena jiwa yang terlalu jauh melayang menembus bayangan seorang lelaki yang diidamkan hatinya. Chika lalu merebahkan tubuhnya dikasur empuk. Sekuat tenaga memejamkan matanya, tapi bukan mata yang terpejam malah senyuman pengeran yang melambai-lambai menggoda jiwa menemani suasana malam yang semakin dingin.

Seperempat jam sudah Chika hanya membalik-balikan tubuhnya yang terawat bersih. Menatap langit-langit kamar yang berwarna putih. Masih dalam bayangan lelaki yang membuat dirinya tak bisa tidur. Rambutnya yang hitam panjang dibiarkan terurai kusut. Hati Chika tidak bisa dibohongi lagi, dirinya telah jatuh cinta kepada Pangeran, jiwanya telah menyatu dengan pangeran. Tidak ada kata yang bisa mengungkap rasa cinta yang demikian dalam, dalam keresahan yang dalam ia tak sanggup untuk menyimpannya, sebuah buku yang terpajang dimeja belajar segera diambilnya. Menyusun kata dan kalimat sekedar melepas rasa rindu.

“Diaryku, malam ini aku benar-benar tidak bisa menahan asmara ini. Aku telah jatuh cinta, Diary!. Setelah sekian lama menanti seorang lelaki yang dapat membuat hati ini berbunga. Kini dia benar-benar menjelma dalam jiwaku. Hadir dalam hidup kita. Tapi, Diaryku. Aku tidak berani mengungkapkan semua rasa cintaku padanya. Dia teramat suci bagiku. Dia begitu indah, dan gagah. Aku tak berani mengatakannya. Aku telah terpenjara dalam indahnya cinta. Terpenjara dalam jeruji Pangeran.”

Chika kembali merebahkan tubuh anggunnya di kasur, memberanikan diri memejamkan matanya. Namun cinta sudah mengikat hati yang begitu lembut. Chika tidak mampu memalingkan buah cintanya. Kata-kata Indri terngiang ditelinga, membisikkan kekuatan cinta seorang gadis belia.

“Saran gua sih loe bilang terus terang aja sama dia, gua perhatiin dia juga ada perhatian sama loe.”

“Apa benar dia suka juga sama gua?”gumam Chika.

Hape Nokia type 2300 diambilnya, angannya masih bertanya-tanya. Kekuatan cinta yang membara semakin menggodanya untuk mengirimkan pesan cinta. Untuk mengabarkan berita besar sebuah kisah Romeo dan Juliet atau sekedar membisikkan tiga kata indah: Aku Cinta Kamu. Tapi, keberaniannya kembali hilang. Meletakkan kembali hapenya diatas meja yang bertumpuk buku pelajaran akuntansi.

“Aaaaaaaaaakh, apa yang harus gua lakukan?” hatinya berbicara keras ditengah-tengah kebimbangan jiwanya.

“Ya, Allah. Apa yang harus aku lakukan? Berilah petunjukmu. Aku hamba yang lemah, penuh dosa. Tapi, ya Allah hati ini telah di curi oleh hambaMu yang Sholeh, hambaMu yang senantiasa mencintaiMu. Apa yang harus aku lakukan?” dengan lirih Chika mendadak merangkai kata-kata doa kepada Dzat penggenggam jiwa.

Akhirnya, Chika menekan keypad Hape dan merangkai kata-kata yang telah terpendam selama ini.

“Pangeran, sebelumnya gua minta maaf sama loe. Atas ketidak sopanan ini, Pangeran, sejak tatapan mata loe di masjid. Jiwa gua tak bisa diam. Hati gua selalu berbisik akan diri loe. Gua mungkin terlalu cepat menyukai orang yang baru gua kenal, tapi hati gua tidak bisa di bohongi. Gua suka sama loe, gua Cinta benget sama loe. Hari-hari gua selalu diisi oleh bayangan dan senyuman loe. Loe mau kan menerima gua jadi kekasih loe? Balas. Please!! Dari: Chika.”

Dicarinya nomor hape Pangeran yang disave saat perbincangan di perpustakaan tempo hari. Dengan sejuta perasaan di tekanlah tombol. OK,(send)

***

Dari sebuah Hape pemuda yang sedang mengetik sebuah Novel cinta, terdengar nyaring. Suara dimalam hari memang terdengar keras, apalagi jam setengah dua belas. Suasana diluar sangat sepi. Dibacanya sms yang dikirim oleh seseorang, yang belakangan ini sangat dekat dengannya.

Setelah membaca sms hati pemuda yang tak lain adalah Pangeran, tidak tenang, ada asa yang mengharu biru. Namun, disisi lain ada perasaan takut yang teramat sangat. Perkenalannya dengan Chika beberapa minggu yang lalu membawanya kesebuah suasana yang mencekam, ada kebahagiaan namun di hantui rasa berdosa. Keinginan untuk mengajak adik-adik kelasnya dalam organisasi menjadi jalan tumbuhnya rasa suka, mendambanya dan mencintainya. Bahkan novel yang sedang dibuatnya menjadi hidup saat dia mengenal Chika.

Pangeran tidak langsung membalas sms Chika, pikirannya terbelah terpencar kesegala penjuru alam. Lalu dibukalah selembar kertas dari sebuah Rumah sakit. Hatinya tertunduk. Lalu menekan huruf demi huruf dalam hapenya, dan mengirimkan balasan ke nomor Chika.

“Chika, seandainya mentari pagi mampu berbisik. Cahaya rembulan bersedia mendongeng. Maka, hati yang kurasakan akan selalu disisimu. Sebenarnya aku memiliki rasa yang tidak pantas aku miliki. Aku juga menyukai kamu, sejak pandangan di masjid siang itu. Namun, aku tidak bisa mencintaimu dan menerima cintamu. Ada hal yang tidak kamu ketahui dan ada sesuatu yang belum bisa aku terima dari dirimu. Maafkan!!”

Pangeran lalu merebahkan tubuhnya di tempat tidur, memejamkan mata, membayangkan kehidupannya selama ini. Sudah dua tahun ia harus mengikuti perawatan dokter atas penyakitnya. Beberapa saat, ia tersenyum. Membayangkan kehidupannya jika sudah memiliki keluarga, dengan istri yang disisinya. Membina keluarga yang sakinah, mawaddah warahmah. Sekilat ia membayangkan wajah cantik Chika ditutupi dengan jilbab seperti temannya Lely Nurhayati. Ia terbawa dalam dunia khayal yang tak bertepi, saat dirinya bersanding dipelaminan bersama Chika, saat malam-malam pertama dengan Chika, saat berpelukan mesra dengan Chika. Saat…

“Astaghfirullah….” hatinya berisitighfar keras saat khayalannya terlalu jauh.

***

Chika menghela nafas panjang, jiwanya terasa ada sesuatu yang merembes, sejuk. Ada sedikit kebahagiaan yang terbesit dalam hatinya. Walaupun dia masih tidak mengerti apa yang belum bisa diterima oleh Pangeran dari dirinya. Secepat kilat ia menekan keypad dan mengirim balasan.

“Pangeranku…, aku akan berusaha menjadi apa yang kau inginkan, semua perilaku yang biasa aku lakukan akan kuubah, gaya bahasa, tingkah laku dan apapun yang kau inginkan akan kuturuti. Asalkan aku bisa bersamamu. Dan berhak mencintaimu. Memangnya apa yang membuatmu aku belum bisa kau terima??”

“Chika, jika kau benar mencintai dan menyayangiku maka aku ingin kau seperti teh Lely, berjilbab lebar, rapi, sopan, lemah lembut, penyayang dan dewasa. Kamu bisa seperti itu?, namun ada juga sesuatu yang tidak bisa aku ceritakan kepadamu.” Pangeran membalas sms Chika.

Seketika Chika terdiam, dia tidak langsung membalas sms pangeran. Meletakkan hapenya diatas meja belajar. Ingatan yang tertuju kepada sosok kakak kelasnya yang akhir-akhir ini terlihat dekat dengannya. Sosok wanita yang dari umur tidak jauh beda dengannya, namun, kedewasaan dan kesholehannya membuat setiap orang yang dekat dengannya kagum. Chika menjatuhkan dirinya di kasur empuk berwarna pink. Matanya berkaca-kaca, permintaan sang Pangeran baginya sangat berat, namun di sisi lain cinta dan kasih sayangnya sudah terpatri kepada pangeran yang membuat hatinya luluh.

“Seperti teh Lely?” gumamnya dalam hati.

Setelah malam itu Chika merenungi dirinya, menemui ustadzah di desanya dan bertanya banyak tentang busana muslim. Bertanya tentang arti hidup bagi seorang muslimah. Matahari beranjak dari timur kebarat. Waktu tak mampu di tahan meskipun sedetik. Ia berlalu bak anak panah yang telah dilepaskan dari busurnya.

“Pangeranku, kamu akan lihat seperti apa sekarang, Chika. Dengan niat ikhlas dan mengharap ridho dari Allah, aku sudah berubah!!. Hmm…, ternyata memakai jilbab lebar ini tidak seperti yang aku bayangkan, dulu aku kira memakai jilbab hawanya panas, tapi nggak juga. Subhanallah…, sejak aku naik Bis tidak ada tangan-tangan jahil yang biasa memegang tubuhku, walaupun dengan alasan mau lewat atau mau pindah tempat. Wah, malah aku sekarang dapat duduk, ada seorang bapak berjenggot memberikan tempat duduknya padaku, mungkin dia kasihan atau apalah. Pangeranku, sengaja aku tidak membalas sms dua hari yang lalu, karena aku ingin memberikan kejutan.”

“Neng…, kampus UIKA??” kondektur membangunkan lamunan Chika yang sepanjang perjalanan tersenyum membayangkan perubahan dirinya.

“O…, iya pak. Kiri…kiri…” Chika langsung beranjak dari tempat duduknya dan buru-buru keluar dari bis. Berjalan cepat masuk kedalam kampus. Mahasiswa disekeliling tampak memperhatikan dirinya yang rapi berbalut jilbab. Namun , dengan mantap Chika terus melangkah. Sejurus dia melihat arlojinya.

“Jam 8 kurang seperempat.” gumamnya, dan langsung menuju masjid berniat shalat Dhuha.

Dari kejauhan terlihat beberapa mahasiswa mengerumuni mading masjid, di sekretariat DKM beberapa aktifis terlihat berwajah muram, sekelompok lainnya nampak berbincang-bincang serius, tidak terlihat wajah manis disana, yang nampak wajah kesedihan. Mata Chika menembus semua tempat di masjid, memperhatikan orang-orang yang ada, siapa tahu pangerannya muncul. Tapi, tak kelihatan batang hidungnya. Ia pun melangkahkan kakinya menuju Mading yang sedikit demi sedikit ditinggalkan oleh mahasiswa yang sedari tadi membacanya. Lalu dia memelototi satu per satu pengumuman. Tidak ada yang luar biasa, hanya pengumuman yang sejak kemarin tertempel disitu. Tapi, saat matanya tertuju pada satu pamflet kuning jiwanya bergejolak, seakan tidak percaya apa yang dibacanya, ia eja satu per satu tulisan hasil print out itu.