THOUSANDS OF FREE BLOGGER TEMPLATES

Selasa, 29 Desember 2009

ketika cinta memilih sahabat

Ku menuju rumah sahabatku Ifa di Demak. Bersama sahabatku Muhammad ku menuju rumahnya yang lumayan membuat perjalanan kami nyasar kemana-mana. Muhammad tak tahu persis arah yang diberitahukan Ifa padanya. Aku lupa jalannya karna memang sudah dua tahun yang lalu aku ke rumahnya. Itupun hanya sekali dan tak sengaja di ajak oleh sahabatku Najjah. Kami bertanya kepada seorang kakek tua dimana letak alamat yang ingin kami tuju. Ya Tuhan… ternyata aku dan Muhammad sudah melampuai jauh daerah Ifa. Kami nyasar… setelah kakek tua itu memberitahu arahnya. Kamipun langsung belok dan menuju arah yang dimaksud kakek itu. Di tengah perjalanan, kami bertanya kembali pada dua orang pemuda yang tengah asyik ngobrol sambil nongkrong di warung. Muhammad bertanya kepada mereka. Ku menunggunya di samping motor Supra X nya. Akhirnya setelah mendapat pengarahan dari pemuda itu, kamipun tancap gas menuju rumah Ifa. Dan Alhamdulillah kamipun akhirnya sampai juga di desa Ifa. Kami masuk kampungnya dan akupun mengarahkan Muhammad kea rahrumah Ifa karna aku masih ingat betul letak rumahnya. Ya… aku memang hanya ingat ketika sampai di desanya. Waah… sesampainya dirumahnya Ifa, bukannya di sambut dengan meriah, eh malah disambut dengan pintu rumahnya yang tertutup dan terkunci rapat. Akupun sedikit kikuk tuk mengetok pintu rumahnya, ditambah lagi Muhammad yang masih ragu akan rumah yang ku maksud itu, apakah benar rumahnya Ifa atau bukan. Akupun dengan tegas mengetok pintu rumahnya dan mengucapkan salam. Astaghfirullah… ku melihat seorang gadis kecil didepanku tengah membukan pintu rumahnya, dan ku melihat seorang gadis menginjak dewasa yang tubuhnya hanya bertutupkan handuk saja. Untungnya aku yang megetok pintu rumahnya, kalau yang mengetok pintu Muhammad. Wah… bisa jadi maksiat tuh. Dasar sahabatku Ifa, harusnya ya cepat-cepat pakai baju sebelum menerima tamu. Hihihi… Kamipun dipersilakan masuk dan duduk di kursi ruang tamunya. Untungnya hawanya tidak panas, jadi meskipun kepalaku berselimutkan kerudung, akupun tak merasa gerah karna sudah riwa-riwi ngalor ngidul tuk cari rumah Ifa, sampai-sampai kami kesasar. Selang beberapa menit sahabatku Ryan tiba di depan rumah Ifa dengan motor Vixion merahnya. Iapun masuk kerumah Ifa setelah mengucap salam. "Ngapain datang ? Orang makanannya udah habis." Goda Muhammad pada Ryan. Ryanpun tersenyum dan duduk di kursi panjang dekat denganku. Ifa keluar dengan pakian atas yang berlengan pendek dan celana panjang berwarna hitam. Menyambut kedatangan Ryan setelah sebelumnya ia sms aku dan Muhammad apakah kami sudah berangkat ke rumah Ifa. "Bukannya sudah berangkat, tapi sudah sampai rumahnya iya". Balasku pada Imam lewat handphone Muhammad. Selang beberapa menit, datangnya seorang pemuda dengan motor Mio hitamnya. "Yang lain mana?" Tanya sahabatku Imam pada kami setelah ia sampai dirumah ifa. Bukannya mengucap salam malah menyapa dengan sapaan bro. Emang tu anak satu aneh dan mbluboh. Tak heran dia sedikit tak sopan. Hihihi… "Nggak ada. Adanya cuman anak-anak ini". Balas Muhammad yang akhirnya Imampun duduk di kursi sampingnya. "Ayahku kerja, Ibuku ke sawah, jadi aku dirumah sendirian sama adik perempuanku tadi". Jelas Ifa. "Bebas donk". Balasku. Akhirnya aku dan Ifapun pergi menuju pasar Welahan tuk beli buah yang akan kami makan bersama di rumah Ifa. Berdua kami muter-muter didalam pasar dan memilah-milah buah yang akan kami beli. "Kubertanya pada sang pedagang laki-laki paruh baya yang tengah repot melayani para pembeli buahnya ini". Dengan sigap beliau membalas "6500". Bersama jeruk setengah kilo yang harganya 4500 kamipun membeli buah itu. Kamipun beralih ke tempat buah lain setelah ku memberikan uang 20.000 dan menerima kembalian 9000 ribu dari pedagang itu. Meskipun tadi sempat menunggu cukup lama untuk antri. "Apa klengkeng sama jeruknya nggak kurang Ya?" Tanya Ifa padaku. Akupun akhirnya menyarankannya untuk membeli buah jeruk setengah kilo lagi dan membeli buah kelengkeng lagi. Tepat didepan kios buah kami berhenti. Membeli sebungkus plastik buah klengkeng yang tak tahu berapa kilo dan setengah kilo buah Pear. Dengan uang 17000 kami mendapat buah itu. "Setelah ini tambah jeruk setengah kilo dan anggur ya". Ucapku pada Ifa. Ifa mengiyakan ucapakanku. Ifa melihat makanan ringan dan menawarkanku membeli makanan itu, akupun mengiyakan perkataanya begitu saja. "Beli satu kilo atau berapa?" Tanya Ifa padaku. "Walah… ngapain banyak-banyak buk, makanannya ringan gitu, beli seperempat kilo juga udah banyak". Balasku pada Ifa yang membuat Ifa bicara padaku apakah tak terlalu sedikit membeli makanan itu hanya sepermpat kilo saja. Akupun kemudian berkata pada si pedagang agar membungkuskan makanan ringan yang kami minta yang entah apa namanya itu sebanyak setengah kilo. Ifapun menuju kios buah di depan kios makanan ringan itu. Ia membeli jeruk setengah kilo. Setelah kami keluar dari dalam pasar. Kamipun menuju kios buah yang lumayan gede dan bertanya berapa harga buah anggur setengah kilo. "19000". Jawab si pedagang gadis muda nan cantik ini. Akupun meminta agar membungkuskan buah anggur setengah kilo. Dengan sergap gadis muda nan jelita itu membungkuskan kami anggur setengah kilo setelah menimbang beratnya. Kamipun langsung meluncur kembali ke tempat parkir untuk mengambil motor Imam yang kami bawa tadi. Lalu segera menuju rumah Ifa setelah memberikan uang seribu kepada si tukang parkir dan tancap gas ke rumah Ifa. "Wah… pasti kasihan sekali mereka sudah menunggu kita lama sekali". Ucap ifa padaku dimana aku mengiyakan perkataannya. “Nich… klengkeng yang kau pesen Mad”. Kataku pada Muhammad setelah kami sampai di rumah Ifa. Iapun langsung mengambil klengkeng di kresek hitam yang baru saja ku taruh diatas meja. Ku buka bungkusan yang didalamnya ada buah anggurnya yang membuatnya mengeluarkan komentar. “Wah… Naya beli anggur, enak tuh” kata Muhammad padaku. “Lha ini opo? Kok ya beli ini segala. Ngapain beli sebanyak ini? Emang siapa yang mau makan?” tambah Muhammad padaku. “Owalah. Kau tadi ndak mau disuruh ke pasar, sekarang malah ngomong kayak gitu, gimana sih, jadi serba salah deh aku”. Melasku.“Anggurnya di umpetin sama Naya tuh”. Kata Ryan pada anak-anak seraya menjahiliku. “Lha aku opo ?” ucap Imam. “Lha tadi kalian berdua ndak mau request kayak Muhammad, tadi kan kalian juga tahu sendiri kalau Muhammad request klengkeng”. Jelasku pada Ryan dan Muhammad. “Kalau ndak mau makan ya udah, biar entar dibawa pulang sama Naya”. Ucap Muhammad. “Ogah kalau aku disuruh bawain itu.” Balasku. “Eh. Naya entar tinggal disini aja, nemenin aku”. Ucap Ifa pada anak-anak. “Nah bagus tuh… Si Naya tinggal disini aja”. Bela Imam pada Ifa. “Enak aja, entar kalau dicariin ortuku gimana ?”. balasku. “Lagian besok aku kan mesti kerja, work is my live, hahaha…”. Ucapku pada mereka. Kamipun makan buah yang kami beli tadi sambil bercanda ngalor ngidul tanpa ada inti yang jelas. Tak ada topik yang benar-benar asyik dan menyenangkan kecuali saling mengejek dan menghina. Memang itulah kebiasaan buruk anak-anak alumni Assalam Perdana ini. Bukan cuman kami, bahkan seluruh anak kelas IPAku itu benar-benar stress dan pada gelo alias gila. Nggak yang pendiem, nggak yang cerewet, semuanya tak lepas dari bahan ejekan. Apalagi adanya pertemuan yang langka ini, membuat kami benar-benar merasakan betapa berartinya persahabatan ini. Betapa berharganya pertemuan yang hanya diadakan sekali selama beberapa bulan bahkan selama setahun ini. Paling tidak yang bisa bertemu denganku adalah si Muhammad yang memang rumahnya dekat dengan rumahku dan jika ia berangkat ke kampus ia pasti melewati desaku. Pastinya ia masih bisa mampir kerumahku. Enggak bagi Ifa, Imam, Ryan serta anak-anak lainnya yang rumah mereka jauh dari rumahku dan tak punya waktu luang untuk bermain ke tempat tinggalku. Entah karna tak punya waktu atau karna tak mau main kerumahku, akupun tak tahu. “Satu-satunya teman yang paling setia dan mau menemui kamu kan cuman aku Naya”. Sok Muhammad padaku beberapa hari yang lalu. Aku jadi membenarkan perkataanya bahwa hanya dirinyalah yang memang bisa meluangkan waktu untuk bisa bermain ketempatku. Serta dia juga yang setia membantuku jika aku kesulitan. Padahal dulu aku lebih dekat dengan Ryan dan Ifa, namun semenjak mereka kuliah di luar kota, kami jadi jarang berkomunikasi meskipun lewat handphone, dan mungkin jika tak ada reuni ini, kami tak mungkin sesering ini berkomunikasi lewat handphone. “Wah… kalau ada Om Jin disini pasti bisa dilahap habis ini, makannya tuh anak kan banyak banget”. Ucapku pada mereka. “Bener tuh, Gayanya sekarang dia manggil bra bro bra bro.” tambah Muhammad. “Kayak nggak tahu Rohman aja deh kalian, dia kan emang kayak gitu”. Ucap Ifa seraya ikut mengejek sahabat kami yang biasa berkata “Memalukan”. Meskipun yang dimaksud orang yang memalukan itu dirinya sendiri. "Sebenarnya Rohman tuh kangen sama kamu Ifa, tapi katanya dia ada hajat yang mesti ia selesaikan”. Jelasku. “Buang Hajat maksudnya?” sambung Muhammad yang membuat kami tertawa. “Wah Naya. Kau ini, anggurnya di sembunyiin di balik toples”. Tukas Muhammad padaku ketika aku tengah asyik mengajari Ryan memainkan facebook di handphonenya. “Kuatir kau minta Muhammad”. Balas Imam. “Mau donk aku ikutan”. Tambahnya. “Kau kan sudah punya klengkeng, udah habis banyak malah”. Tukasku balik pada Muhammad. “Loh, bukannya yang habisin sampai tempat sampahnya penuh itu kamu Ya?” ejek baliknya padaku. Ifa dan Muhammadpun kemudian melihat caraku mengajari Ryan bermain facebook di handphonenya yang bertipe berapa aku tak tahu. “Wah, aku jadi pengen, buatin aku juga donk Naya”. Iri Imam padaku seketika ia menghampiri kami untuk melihat apa yang sedang ku lakukan terhadap handphone Ryan. “Wah cukup membingungkan juga ya online dihandphoe, beda dengan di computer. Jadi bingung aku”. Ucapku yang membuat Imam jadi mengambil handphone yang ku pegang. Dasar dudulz tu anak, sedang asyiknya main facebook malah diganti handphonenya yang katanya aku disuruh buatin ia facebook lewat handphonenya yang bertipe sama dengan handphone Ryan. Meskipun sudah sedikit bobrok. “Hah… dasar kau Imam, ini ni belum disetting GPRSnya, pantesan nggak bisa”. Jelasku pada Imam yang tengah asyik ngutak-ngutik handphone Ryan sambil tiduran di kursi panjang ruang tamu ini. “Wes tah angger settingke, piye carane”. Katanya padaku dengan loghat jawanya itu. “Kau Ryan, kau kan bisa setting GPRS to?” kataku pada Ryan dimana ia berkata bahwa ia tak bisa nyetting GPRS yang kartunya AS. Lha emang hanya Imam saja yang berkartu AS, padahal anak-anak yang lainnya pada pakai kartu IM3. “Makannya pakek IM3 donk Mam, lebih enak dan gampang”. Kata Muhammad pada Imam dimana Imam tak memperdulikan perkataan Muhammad. Akupun menaruh handphone Imam di meja dan kembali bercanda dengan Ifa, Ryan dan Muhammad. Tanpa Imam yang memang ia tengah asyik main handphone. “Nyoh… bingung aku”. Kata Imam sambil mengulurkan handphone Ryan kepadaku. Akupun menerimanya dan kemudian mengajari Ryan facebookan lagi, eh… tahu-tahu not connect. “Walah… pulsanya habis ini.”. kataku pada Ryan dimana Ryan berkata bahwa dari tadi memang nggak ada pulsanya. “Masa sih? Tapi kok tadi bisa buat buka facebook? Tahu ach. Nie aku balikin.” Kataku sambil mengembalikan handphonenya. “Wah, besok kau tes kan Mam?”. Kata Muhammad pada Imam. “Dijawab apa aja, yang penting soalnya diisi”. Balas Imam pada Muhammad. “Fa, kau jurusan apa sih?” Tanya Muhammad pada Ifa. Aku dan Ifapun menjawab Syariah. Muhammadpun berkata, kalau jurusan Syariah kok waktu semester kau tanya jawaban padaku, kan nggak sama mata kuliahnya. “Fa… Mending kau Tanya deh sama aku, entar aku ajarin caranya main computer, he he he”. Candaku padanya yang membuat kami tertawa. Sekian jam lamanya kami bercanda. Sejak pukul 10 kurang beberapa menit sampai hampir dzuhur. Ku sesekali melirik jam yang terpampang diatas dinding ruang tamu ini. Dan berkatalah Imam kalau aku sudah lapar, maka makanlah sebaiknya, katanya lagi karna selalu melihat jam. “Pengen cepet-cepet jam makan ya Naya?” tambah Imam. “Naya, kalau kau sudah lapar, makanlah… aku kasihan lihat kamu terus-terusan nelen ludah kamu sendiri”. Goda Ifa padaku. Ditambah lagi anak-anak yang lain yang juga ikut menjailiku kalau aku sudah lapar itu mbok ya makan dulu sana, katanya karna belum makan dari rumahlah, katanya kasihanlah, inilah itulah. Ada-ada saja mereka, membuatku tak bisa membela diriku sendiri, karna mesti terpotong oleh ejekan-ejekan mereka yang aku rindukan semenjak kelulusan kami. Sudah berbulan-bulan kami tak pernah kumpul, dan disaat ada waktu yang tepat untuk bisa berkumpul-kumpul bersama, ada saja alasan yang membuat anak-anak lainnya tak bisa mengikuti reuni hari ini. Entah ada yang bekerjalah, nggak ada uanglah, nganter nyokap pergilah. Ada saja alasan mereka. Meskipun sebenarnya mereka itu ingin sekali ikut. Walaupun hanya ada lima anak yang mengikuti reuni hari ini, namun aku cukup senang karna akhirnya reuni yang pernah di rencanakan sejak kelulusan di tahun 2008 kemarin baru kesampaian hari ini. Memang rasanya sedikit aneh, karna anak-anak meminta reuni setelah baru lulus beberapa minggu. Disaat aku tengah sibuk-sibuknya mengurusi kuliahku. Jadinya aku tak bisa mengikuti reuni itu. Meskipun sesungguhnya aku ingin sekali mengikutinya, dan finally, reuni itu nggak jadi. Lagi pula anak-anak baru lulus sekitar 2 bulan, tapi sudah mau mengadakan reuni. Kok ya mereka itu kangennya begitu dalam. Sekitar pukul 12 lebih tepat kamipun makan masakan Ifa yang kami tunggu-tunggu sejak tadi, yaitu ingkong. Kayak manaqiban aja ya? Pasti tak terlalu ada rasanya. So… Imam dan Muhammadpun mengotel-otel satu ingkong itu dengan disaksikan aku, Ifa dan Ryan. “Entar Naya dikasih brutunya saja, biar gemuk”. Ejek Muhammad padaku. “Kepalanya aja sekalian”. Tambah Imam yang membuat ifa dan Ryan ikut mengejekku. “Ryan dikasih cekernya aja”. Balasku. “Ifa dikasih lehernya”. Tambahku. “Wah… Imam, ambil pahanya segede gitu. Bisa bisa…” ucap Muhammad sambil menggelengkan kepalanya. Kamipun tertawa. Akupun mengambil satu ceker ayam yang ada dihadapan Ryan setelah ku ambilkan nasi untuk Imam dan Ryan dan kutaruhlah ceker itu dipiring Ryan. “Kau ini Nay, masa iya aku dikasih ceker”. Ucap Ryan yang membuat kami tertawa. Akupun segera menggeser piringku yang masih kosong ini ke sebelah kiriku, karna ku tahu Imam mau menjahili kami dengan memberikan brutu dan ceker ke piring kami. Hah… dasar tu anak. Nggak ada henti-hentinya mengejek sahabatnya. Begitu juga dengan yang lainnya. Parah parah… “Naya, makan nggak kau, ambil tu nasi”. Suruh Muhammad padaku. “Kalau nggak mau makan kau akan aku tinggal dijalan entar” tambahnya yang memang aku hanya nitili sayap ayamnya saja tanpa mengambil nasi. Ryanpun kemudian mengambilkan nasi untukku, namun aku langsung cepat-cepat mengambil piringku. Wah… Kebanyakan itu Yan, masa iya sebanyak itu. Nggak muat perutku ini”. Kataku yang dimana anak-anak tak peduli dengan ucapanku dan memaksaku untuk menerima nasi yang sudah diambilkan Ryan untukku, meskipun belum dituangkan kepiringku. “Kurangi dikit”. Ucapku. Ryanpun mengurangi nasi itu, namun hanya beberapa butir saja. “Walah kau ini, masa segitu”. Tambahku. “Udah sini piringmu”. Tegas Ryan padaku. Akupun akhirnya mengalah dan menerima nasi yang diambilkan Ryan dengan sambil menggurutu bahwa aku yakin aku tak mungkin menghabiskan nasi dihadapanku ini. “Habisin tuh Naya, pasti entar keluargamu terkejut lihat kamu pulang-pulang jadi gemuk”. Ejek Muhammad padaku. “Iya… biar nggak cungkring”. Tambah Imam sambil mengunyah makanannya. “Nggak usah malu-malu karna makan sama cowok, biasanya juga malu-maluin”. Tambah Muhammad lagi. “Tutukno…” Balasku singkat pada mereka. Pukul setengah satu lebih kami selesai makan, dan benar, aku tak menghabiskan nasiku, lha wong Ifa sama Ryan juga masih kepet piringnya. Mereka juga nggak habis, eh… maksa aku makan banyak. Mentang-mentang aku yang paling kurus diantara mereka, terus aku gitu yang disuruh makan banyak. Benar-benar deh mereka. Aku dan Ifapun menaruh piring-piring kotor, nasi serta lauknya ke dapur. Setelah itu kembali deh duduk-duduk di kursi tamu, sementara ketiga pemuda itu duduk dilesehan lantai yang berkeramik itu. Imam tengah asyik telpon-telponan dengan temannya yang tak kutahu siapa itu. Sementara itu Ryan dan Muhammad beralih duduk di kursi. “Kok pada diem? Naya… sudah capek kamu dari tadi ngoceh terus?” kata Ryan padaku. “Udah kenyang makannya diem”. Jawabku. :”Ra melu-melu aku. Ndak ikut-ikut”. Kata Imam menghampiri kami. “Ndak ikut-ikut karna emang udah kenyang, eh… kau itu belum bayar tahu”. Kata Muhammad yang kami benarkan ini. Imam malah cuek tak memperhatikan. “Masih banyak gini buahnya, buat sebulan bisa Fa.” Ucap Muhammad pada Ifa. “Makan sekali untuk seminggu”. Kataku. “Kayak sapi, ada persediaan, he he he”. Tambahku yang membuat mereka berempat tertawa, termasuk Imam yang kemudian ikut nimbrung setelah telponnya terputus dengan temannya. “Sholat dzuhur yuk?” Ajak Imam pada kami. “Wah… insaf kau Mam?” ejekku. “Naya, kau sholat nggak?” Tanya Ifa padaku. “Nggak tahu.” Ucapku yang membuat mereka bertanya-tanya. “Lha kok nggak tahu? Insaf Naya… Insaf”. Ucap Ifa padaku. “Insaf gundulmu itu, lha wong aku ndak tahu sholat apa ndak”. Balasku. “Lagi ada tamu bulanan”. Ucap Muhammad. “Dilihat dulu sana”. Saran Ryan. “Kau temenin lihat yuk?” Candaku padanya yang membuat anak-anak tertawa. Tiga pemuda itupun kemudian menuju kamar mandi untuk berwudlu dan kemudian menunaikan sholat dzuhur. Aku dan Ifa mengikuti mereka dari belakang. Eh… aku ndak ikut kekamar mandi loh, yang ikut Ifa. Kan dia tuan rumah. Kalau aku sih didepan Televisi aja. Dasar mereka. Kok ya mau wudlu masih sempat-sempatnya jail-jailan dan ejek-ejekan. Bilang Ifa ngintip Imamlah, bilang kamar mandinya luculah. Karna memang lucu. Kok ya aneh gitu, pintu kamar mandinya bukannya di kunci dari dalam tapi malah di kunci dadi luar kamar mandi. Membuat Ryan bertanya gimana kalau ada yang mandi dan ada yang mau masuk ke kamar mandi. Ach… urusan mereka. Ku lanjutkan melihat layar Televisi yang ada dihadapanku. Huff… Ryan semprul. Masa iya, dia kibaskan bekas wudlunya ke mukaku. Ku balas deh dengan memegang tangannya, pastinya batal dong wudlunya. Sebelum ia masuk ke kamar mandi, akupun segera menuju kekamar mandi. Eh… dia lari dari belakangku da menyuruhku keluar. Katanya dia dulu karna dia mau sholat. Hah… Ngalah bukan berarti kalah. Ya udah monggo. Ternyata aku memang masih dalam tahanan bulanan. Aku ingin sekali bersembahyang. Padahal paginya aku sudah mandi besar, karna memang ku rasa sudah mampet. Tapi ternyata dirumah Ifa aku kembali masuk tahanan bulanan. Usai Muhammad dan Ryan sembahyang. Kamipun menuju ruang tamu kembali. Dasar Ifa. Masa iya dia mengunci Imam di kamar mandi dari luar tanpa kami sadari. Kasihan Imam ketika ia tiba-tiba muncul dari teras rumah. “Hah… resek. Aku kekunci di kamar mandi”. Ucapnya agak kesal sambil terengah-engah. “Gembar-gembor nggak ada yang denger”. Tambahnya. “Ifa pasti yang ngunci”. Ucap Muhammad yang memang ifa cengengesan sejak tadi. Dua kali Imam kekamar mandi, dan Ifa mengulang kembali dengan mengunci Imam dari kamar mandi tanpa sepengetahuan kami. Ada-ada saja mereka berdua itu. Tak heranlah kalau mereka itu memang kayak tikus dan kucing. Lha wong waktu masih SMA saja mereka itu seringkali ribut, ada saja masalahnya. Meskipun itu semua hanya sebatas bercanda. Hanya untuk menyenangkan diri, dari pada monoton. Lebih baik bervariasi. Hari ini ada sesuatu yang benar-benar dahsyat yang terjadi pada jiwa, hati dan batinku. Sesuatu yang belum pernah terjadi seumur hidupku ini. Tak tahu mengapa perasaan itu tiba-tiba muncul begitu saja tanpa ada rasa permisi dan hormat sedikitpun terhadap diriku. Tak juga memberitahuku dulu sebelum ia masuk ke ulu hatiku yang cukup dalam. Bahkan akupun tak mampu menolak gejolak terdahsyat yang pernah ku rasakan hari ini. Benar-benar dahsyat, lebih dahsyat dari acara TV show Dahsyat di RCTI… Kejadian yang cukup mencengangkan diriku ini benar-benar tak bisa membuatku menahan amarah serta emosi rasa suka ku terhadapnya. Terhadap sahabat terbaikku Ryan. Perasaan itu muncul sepulang dari reuni tadi. Ketika kami semua sudah terpisahkan oleh jarak dan waktu, serta tempat yang berbeda. Bersama Imam, Ryan dan Muhammad kami menuju jalur yang sama. Namun ketika sampai di jalan gede, kami berpisah karna arah rumah kami berbeda. Bersama Muhammad aku menuju rumah kampung halamanku. Tepat pukul tiga kurang 5 menit aku menginjakkan lantai rumahku. Ada getaran dahsyat yang sukup menyayat hatiku, meskipun sudah kucoba untuk tidak menyadari hal itu, namun semakin aku mencoba melenyapkan perasaan itu, semakin membutku sakit. Perasaan yang muncul seketika aku benar-benar lemah batin, jiwa dan raga. Ku mengadu pada sang Ilahi agar perasaan ini segera di hilangkan dari hatiku, kememinta perlindungan atas apa yang terjadi pada diriku. Bukan nafsu cinta yang ku inginkan, serta bukan kesenangan sesaat yang aku perlukan. Tapi kebahagian dunia akhirat. Kebahagian bersama sang pendamping yang ku dambakan seumur hidupku, bukan Ryan. Ia sudah aku anggap seperti saudaraku, saudara kandung, bahkan saudara kembar. Karna memang usia kami tak jauh beda, hanya terpaut dua bulan saja. Aku yang lebih tua dua bulan darinya. Karkternya dulu yang begitu tak berarti dimataku. Kini telah menjadi karakter seorang pemuda dewasa. Mampu menyikapi apa saja yang terjadi pada dirinya. Ingin ku berterus terang tentang perasaanku ini terhadap Ryan. Namun ada rasa canggung dan ada kekuatan lain yang menyuruhku untuk mengundurkan niatku. Malam harinya aku mengirim pesan kepada Ifa, Muhammad dan Ryan. Muhammad tak membalas, Ifa hanya membalas sekali setelah aku membalasnya dan ia tak menggubrisnya. Ryan pula membalas pesanku. "Padahal baru tadi pagi kita kumpul-kumpul. Tapi kok ya aku masih kangen". Pesanku pada Ryan dimana Ryan juga berkata demikian padaku, "Apalagi sama kamu Naya, kangen banget nie" tambahnya padaku. Detik-detik demi detik berlalu, menit demi menitpun terlewati, dengan sambil mengisi baterai ke Handphoneku, aku mengirim sms ke Ryan. Dengan mencoba menceritakan apa yang terjadi pada diriku hari ini sepulang dari rumah Ifa. "Kau ini jangan Bercanda Naya". Balas Ryan padaku. Akupun memberitahukannya bahkan pengakuanku itu bukan Cuma candaan. Pula aku menjelaskan kalau aku menyukai seseorang maka akupun tak mungkin bercanda, lebih-lebih dengan sahabatku sendiri. "Kau jangan pernah membalas cintaku, pula kau jangan memberi harapan atas cintaku. Pokoknya kau jangan sampai memberi peluang sedikitpun padaku". Jelasku padanya yang membuatnya jadi tak tahu harus mengambil sikap yang mana. Aku tahu ia pasti terkejut bukan main, pula pasti ia merasa kasihan jika ia tak membalas perasaanku, meskipun aku sendiri yang memintanya agar ia tak membalas perasaanku terhadapnya. "Terus aku harus gimana Naya? Kalau ditanya ada rasa apa nggak? Sebenarnya aku juga ada rasa kok". Balas Ryan ketika aku bertanya apakah sedikitpun ia tak punya perasaan terhadapku. "Awalnya aku pengen curhat ke Muhammad dan Ifa tentang masalah ini, tapi aku sedikit pakewoh". Pesanku pada Ryan. Namun Ryan malah justru melarangku mencurhatkan masalah ini pada mereka berdua. "Biarlah kita berdua saja yang memendam masalah ini". Tambahnya. Akupun akhirnya mengikuti perkataannya untuk tidak menceritakan masalah itu kepada Ifa dan Muhammad. Iapun kemudian berterima kasih kepadaku. Seharusnya ia tak perlulah berterima kasih kepadaku. Karna memang ia tak perlu mengucapkan terima kasih kepadaku. Semakin lama. Pembicaraan kami semakin tak ada ujungnya dan tak ada solusi yang pasti. Sama-sama tak tahu harus bagaimana. Apakah aku harus membiarkan perasaanku ini mengalir begitu saja sampai pada akhirnya perasaanku ini menantap tajam di hatiku dan tak akan ada satu orangpun yang mampu mencabutnya kecuali Ryan sendiri yang mencabutnya. Ataukah aku harus meminta Ryan untuk membalas cintaku. Tapi itu namanya pemaksaan. Atau bahkan aku harus mencoba berusaha semampuku melupakan Ryan. Melupakan sahabatku yang kini telah mengisi kekosongan hatiku. Tapi itu menyakitkan, sangat menyakitkan sekali bagiku. Kutahu Ryan begitu perhatian padaku, mulai dari cara bicaranya yang menjadi lebih sopan, cara ia mengatur kata-kata lewat sms, sampai cara memandangku. Tapi bukan berarti ia juga mempunyai perasaan yang sama sepertiku. Aku rasa perasaanku ini hanya sesaat saja, dan kurasa besok pagi tidak akan seperti malam ini. Membuatku benar-benar tak bisa tidur nyenak. Meskipun Ryan sudah memintaku agar aku tak memikirkan masalah ini terus. Tapi ternyata dugaanku salah. Ketika matahari sudah mulai menampakkan cahayanya, dan bulan sudah kembali lenyap oleh kedatangan sang mentari itu. Perasaan itu masih saja belum lenyap dari hatiku. Getaran-getaran itu masih menancap setia di relung sukmaku. Bahkan aku sampai tak nafsu makan. Makan tak enak, tidur tak nyenyak, kerjapun tak semangat. Cinta kali ini benar-benar membuat hidupku menjadi kacau seperti ini. Bukan… Bukan karna cinta biasa. Tapi karna perasaanku terhadap sahabatku. Mungkin kalau ia bukan sahabatku, aku masih bisa berharap. Tapi karna ia sahabatku, maka aku akan memilih bersahabat dengannya dari pada memilih bercinta dengannya. Kujadikan Cinta Sebagai persahabatan, bukan sahabat sebagai percintaan. Maka akan jadilah Cinta Memilih Persahabatan.

0 komentar: