THOUSANDS OF FREE BLOGGER TEMPLATES

Sabtu, 02 Januari 2010

pelangi persahabatan

Langit begitu mendung, suara petir yang amat keras membuatku cukup takut hingga kututup wajahku dengan buku yang kupegang sejak tadi pagi. Pohon bambu yang tadinya berdiri tegap dibelakang rumah tetanggaku itu tiba-tiba roboh karna saking besarnya angin yang baru saja melintas. Kubaca kembali novel karyaku yang sudah jadi buku ini dengan sambil memperhatikan sekelilingku. Tiba-tiba hujan turun dengan derasnya yang tanpa basa basi langsung mengguyur seluruh permukaan di desaku ini. Seluruh pintu rumah tetanggakupun langsung ditutup karna saking derasnya hujan yang turun dan angin yang semakin kencang sehingga membuat air hujannya masuk keteras rumah. Begitu juga dengan rumah ini, Ibuku cepat-cepat menutup pintu rumah ini dan menguncinya.Jam dinding masih menunjukkan pukul 9 pagi, tapi keadaan ditempat ini seperti sudah jam setengah enam sore. Sangat mendung dan petang sekali, tak seorangpun yang berani keluar rumah hari ini. Bahkan akupun tak masuk kerja karna memang sejak aku bangun tidur tadi keadaan sudah petang dan mendung. Aku tak tahu apa yang akan terjadi, langit seakan murka kepada seluruh makhluk yang tinggal dibumi ini. Lampu listrik seketika padam karna mungkin terganggu oleh parahnya cuaca hari ini. Sepertinya memang tak ada seorangpun yang keluar rumah untuk bekerja karna keadaan semakin lama semakin memburuk. Hujan semakin deras, langit semakin petang dan angin semakin kencang sehingga membuat air langit yang turun berkeliaran kemana-mana.Ku lihat ibu dan adikku masuk kamar sambil membaca sholawat. Mereka terlihat ketakutan karna suara petir yang begitu menggelegar, membuat jantung kami berdegup kencang. Apa mungkin Tuhan murka kepada hamba-hambanya sehingga menyuruh malaikat-malaikatnya agar memainkan pecutnya untuk menyadarkan para hamba-hambanya? Entahlah aku tak tahu… aku masih terus membaca novel yang ku pegang ini. Kubaca dan terus kubaca, tak ku pedulikan derasnya hujan yang membuat telinga bising, tak peduli dengan angin yang semakin kencang dan membuat tubuh kedinginan, serta tak peduli dengan petir yang sedari tadi terus menyambar.Ku melangkah menuju dapur untuk mencari sebatang lilin di sorok yang terlatak diatas kulkas. Dapat satu tapi pendek.“Ach tak apa, paling nggak aku bisa membaca novelku dengan terangnya lilin yang akan aku nyalakan ini.”Aku kembali keruang tengah… Tak ku lihat ada kursi didepanku, aku terjatuh dan tanganku tertindih badanku. Rasanya sakit sekali... Novelku jatuh, begitu juga dengan lilinnya. Aku mengambil lilin dan novel itu dengan merangkak karna kakiku rasanya sakit sekali saat aku mau mencoba berdiri. Kumencari keberadaan korek api. Tak kudapat, kucari dibawah TV pun tak ada, diloker dapur juga tak ada. Ku cari disanggan ruang tengah, tak ada juga.“Ach… coba kucari di kamar kakakku, barang kali ada korek bensol. Alhamdulillah ada satu…” ucapku sambil bersyukur.“Owalah… kok ya susah amat ini nyalain apinya.” Keluhku agak kesal.Ku berusaha keras menyalakannya, tetap tak berhasil, tak kulihat kakakku ada dikamarnya. Entah kemana aku tak tahu, yang pasti semalaman kemarin ia pergi bersama temannya. Kumasih berusaha menyalakan api dikorek yang aku pegang, tetap tak bisa, sekali bisa, langsung mati.Akhirnya… setelah berusaha sekuat tenaga, akupun bisa menyalakan apinya dililin dan akupun menuju ruang tengah, duduk dilantai dengan beralaskan tikar dan menaruh lilin yang sudah berapi itu dilantai. Kuletakkan novel yang sedari tadi kupegangi terus dan kupilah-pilah halaman yang tadinya belum sempat kulanjutkan.“Ach… sampai mana aku tadi.”Kucoba berdiri untuk menghidupkan lampu diruang tengah ini, ternyata masih padam. Kulanjutkan membaca novelku tadi dengan hanya diterangi lilin yang makin lama makin redup.Kusudah membaca sekitar 50 halaman dalam 1 jam ini. Aku masih hafal betul novel yang kubuat beberapa bulan yang lalu ini. Ach… mataku mulai sayu dan kepalaku sedikit pusing karna terlalu lama membaca novel ini. Kuistirahat sebentar untuk melepaskan lelahku. Aku tiduran sebentar diruang tengah…Beberapa menit berlalu, kucoba untuk melihat keadaan disekitar luar rumahku, masih hujan namun tak sederas tadi. Sekarang sudah pukul 10 lebih. Ku cari keberadaan payung yang berada disamping tembok diruang dapur. Kucoba keluar untuk memastikan keadaan diluar rumah. Angin kencang yang dari tadi berlarian kesana kemari kini sudah menjadi angin biasa, langit sudah kelihatan cerah kembali. Kumenuju depan rumah dan melangkahkan kakiku kearah timur. Seperti ada getaran suara yang memanggilku dari arah timur, membuatku penasaran untuk mengikuti arah suara itu. Sampai dipuncak timur yang dekat dengan sungai kulempar payungku karna hujan sudah mulai reda.Merah, jingga, kuning, hijau, biru, nila dan ungu, ke tujuh warna itu terlihat sangat indah dipojokan langit yang membentuk busur itu. Terdengar suara beberapa orang dewasa didekat sawah yang berada jauh didepanku sana. Kuhampiri mereka dan kuperhatikan wajah mereka masing-masing satu persatu-satu. Terus kuperhatikan tingkah mereka berempat. Mereka seperti tak melihat bahwa aku ada diantara mereka. Ingin sekali menyapa mereka, tapi aku tak berani. Mereka berteriak sekencang-kencangnya sambil menyebut beberapa inisial nama seseorang yang mungkin bagi mereka sangat berarti.D … S … S … A … dan W … sebenarnya siapa inisial nama yang mereka sebutkan itu. Bukankah mereka itu hanya 4 orang saja, tapi kenapa mereka menyebut 5 inial huruf dari sebuah nama seseorang ya… apa mungkin inisial-inisal nama itu adalah nama dari mereka dan satu inisial nama itu adalah nama sahabat mereka yang tak muncul bersama mereka.Semakin lama kumemandang wajah dan memperhatikan tingkah mereka, semakin lama wajah mereka itu tak asing bagiku. Kuberdiri tepat didepan mereka berempat. Merekapun seketika itu terdiam memandangku.“Kalian bisa malihatku? Kalian tahu aku ada disini?”. Ucapku pada mereka berempat.Tiba-tiba seorang pemuda dewasa dari mereka memegang pundak kiriku. Dia menyebut namaku, aku heran dari mana ia tahu namaku. Seorang gadis dewasa dari merekapun menghampiriku dan memegang pundakku yang sebelah.Seperti ada setrum yang merayapi seluruh tubuhku, mataku berkunang-kunang dan tubuhku lemas hingga akhirnya kemudian terjatuh. Mereka menangkapku dan membantuku untuk duduk ditempat yang baru aku kunjungi itu. Memoriku seperti berjalan kemasa laluku. Wajah mereka yang tadinya asing semakin ku kenal, wajah mereka yang tadinya terlihat dewasa kini berubah menjadi remaja. Pakaian mereka yang tadinya terlihat sangat rapi dan indah kini berubah menjadi pakaian biasa.“Kami adalah sahabatmu, sahabatmu di beberapa tahun yang lalu, ini adalah masa depan kami, kau lihat betapa berubahnya kami saat kau baru bertemu dengan kami tadi?”. Ucap gadis disampingku ini.“Benar apa yang dikatakan Sari, aku Dian… Dian sahabatmu dan sahabat ketiga sahabatmu ini, kau lihat bukan, wajahku sudah tak asing bagimu”. Tambah gadis yang aku rasa wajahnya mirip sekali dengan mbak Dian ini.“Jangan kau tutup mata kau sebelum kau melihat kesuksesan kami, jangan kau pergi dari kami sebelum kau bergabung dengan kami. Akulah Ady, seorang pemuda yang selalu kau ajak bertengkar”. Ucap pemuda yang memang wajahnya mirip sekali dengan sahabatku Ady.“Dengarkan kami… kaulah yang dulu menjadikan kami bersatu menjadi anggota TGM. Kaulah yang membuatnya, kaulah pendirinya, dan kamilah anggotanya. Kau pulalah yang memberi semangat pada kami hingga kami menjadi seperti ini dan berada disini, kaulah yang memanggil kami sehingga kami muncul untuk menemuimu. Akulah Wana alias Capi, sahabat sekaligus kekasihmu.” Ucap pemuda terakhir yang berada didepanku ini.Aku semakin bingung dan tak mengerti apa yang diucapkan oleh keempat sahabat ini. Kulihat pelangi sudah mulai menghilang dari hadapan kami.“Pelangi itu akan muncul dimasa depan nanti, disini bersama kita berlima”. Ucapku seketika dari lisanku.Mereka tersenyum dan membawaku ke suatu tempat entah kemana aku tak tahu karna memang mereka tak memberitahuku mau diajak kemanakah diriku ini. Mereka tak menjawab pertanyaanku saat aku bertanya mau dibawa kemana mereka. Merka berempat hanya tersenyum sambil memandangiku.Aku tak mengerti dengan sikap mereka ini. Terlihat begitu banyak orang yang tengah mengerjakan pekerjaan mereka masing-masing didepanku. Ada yang menerapkan camera, ada yang memegang skenario, serta ada pula yang tengah ribet memoles wajah beberapa gadis dan pemuda yang ada didepanku itu. Kuperhatikan tingkah mereka dengan seksama sambil memandangi wajah mereka masing-masing.“Itu… bukankah itu kau yang tengah memegang skenario sambil mondar-mandir tak jelas begitu?” Tanyaku pada salah satu keempat sahabat ini yang kurasa itu adalah mbak Sari.“Benar, kau yang memberiku semangat untuk mewujudkan impianku, kau pula yang membantuku sehingga aku bisa menjadi seperti itu. Kau perhatikanlah kembali”. Jelas mbak Sari padaku.“Kau tahu…? kaulah yang membuat scenario itu dan aku beserta teman-temankulah yang memerankannya”. Tambahnya lagi padaku.“Benarkah?”. Balasku. “Bagaimana mungkin? Aku tak pernah menulis skenario untukmu”. Tambahku.Secara tiba-tiba segerombolan pemuda dan pemudi berlari menuju kearah mbak Sari yang tengah sibuk membaca naskah skenario yang ia pegang itu. Ada yang meminta tanda tangan, ada yang ingin foto bareng, ada pula yang ingin dipeluk. Aku semakin bingung dan tak mengerti. Bukankah mbak Sari itu ada disampingku? Lha kok ya ada didepanku juga. Nggak mungkin to dia ada dua? Mustahil…“Kita ke tempat lain, ada tempat lain yang juga ingin aku tunjukkan kepadamu”. Ucap mbak Dian padaku dan langsung menarik tanganku. Aku ikut saja dengannya sambil diikuti tiga sahabat lainnya.“Ngapain kita ke sekolahan?” Tanyaku penasaran pada mereka. “Kau mau sekolah lagi karna dulu kau sempat kesusahan dalam menangkap pelajaran?”. Tambahku padanya. Mbak Dian hanya tersenyum sambil menggelengkan kepalanya. Aku semakin penasaran saja, sebenarnya apa maksudnya membawa aku ketempat ini.“Kau perhatikan kelas itu, siapa yang tengah duduk paling depan menghadap murid-murid”. Saran mbak Dian padaku.Akupun menuju pintu ruang kelas yang ada dihadapanku dan memperhatikan siapa yang ia maksud. Wajahnya hanya kelihatan sebagian, jadi aku tak terlalu paham. Namun, ketika seorang guru muda yang tengah duduk di kursi paling depan itu berdiri dan beralih memandang keluar kelas, akupun bisa melihat wajahnya dengan jelas, sangat jelas sekali. Seperti gadis dewasa yang kutemui ditempat awal aku melihat pelangi.“Benarkah itu kau?” Tanyaku pada mbak Dian.Iapun membenarkan pertanyaanku dan memberitahuku bahwa gadis dewasa itu adalah gadis yang pertama aku lihat di tempat tadi saat menyaksikan pelangi. Begitupun dengan mbak Sari, wajahnya juga diperlihatkan dengan wajah yang pertama tadi, bukan wajah yang masih remaja ini.Tinggal Ady dan Wana, apa yang akan mereka tunjukkan kepadaku setelah kedua gadis itu. Apakah hampir sama? Atau jauh berbeda? Ach… entahlah. Lamunanku lenyap saat tanganku ditarik Ady…"Kau lihat itu?". Ucap Ady padaku sambil menunjukkan kepadaku sesuatu yang berbeda dan jauh berbeda dari apa yang diperlihatkan oleh mbak Dian dan mbak Sari, ini lebih menakjubkan. Beberapa foto terpampang disuatu ruangan besar dan foto itu terpampang tepat disebelah kanan garuda Akupun bertanya mengapa ia menyuruhku melihat Foto-Fotonya yang tengah terpampang diatas dinding itu."Kau kan tahu cita-citaku adalah menjadi pemimpin di Negara ini? Dan kau juga tahu bahwa aku ini ingin meneruskan perjuangan seorang tokoh yang bernama Soe Hok Gie. Karna aku belum bisa mencapainya, maka aku pampang saja foto-fotoku didinding rumahku bersama dengan garuda itu.". Jelasnya padaku."Artinya?" Tanyaku padanya."Gini ya aku ulang lagi, waktu TK kan aku ingin sekali menjadi Camat, ketika sudah menginjak bangku SD aku ingin sekali menjadi Dokter, lanjut di SMA aku ingin menjadi Guru. Dan sekarang aku ingin menjadi pemimpin yang punya jiwa besar seperti sosok Gie… karna aku belum bisa mencapainya, akupun tak hanya diam saja, kuingin benahi Negara ini, ditanganku dan teman-temanku. Kuingin menunjukkan pengabdianku terhadap Negara ini, ya… seperti meneruskan perjuangan Gie. Yang jelas demokrasi di Indonesia harus dibenahi dan pemerintahannya juga mesti ikut dibenahi". Jelasnya panjang padaku.Ach… aku semakin tak mengerti apa yang ia maksud dari penjelasannya yang panjang lebar tadi."Aku sudah kembali dari Belanda, sudah empat tahun lamanya aku ke Belanda dan kalian berempat masih menungguku dengan setia. Dan sekarang beginilah aku setelah aku menyandang gelar S1 ku, dan aku ingin melanjutkan S2 ku disini". Tambah Ady padaku."Kalau kau Wana? Apa yang akan kau tunjukkan kepadaku? Apakah hampir sama dengan yang lainnya?" Tanyaku pada Wana. Dia hanya menggelengkan kepalanya sambil tersenyum.Iapun menjelaskan kepadaku bahwa ia belum tahu ingin menjadi apa. Karna orangtuanya menginginkan dirinya menjadi Sarjana."Bukankan itu bagus? Kau akan menyandang gelar Sarjana. Bukan cuman Ady saja, tapi kau juga Wana. Kau kan bisa bergabung dengan Ady". Kataku padanya.Ia menjelaskan bahwa tak mungkin ia bergabung dengan Ady, ia tak punya bakat dalam dunia politik. Dari dulu ia menginginkan menjadi seorang hacker terhebat, entah masih ia inginkan atau ia sendiri tak tahu."Kau tahu? Kau kini sudah menjadi penulis yang hebat, kau sudah memiliki apa yang kau inginkan?" kata mbak Sari padaku.Apa maksud mbak Sari? Aku tak mengerti, aku ini baru mau merintis ke dunia tulis menulis, tapi ia malah berkata kalau aku ini sudah menjai seorang penulis yang hebat. Sedang tulisanku saja belum pernah diterbitkan satupun. Baru saja aku mau mengirimkan novelku, tapi kok ya mbak Sari berkata seperti itu.Tiba-tiba mereka berempat mengajakku ke asal mula tempat pertama tadi kami bertemu. Aku bertanya kepada mereka bagaimana caranya mereka bisa ada disini, bagaimana mungkin mereka bisa menemuiku? Sedang tempat tinggal mereka jauh dari tempat tinggalku, dan bagaimana mungkin mereka tahu daerah tempat tinggalku. Aku semakin tak mengerti ketika mereka hanya tersenyum menyaksikan keherananku terhadap mereka. Menyaksikan rasa penasaranku terhadap mereka berempat."Semua ini bisa terjadi Syifa, karena sebuah persahabatan yang tumbuh dari jiwa, hati dan raga kita, tapi aku tak yakin ini bisa jadi kenyataan". Jelas mbak Dian padaku.“Kenapa tak yakin? Bukankah ini kenyataan…?”. Balasku penasarn. "Teruskan saja Novelmu, jangan kau berhenti dan membiarkan waktu luangmu kau buang begitu saja. Jangan kau biarkan waktu mengambil hari-harimu dengan sia-sia". Jelas Ady padaku.Apa maksud mereka berdua. Mbak Dian bukannya menjelaskan maksud dari pertanyaannya, eeh malah Ady ganti ngomongin sesuatu yang tak ku pahami.Merekapun menyuruhku untuk membuka mataku. Aku semakin tak mengerti maksud mereka. Mereka masih menyuruhku untuk membuka mataku. Kudengar suara wanita paruh baya memanggil-manggil namaku. Ku hampiri nama itu, suara itu semakin dekat. Ku berlari mencari keberadaan suara itu, namun belum juga ku temukan. Ku menoleh kearah belakang. Dahsyat… hujan dari belakang tiba-tiba saja turun dan seakan mengejarku. Keberlari dan terus berlari… Kulihat rumah orangtuaku sudah mulai dekat. Ku masuk kedalam rumah dan mengunci pintu rumahku.Deg… mataku langsung terbuka ketika ada seorang wanita paruh baya yang sering kupanggil ibu ini menyentuh pundakku dari belakang. Aku terkejut, kubuka mataku lebar-lebar, masih kriyep-kriyep…"Ach… lagi-lagi semua ini hanya mimpi.”Ibuku yang sedari tadi membangunkanku ternyata agak kesal dan jengkel karna aku susah dibangunkan. Aku kira ini pagi, ternyata maghrib sudah menjelang dan suara adzan maghrib sudah tak kudengar. Ku bergegas menuju ke hammam dan langsung mengguyur mukaku. Berwudlu dan segera menunaikan ibadah sholat maghrib."Teruskan saja Novelmu, jangan kau berhenti dan membiarkan waktu luangmu kau buang begitu saja. Jangan kau biarkan waktu mengambil hari-harimu dengan sia-sia".Itulah kalimat dari Ady yang masih ku ingat sampai sekarang, dan sejak itulah, aku tak pernah membuang waktuku dengan sia-sia.

0 komentar: