THOUSANDS OF FREE BLOGGER TEMPLATES

Minggu, 10 Januari 2010

aku rela kau bahagia

“Inilah kegilaan ketika aku mesih saja mengingatmu. Masih saja memikirkanmu, meskipun kau telah jauh meninggalkanku dengan kebahagiaan yang selama ini kau cari.
”Aku menutup undangan bercorak hijau daun itu dengan perasaan meranggas. Mengakhiri ungkapan hatiku yang sempat tertulis diatasnya.“Kau akan datang?” Tanya Melia sang pengantar undangan, sekaligus sohib kentalku. Aku mengangkat kedua pundakku tanda penuh kebimbangan. Dan dia tak ada jawaban lagi.Dua hari lagi kau akan mengenakkan gaun itu, gaun yang kita pilih bersama waktu itu.Mudahnya kau mengkhiri pertunangan kita, hanya karena sebuah alasan yang tak jelas. Apa yang tak kau mengerti tentang aku??, tidakkah cukup perkenalan kita selama 2 tahun. Bahkan aku sudah lebih mengenalmu melebihi bagaimana aku mengenalku sendiri.Air mata mulai menetes lagi dan membuatku jengkel. Sedikit saja air mataku menetes, selalu saja tampak lain di mataku. Dan itu akan menimbulkkan kecurigaan ibu.“Kau masih memikirkan Abdi?”. Dan aku tak pernah bisa menjawab karena itulah kenyataannya. Aku tak pernah bisa menghapus namanya sedetikpun meskipun penuh dengan rasa kebencian. Aku sadar, akulah yang terlalu bodoh dengan semua ini. Dengan mudahnya percaya seorang pecundang sepertimu. Mengapa aku bisa tertipu pada kalimat yang indah pada sms, atau suara merdumu ketika kita berbicara lewat perantara kabel.
ŠŠŠ“Mengapa kau tak datang??” Aku terdiam, pertanyataanmu penuh kekonyolan, setelah semua yang kau lakukan padaku.“Mengapa, re?”“Aku tahu kamu sakit hati, tapi andai kamu tahu aku lebih sakit dari apa yang kau rasa.”“Bolehkah aku bertemu, sekali lagi saja.”“Untuk apa ?!”“Untuk kembali menambah lukaku yang hampir meluber karena tak sanggup aku tampung lagi!!”“Re, maafkan aku. Aku tak sepicik yang kau kira.”“Aku ta pernah berfikir kau picik !”“Kau…kau…,kaulah laki-laki paling menjijikkan yang pernah aku kenal”“Hmmmmpf…percuma, kau sebegitu membenciku. Betapa aku sangat ingin bertemu denganmu.”“Tak usah !!!” aku menekan tombol merah. Aku memutuskan hubungan telepon itu secara sepihak. Dan menelungkupkan wajahku dalam bantal, mencoba menyembunyikan air mataku. Bagaimana mungkin disaat kau merasakan kebahagiaan karena pernikahanmu yang baru saja usai, kau mengatakan ingin bertemu denganku. Terbuat dari apakah hatimu, hingga bisa setega itu. Tak salah kata-kataku tadi yang mengatakan, kaulah laki-laki menjijikkan yang pernah aku kenal.Gaun yang kau kenakan mungkin belum sempat kau tanggalkan. Senyuman para tamu dan hangatnya ucapan selamat masih belum berhenti, namun mengapa kau malah menghubungiku. Apa salahku ya Allah, mengapa begitu berat kau kirim cobaan ini. Betapa aku ingin melupakannya, namun mengapa ia justru datang mengacaukannya.“Huuhuaa…”“Eeegh..eghhh…” Aku tak peduli lagi, jika ada yang menertawakanku gara-gara tangisan ini. Tangisan cengeng untuk gadis yang tak lagi berusia muda karena 3 bulan lagi usiaku genap 29 tahun.“Huhu….”“Kapan aku akan menikah…”“Huhuhuu…”“Kapan aku kan ketemu jodohku ya Allah…”“Huhu…., eghh…eghh…” isak ini semakin lama semakin tak tertahan meski aku coba untuk menghentikan.
ŠŠŠ Aku harus melupakannya. Dan harus mulai dari awal lagi. Aku harus jadi Rea yang kuat. Upss..namaku Ria, mengapa aku begitu suka dipanggil Rea hanya karena kau suka memanggilku begitu. Nama panggilanku pertama kali ketika aku mencoba berkenalan denganmu, namun tetap memanggilku Rea meski kau tahu namaku Ria. Tak ada yang perlu aku sembunyikan, termasuk statusku sebagai perawan tua. Dan kau menerimanya tanpa penolakan sedikitpun. Namun kau menolaknya setelahnya, setelah aku bersedia menyerahkan sepenuh hatiku.Ughh…mengapa aku mengulang cerita itu lagi.Aku mulai, menghapus memory inboxku, sms sejak pertama kali kita menjalin perkenalan. Aku tak berani membacanya, aku takut mengingatnya lagi. Seperti ketakutanku, tak bisa melupakanmu. Dan aku takut merasakannya lagi, mungkinkah ada laki-laki yang baik tersisa untukku, seorang perawan tua.Ughh..aku tak tahu lagi betapa beratnya, menanggung status itu. Belum lagi ibu dan bapakku. Tuhan…..Aku memandang sekeliling kamarku, takkan kubiarkan satu wajahmu nongol di depan mataku. Melihat wajahmu sama saja aku melihat hantu paling menakutkan yang aku takuti selama ini.“Ihhh….ihhh..” aku mengambil dengan jijik sebuah foto yang terpajang tepat diatas ranjangku. Membongkarnya piguranya, dan kudapati fotoku dengan senyum manis tepat disamping manusia berwajah hantu itu. Foto waktu kita bertemu untuk ketiga kalinya di sebuah taman hiburan.“Sebenarnya cakep juga….” Aku tersenyum, melihat wajah tirus manis dengan kulit kecoklatan dan tubuh yang tegap semampai.“Huekkk…”aku tak boleh mengaguminya. Aku tak boleh buta lagi karena wajah itu. Andai waktu itu Tuhan membuka mataku untuk menatapnya lebih jelas, mungkin fotoku disampingnya bukan tersenyum manis, tapi terbelalak histeris.“Haha….”aku tertawa, lucu. Perlahan aku memotong foto itu. Memisahkan wajah manisku dengan wajah hantu itu. Aku menyimpan sebelahnya dan memotong kecil-kecil hantu itu seakan-akan dia ada didepanku. Terserah mau sakit, mau meringis, masa bodoh…Apa kabar dengan fotoku yang ada padanya?. Mungkinkah akan mengalami nasib yang sama, atau mungkin lebih parah. Apalagi jika ditemukan istrinya.“Ughhh…ughhh…”aku mengelus wajahku, tak tega jika wajahku yang manis ini harus kena api, jangan ya…
“Riaa…….” Aku mengernyit, panggilan untukku?“Riaaaa…….” Ternyata memang betul. Ada instruksi dari ibu pasti. Dan aku bergegas mencari sosok ibu. Mungkin saja di dapur.“untukku…?!!!” tanyaku heran, ketika sebuah bunga melati terulur untukku.Deggg…..bukankah biasanya abdi yang selalu mengirimkannya untukku. Apakah ini juga dari abdi?. Aku tersadar untuk segera bertanya.“Dari siapa?” ibu menggeleng tak tahu.Aku mencari kertas kecil berisi memo yang biasanya selalu diletakkan dipangkal pohon ini.“Maafkan aku…”“Uggh….!!!” Aku mendengus kesal, dan meletakkan serampangan. Tak seperti biasanya, bunga itu selalu terpajang segar di atas meja riasku. Untuk apa aku mesti merawatnya. Dan…untuk apa kau mesti mengirimnya. Meskipun kau belikan aku toko bunga, kata maaf tak juga bisa aku berikan untukmu…ŠŠŠAku masih asyik, didepan layar monitorku. Mengedit laporan keuangan yang belum sempat aku selesaikan kemarin di kantor. Seharusnya liburan seperti ini, aku menikmatinya. Namun aku telah kehilangan selera untuk menikmatinya. Aku memilih mengerjakan apapun agar rasa sepi yang seringkali menemaniku terasa berkurang. Meila juga menemaniku. Maklum sama-sama jojoba,hmmm…“Re…”“Ri….”“oh ya Ri…”dia tersenyum menyadari salah memanggil namaku yang sebenarnya. Aku tak meninggalkan sedikit pandanganku dari layar untuk merespon panggilannya. Dan ia lama untuk meneruskan panggilan itu, mungkin saja pikirannya masih asyik dengan majalah dipangkuannya itu.“Kamu tahu ga istrinya Abdi?” aku heran untuk apa dia tanyakan itu, tak lagi penting untukku. Meski 2 bulan lalu sebelum mereka menikah, Meila juga hampir menunjukkan karakteristiknya. Dan masih seperti kemarin, Aku menganggap itu tak penting lagi, dan aku tak peduli..“Dia sakit kanker…”“Whattt….” Tiba-tiba tanganku memencet huruf itu sehingga terbaca di layar dan aku menghapus setelah sadar. Aku menoleh, mencari keterangan lebih lanjut.“Sakit…?!”“Ya….”“Dari mana kamu tahu,“Sudah lama…”“Mengapa kau tak mengatakan padaku waktu itu ““Bukankah katamu itu tak penting?” aku mencibir menyadarinya.“Sudah hampir 2 minggu dia di rumah sakit,“Abdi ?””Halloooo…istrinya, Ria sayang….bukan Abdi.”“Ya, maksudku….abdi gimana?”“Emang penting ya, kok aku mesti tahu…” kali ini aku mencibir, karena sadar meila telah mengejekku.“Apa Abdi ga tahu ya kalau Meila sakit?” tanyaku sendiri, bengong.“Apa….?!’“Ulangi kata-katamu tadi, istrinya Abdi..bukan Meila…!!” aku tersenyum.“Ya maaf aku kan salah ngomong, habisnya aku kan ga tahu namanya siapa?’“Emang penting ya?” Meila tersenyum. Sekali lagi mengejek.“terserah, mau istrinya yang sakit, atau Abdi yang sakit, bodoh amat….!!”“bener nich, kalau Abdi yang sakit, kamu ga akan menangis iba…”“Eh, mengapa kita malah tertawa melihat orang dapat bencana…” tiba-tiba Meila menjadi seorang peri sok bijak.“Ya udah…..”“Semoga …”“Bahaagiaaa…..” ucapku dengan nada tak ikhlas.ŠŠŠ “Selamat ya, abdi….” Aku tersenyum bersamaan dengan jabatan yang erat.“Semoga bahagia ya…”“Aku selalu mendoakanmu…” ucapku mantap.“Kau tampak cute dengan gaun ini…” ledekku, dia tersenyum bahagia.“Istrimu juga cantik, cantik sekali…”“Gaun itu memang lebih pantas dipakainya dari pada aku. Kalau aku pakai masti melorot…” Aku tertawa lepas, dan kau membalasnya dengan tawa pula.“Selamat ya…” ucapku sekali lagi, ketika aku harus melangkah maju bersama barisan tamu undangan ini.Setengah berbisik dalam pendengaranku kau berkata, “maafkan aku Re…” aku tersenyum, dan melangkah. Aku tak pernah membencimu Abdi.“Krinnnnngggggggggg……kronggggggggggggggggggg….krungggggggggg………” Aku menggeliat. Perlahan membuka kedua mataku dan memicingkannya setelah sadar. Jam 5 pagi. Saatnya aku harus bangun.“Ehm….ehmmm…..” aku menggeliat lagi, seolah ga rela melepas selimut yang membalut tubuhku. Kantuk masih tersisa bersama hawa dingin yang menyerang. Toleransi 5 menit. Aku menutup mata lagi, namun tak kubiarkan kantuk kembali membuaiku dalam bayangan mimpi. Mimpi….aku mengingatnya, mimpi kah aku semalam. Datang ke pesta Abdi. Aku membuka mataku, dan berfikir. Mengapa aku bermimpi tentang abdi dan pestanya. Bukankah pestanya sudah lewat 2 bulan yang lalu. Sudahlah, namanya tidur pasti ada bunganya…(ga nyambung ya?)
ŠŠŠ“Ria, saluran 3 buat kamu..?”“Siapa yang berani menggangguku di jam sibuk begini.” Protesku pada Sani, rekan kerjaku.“Siapa…?!”sapaku ketus.“Rea, ini Meila…”“Ada apa?!”“Ikut aku,”aku mengernyit.“Ini masih jam kantor !”“ya, aku tahu…”“aku tunggu, diparkiran…” “Meila…kemana?” belum sempat aku mendengarnya. Aku sudah mendengar tanda putus.“Ada apa sich ini orang seenaknya saja ganggu orang kerja” runtukku sendiri. Namun aku bergegas ke kantor kepala minta ijin. Dan tak lama aku sudah melihat wajah Meila diantara barisan mobil-mobil di parkiran ini.“Cepetan…?!”“Enak aja, kamu nyuruh anak orang!”“Berani bayar berapa…?” protesku tak berkesudahan seraya tersenyum. Meila sama sekali tak menggubrisku, dan aku berhenti meledek. Wajahnya yang terlihat bingung membuatku konyol. Bagaimana mungkin meila yang selalu ceria bisa benar-benar serius. Dan aku ikut saja diam.“Ayo turun…” ajak Meila. Aku diam tak bergerak. Untuk apa dia mesti mengajakku ke rumah Abdi.“Untuk apa?” tanyaku curiga.“Turun saja…”ia menyeretku dengan terpaksa. Aku membelot. Tapi melihat mukanya yang masih saja serius tanpa ekspresi, aku menurut. Perasaanku mulai tak enak.
“Aku bisa berjalan sendiri…” sekali lagi aku protes karena Meila masih saja menggandeng tanganku. Aku heran, pakaian hitam seolah menjadi dress code dirumah ini. Dan aku tak menjupai satu wajahpun yang bisa aku kenal. Apa yang terjadi?.Aku tak tahu harus bertanya pada siapa. Aku menurut saja, mengekor Meila yang berjalan terburu. Semua orang yang sempat berpapasan denganku seolah sibuk dengan mereka sendiri. Kamar Abdi. Sayup-sayup aku mendengar suara tangis, mungkinkah istrinya meninggal seperti cerita Meila beberapa waktu lalu yang mengatakan istrinya sakit. Ya Allah secepat itukah. Mmm…tapi untuk apa aku mesti datang. Apakah abdi akan merengek untuk memintaku menjadi istrinya. Aku tersenyum, memikirkan bagaimana aku bisa menikah dengan seorang duda.Agak ragu aku melangkah. Suara tangis makin nyaring kudengar. Ketika wajahku tersembul dari balik pintu, aku mengenali satu persatu wajah itu. Tante Maya, ibu abdi dan suaminya. Tiara, adik semata wayangnya..dan saudaranya yang lain yang tak bisa aku kenali satu persatu.“masuklah Rea…” pinta tante Maya, dengan wajahnya yang sembab. Aku berjalan mendekati kerumunan itu, sementara Meila memilih berhenti dan berdiri tepat di depan pintu.“Abdi, sudah lama menunggumu…”kata tante Maya lagi. Satu persatu orang mulai menjauh, dan aku melihat tubuh itu. Tubuh yang tergolek tak berdaya dengan selang infus dan oksigen berselang-seling dari mulut dan hidungnya.“Abdi….”desisku perlahan. Aku terhenyak, sedih. Aku berdiri tepat, disamping ranjangnya. Dia mencoba tersenyum dengan kepayahan. Tangannya bergerak mencari tanganku, dan aku menggenggamnya hingga tangan itu diam dengan sendirinya, bersama senyum yang masih mengambang. Matanya menutup perlahan, dan tangis mulai menyayat.“Abdiii….”teriakku histeris. Aku bingung. Tangan itu masih saja diam, meski aku meremasnya.“Dia sudah pergi nak, ” Sebuah suara dibelakangku, mengabarkanku akan apa yang baru saja terjadi. ”Innalillahi wa Inna illaihi roji’un…” Kalimat itu saling bersahutan ku dengar dan aku menimpali dalam hati.“Abdi….”desisku tertahan. Aku lunglai tak berdaya. Mengapa secepat itu kau pergi…
ŠŠŠSatu persatu peziarah mulai meninggalkan gundukan tanah merah didepanku. Aku masih tertegun tak percaya. Di sampingku tante Maya dan anggota keluarganya yang lain juga menatap hampa bersama air mata yang menganak sungai.“Ayo Rea, kita pulang…”ajak tante Maya. Dan aku menganggu, mengikuti.“Mengapa aku tak melihat….” Aku mencari kata-kata untuk memanggil istri Abdi, maklum sampai sekarang aku tak tahu namanya. Tante Maya tersenyum.“Ia mendahului Abdi 3 hari yang lalu…” Aku kembali terhenyak.“3 hari yang lalu tante…”“Ya mereka berdua menderita kanker hati. Ketika abdi dalam keadaan kritis, Dina meninggal.”Tante maya tersenyum lagi. “sebelum Abdi benar-benar koma, ia masih saja memanggil namamu…”“Dia titip maaf buat kamu…”“Begitu pula Dina…”“Mereka memutuskan menikah setelah keduanya sama-sama tau mereka mengendap kanker stadium 4. Sebelum meninggal mereka ingin melaksanakan sunah rosul untuk menikah.”“Abdi tak ingin membuatmu terluka, menikahimu dan meninggalkanmu…”“Dia ingin kamu bahagia Rea…” aku tak lagi bisa berkata-kata. Air mata yang hampir berhenti, tiba-tiba menyeruak semakin hebat.“Maafkanlah mereka, ikhlaskan mereka pergi dengan bahagia…”Dengan mantap hatiku berkata, Aku tak pernah membencimu Abdi. Aku ingin kamu selalu bahagia…

0 komentar: