THOUSANDS OF FREE BLOGGER TEMPLATES

Sabtu, 02 Januari 2010

gita and dita

Gita dan Dika

“Gita dan Dika” kembali Gita membaca tulisan itu. Deretan kata yang tertulis di bagian belakang sampul depan diary-nya. Nggak ada yang istimewa dari jalinan huruf yang tertera berwarna hitam itu. Kecuali…kecuali kenangan akan Dika yang kembali terukir perlahan-lahan di benak Gita. “Halo, kenalkan saya Dika, berasal dari Cilacap.” Menjadi kalimat pertama yang keluar dari bibir Dika ketika dia pertama kali masuk di kelas Gita. Ya, dia memang siswa baru pindahan dari kota kecil Cilacap. Ke sini, dia mengikuti orangtuanya yang dipindahkan tugasnyasebagai seorang dokter. Prestasi mengkilap sebagai seorang dokter di Puskesmas kecamatan udah berhasil membuat rumah sakit sebesar RS Karyadi melirik kemudian memanggilnya. Seluruh siswa di dalam kelas nggak terlalu menaruh perhatian akan kedatangan Dika di hari pertama itu, semua sedang disibukkan oleh persiapan pentas seni yang akan diselenggarakan oleh sekolah di akhir bulan. Kedatangan Dika seperti angin lalu, hanya selintas dan kemudian dibiarkan begitu saja. Saat wali kelas bertanya, “adakah yang ingin ditanyakan kepadateman baru kalian ini?” kelas seperti kuburan di tengah malam yang sunyi. Ngaak seorang pun menjawab. Ketua kelas, Andi, yang biasanya ramah dan bijak terlihat nggak peduli. Kepalanya penuh dengan aneka macam ide. Memang kebetulan sekali kedatangan Dika tepat pada saat persiapan pentas seni digelar. Jam pelajaran Matematika Bu Husna memang diminta untuk rapat persiapan pentas seni. Bu Husna sebagai wali kelas tentu aja nggak keberatan dan sangat mendukung kelasnya ini dapat tampil di pentas seni dan memberikan penampilan terbaiknya. Maka, kedatangan Dika benar-benar seperti pengganggu. Di tengah rapat yang sedang a lot dan penuh dengan lontaran ide serta perdebatan sengit, dia malah datang diantar oleh Bu Husna. Akibatnya, Dika terabaikan di hari pertamanya masuk di sekolah baru. Kebetulan pula, di kelas ini ada sebuah meja kosong di belakang yang nggak berpenghuni. Jadilah Dika duduk disana seorang diri. Hari berganti dan pentas seni semakin dekat. Andi masih juga kebingungan, belum lagi memutuskan jenis kesenian apa yang akan ditampilkan pada pentas seni nanti. Banyak sekali usulan dari teman-teman sekelasnya seperti gerak dan lagu, pembacaan puisi, teater sampai parody. Namun, Andi tahu betul itu hanyalah usulan ngawur. Andi cukup sadar dan tahu benar gimana teman-temannya yang hobi omong besar namun dalam pelaksanaannya nol besar. Pendek kata, kelas Andi adalah kelas NATO, “No Action Talk Only”. Kondisi itulah yang membuatnya pusing tujuh keliling. Bagaimana nggak, kalau dia udah memutuskan sesuatu berdasarkan usulan dari teman-temannya, maka dia sendiri yang harus melaksanakan usulan itu. Adapun si pencetus ide? Ah, pasti udah kabur entah kemana. Seperti makan buah simalakama aja! Kalau ide nggak dilaksanakan, maka kelas masih bingung apa yang akan ditampilkan. Tapi saat ide udah dilaksanakan, maka itu artinya kerepotan yang amat sangat baginya. Duhhh. . . . Entah kali ke berapa rapat digelar lagi. Memang usulan udah mulai mengerucut menjadi beberapa jenis kesenian aja yang akan ditampilkan. Gerak dan lagu oleh Rini and gang menjadi sebuah pilihan. Meski diantara anggota gang Rini sendiri masih timbul perdebatan mengenai jenis lagu apa yang akan digunakan sebagai music latar. Semua anggota gang mengusulkan lagu kegemaran masing-masing. Akhirnya, kata sepakat masih jauh dari harapan. Pembacaan puisi bisa juga ditampilkan, namun Andi mendengar dari sahabatnya di kelas sebelah: Ardi. Bahwa kelas Ardi bakal menampilkan puisi, bahkan lengkap dengan teater. Jadilah kembali Andi pusing karena nampaknya ide pembacaan puisi juga batal. Nggak mungkin, bukan, meniru ide kelas sebelah? Apa kata dunia nanti? Usulan terakhir adalah menampilkan band. Namun usulan ini juga menghadapi rintangan yang nggak mudah. Anggota band di kelas ini nggak lengkap. Dodo dan Doni memang jago memainkan gitar, tapi ngaak mungkin cuma mereka berdua yang tampil tanpa kelengkapan anggota-anggota yang lain bukan? Rapat di hari itu pun masih juga belum mengambil keputusan apa-apa. Dan sementara itu Dika, ah, apa kabarnya dia, ya? Hei, ternyata dia udah berani bergaul dengan beberapa orang teman di sekitar tempat duduknya yang mojok di belakang. Mulai dari menanyakan pelajaran sampai meminjam tip-ex. Boleh juga keberanian Dika. Dia nggak minder meski berasal dari kota kecil. Satu per satu temam-teman di sekitar tempat duduknya mulai dikenalnya. Wuri adalah cewek yang mula-mula dikenal oleh Dika. Beberapa catatan Wuri dipinjamnya untuk mengejar pelajaran yang tertinggal. Terkadang beberapa alat tulis Wuri juga sering dipinjam Dika. Mulanya memang Wuri merasa terganggu, apalagi dia tergolong siswi yang pelit. Namun, entah kenapa pada Dika hal itu nggak terjadi. Wuri sukarela meminjamkan semua benda miliknya kepada Dika. Awalnya nggak seorang pun teman-teman sekelasnya menyadari sikap Wuri ini. Selain karena Dika dan Wuri duduk di bagian belakang, keduanya juga nggak terlibat aktif dalam rapat. Sampai pada suatu ketika, Andi meminta usulan dari teman-temannya lagi. Saat tiba giliran Wuri dia berkata, “Dika memiliki usulan yang sebaiknya kalian dengar.” “Nah, usulanmu sendiri apa?” Andi sepertinya enggan mendengarkan suara murid baru dan memilih meminta Pendapat Wuri. “Aku nggak puny aide, kurasa ideku nggak berarti apa-apa bila dibandingkan dengan ide Dika.” Jawaban Wuri ini disertai dengan rona merah di pipinya. Dan memang, bila diperhatikan di dalam jawabannya ini terkandung pujian yang tersembunyi kepada Dika. “Baiklah, jadi apa usulmu, Dika?” Andi nggak sabar sekaligus merasa penasaran dengan jawaban Wuri barusan. Sebenarnya, memang Andi nggak suka kalo ada siswa lain di kelas yang memiliki kelebihan yang nggak dimilikinya. Dan entah karena apa, dia merasa Dika memiliki kelebihan itu. Pejantan kalo udah ketemu pejantan, agaknya memang ingin memamerkan siapa di antara mereka yang lebih jago, bukan?. Dika nggak segera menjawab, justru pandangannya diarahkan ke seantero kelas. Dengan itu, ternyata dia udah bisa meminta perhatian seluruh kelas, artinya, kelas yang semula ramai karena masing-masing sibuk berbincang dan berbisik-bisik, merasa segan karena lirikan mata tajam Dika. Ketika kelas udah menjadi sunyi, barulah Dika berkata. “Ya, memang benar saudara Andi apa yang dikatakan saudari Wuri itu. Aku punya sedikit ide yang barangkali bisa kita tampilkan pada saat pentas seni nanti. Namun, sebenarnya ide biasa aja, kok, hanya Wuri yang sedikit melebih-lebihkan.” “jadi, apa idemu itu, kawan?” nampaknya Dodo udah nggak sabar dengan perkataan Dika yang panjang dan lebar itu. “Aku dengar dari Wuri, di kelas ini ada seseorang yang bersuara merdu bernama Gita, apakah memang demikian adanya?” Dika berkata demikian sambil pandangannya kembali mengarah ke seluruh kelas. Sebenarnyalah dia memang belum tahu siapa Gita itu. “Yess, itu memang benar, lantas apa hubungannya dengan Gita?” Doni yang ramah kali ini memberikan jawaban. “Aku bermaksud bernyanyi berduet dengannya saat pentas seni besok, bila teman-teman semua setuju.” Jawaban Dika ini nggak diduga sebelumnya oleh seluruh teman-temannya. Begitu percaya diri dia mengajukan dirinya sendiri. “Boleh juga usulmu, namun kami belum tahu bagaimana kamu bernyanyi, Dika.” Gita kali ini yang menjawab. Sekaligus dengan ini Dika menjadi tahu siapa sosok bernama Gita. Pada beberapa kejap Dika terpesona pada Gita. Siswi yang duduk di depan sendiri itu memang beberapa kali membuatnya bertanya-tanya. Ada aura lain saat Dika mengamatinya, namun untuk bertanya kepada Wuri, Dika merasa malu. Keduanya saling berpandangan beberapa saat, dan nggak sadar kalau seluruh kelas memerhatikan mereka berdua. “Hei, malah pacaran, jadi bagaimana kamu bernyanyi Dika?” Andi merasa cemburu melihat keduanya saling berpandangan begitu rupa.

***

Dika pun mulai menunjukkan kemampuanyya. Dan benar, ternyata dika bernyanyi begitu indah. Petika gitar Dodo dan Doni menjadi music pengiring yang melengkapi kelembutan suara Dika. Gita bahkan sampai terpesona, nggak bisa berkata-kata dan terus tercengang mengamati. Ahh lebih tepat menikmati nyanyian Dika. Semenjak detik itu keduanya sering berlatih bersama-sama. Mereka menjadi dekat satu sama lain. Dan bagaimana dengan duet mereka? Bukan main, Andi bahkan sampai merinding saat mendengar suara mereka berdua berpadu dalam sebuah lagu. Begitu memesona apa yang mereka tampilkan. Di telinga anak-anak yang lain, lagu yang mereka bawakan udah sangat bagus, namun keduanya justru merasa belum puas. Mereka tiap hari bersama dan terus menerus berlatih setiap pulang sekolah sampai dengan beberapa hari menjelang pentas seni berlangsung. Gita dan Dika begitu nama mereka di panggil oleh pembawa acara, maka seluruh penonton yang terdiri dari siswa-siswi dan dewan guru bersorak-sorak. Memang Gita udah dikenal karena suaranya yang merdu, namun bagaimana dengan Dika? Hal ini cukup menjadi pertanyaan di setiap kepala. Itu aja belum cukup. Penampilan Dodo dan Doni yang akan mengiringi dengan gitar masing-masing juga menimbulkan ketertarikan. Yang lebih heboh, seluruh teman-teman sekelas ikut turut serta di belakang dua orang penyanyi dan dua orang gitaris itu. Mereka menjadi suara latar yang akan memperindah suara Gita dan Dika. Jadi sebenarnya selain mereka berdua tekun berlatih, Gita dan Dika juga melatih teman-temannya yang lain untuk mendukung penampilan mereka. Akhirnya seluruh kelas ikut berperan dalam pentas seni. Sesuatu yang nggak bisa dilakukan oleh kelas-kelas lain. Dan tahukah bahwa ternyata semua itu adalah ide Dika si anak baru.

***

Gita udah nggak lagi membaca deretan kata ‘Gita dan Dika’ di bagian belakang sampul depan bukunya. Dia udah kelar membuka dan membaca halaman demi halaman yang ada di diary itu. Sampai akhirnya dia tiba pada sebuah halaman yang ada fotonya. Mereka berdua, Gita dan Dika di dalam foto itu yang diambil selepas mereka menyanyi di pentas seni tempo hari itu. Di dalam foto itu, mereka terlihat begitu mesra. Masing-masing memegang microphone dan tangan mereka bertautan, bergandengan tangan. Di latar belakang, Doni dan Dodo sibuk memetik gitarnya, kepala mereka menunduk dan wajahnya nggak kelihatan. Lebih ke bagian belakang dari foto itu, Gita melihat teman-teman sekelasnya yang lain tersenyum. Ya, mereka tersenyum setelah bernyanyi dan mendengar tepuk tangan membahana dari seluruh warga sekolah yang hadir di aula. Semua Nampak begitu gembira. Tanpa sadar dari mata Gita mengalir butiran-butiran bening air mata. Hal yang biasa terjadi bila dia kembali membuka diary itu. Kembali mengingat semua peristiwa semenjak kedatangan Dika di kelasnya. Pentas seni yang melibatkan seluruh sekolah dan kebahagiaan yang muncul seusai mereka berdua bernyanyi saat melihat penonton tersenyum, tertawa, dan bertepuk tangan memuji dan menghargai dengan sangat penampilan mereka. Saat Gita kembali teringat berita yang didengarnya nggak lama setelah pentas seni usai. Yaitu berita tentang kecelakaan yang meninpa Dika selepas dia pulang dari sekolah lebih awal karena ada urusan lain. Motor Dika tertabrak truk yang melanggar lampu merah di sebuah perempatan, dan Dika langsung tewas di tempat kejadian. Gita hanya mendengar kabar terakhir mengenai senyuman di wajah Dika yang udah dingin. Barangkali ketika Dika meninggal dia teringat pentas seni di sekolah barunya yang begitu membahagiakan.

0 komentar: