THOUSANDS OF FREE BLOGGER TEMPLATES

Minggu, 10 Januari 2010

cinta & derita

Mereka bilang aku terlalu bodoh untukmu yang sudah menamatkan pendidikan sampai sarjana. Tidak sepadan denganku yang bahkan SMA pun tidak tamat. Mereka bilang aku terlalu miskin untukmu yang sudah dapat membeli rumah dan kendaraan sendiri. Tidak sepadan denganku yang hanya mampu mengontrak dan mencicil sepeda motor butut dengan susah payah. Mereka bilang status sosialku terlalu rendah darimu yang sudah mempunyai perusahaan sendiri. Mereka bilang aku terlalu hina untuk bersanding dengan bosku sendiri. Aku tidak pantas menjadi kekasihmu, bahkan kata mereka. Untuk menjadi temanmu saja aku tidak pantas. Kata mereka aku bukan yang terbaik untukmu.

Aku tidak pernah menyalahkan mereka. Karena tidak ada yang salah dengan perkataan mereka. Aku memang terlalu rendah jika dibandingkan denganmu. Tidak sepadan walau sudah dipaksakan. Mungkin mereka takut jika nanti kita menikah, kau tak bahagia denganku. Pemikiran mereka sangat realistis dan aku memahami itu. Aku memang pria bodoh, tetapi aku tidak sebodoh pria- pria yang tega menelantarkan istri dan anaknya sendiri. Aku pasti akan berusaha semampuku untuk mendapatkan uang demi menafkahi istri dan anakku bagaimanapun caranya, asalkan tidak melanggar batas- batas agama yang aku anut. Yang jelas, aku akan bertanggung jawab atas keluargaku nanti.

Aku tahu aku memang hina. Dan mereka bukanlah satu- satunya yang mengatakan demikian. Tiga kali aku menjalin hubungan dengan wanita dan tiga kali pula aku di perlakukan seperti itu oleh orang- orang terdekatnya. Oleh karena itu, aku tidak heran. Tapi entah bagaimana, kali ini aku lebih merasakan sakit hati dan kesedihan yang paling dalam. Bukan karena perkataan mereka. Tapi karena aku harus menerima kenyataan bahwa lagi- lagi aku harus kehilangan orang yang sangat aku sayangi. Aku menangisi diriku sendiri karena ketidakbergunaanku sebagai laki- laki.

Awalnya, kupikir bahwa segala penderitanku agar berakhir selelah aku menemukanmu. Dengan ucapan- ucapanmu yang begitu meyakinkanku, aku berharap bisa menyandingmu nanti. Rasa optimisku juga meningkat manakala saat kau mengundangku makan malam di rumahmu bersama keluargamu. Aku berharap bisa melamarmu malam itu juga.

Dengan mengenakan jas yang kau berikan kepadaku khusus untuk malam itu, aku menuju ke rumahmu dengan perasaan yang sulit untuk ku ucapkan. Tidak lupa kuselipkan kotak cincin di dalam saku jasku untuk melingkarkan isinya nanti di jari manismu. Langkah kakiku terasa ringan malam itu, saat kupacu motor bututku saja aku merasa seperti terbang. Sepeda motorku terasa sangat ringan saat ku kendarai. Entah bagaimana, perasaanku begitu bahagia pada malam itu. Seumur hidupku, tidak pernah kurasakan kebahagian yang teramat sangat seperti malam ini.

Ternyata kebahagiaanku hanya sampai pada saat itu saja, selebihnya aku kembali merasakan kepahitan yang sama seperti biasanya. Selama makan malam berlangsung, keluargamu mulai bertanya- tanya tentang diriku dan keluargaku. Setelah makan malam selesai, suasana menjadi hening, Lalu aku berinisiatif untuk melamarmu. Tetapi, ternyata lamaranku ditolak mentah- mentah oleh keluargamu. Aku tidak heran dengan semua itu apalagi dengan cacian dari mereka. Aku tahu bahwa lamaranku akan di tolak setelah kulihat perubahan di wajah mereka sewaktu aku menceritakan tentang diri dan keluargaku.
Yang membuat aku heran adalah saat ayahmu tiba- tiba saja memarahimu karena dia merasa kamu telah membohongi keluarga. Aku heran mengapa dia mengatakan demikian. Saat aku melihat wajahmu, aku tahu jawabannya atas kemarahan ayahmu itu. Pantas saja selama tadi aku menceritakan segala kehidupanku kepada keluargamu, kau tertunduk dan hanya sesekali menyunggingkan senyum yang seolah dipaksakan. Kau telah bercerita palsu tentang diriku kepada keluargamu.

Lalu aku pulang dengan perasaan hancur yang tak tertahan. Dalam hatiku ada sedikit kekecewaan padamu. Aku tahu kau ingin aku diterima oleh keluargamu. Tetapi seharusnya kamu tahu bahwa kebohonganmu itu pasti akan terbongkar dan akan berdampak pada hubungan kita.

Aku menangis. Aku tahu seharusnya aku tidak boleh menangis. Sebagai laki- laki, menangis adalah hal yang harus kuhindari. Tetapi, entah mengapa air mata ini tak bisa berhenti. Aku tahu, setelah ini aku akan jarang bertemu denganmu, atau bahkan sudah tidak akan pernah bisa bertemu lagi denganmu. Aku tidak mau itu terjadi, tetapi aku tahu itu akan terjadi. Mungkin karena itu aku menangis.

Setelah kejadian malam itu, kita jarang bertemu. Saat bertemu pun, kamu selalu gelisah karena takut ketahuan jika kamu berhubungan lagi denganku. Hubungan kita seolah selesai tanpa ada penyelesaian. Sampai akhirnya kau dijodohkan dengan pria lain. Hatiku hancur saat tahu kabar itu. Hampir saja aku mengakhiri hidupku jika saja tidak ada temanku yang melihatku ingin terjun bebas dari atas gedung tempat kita bekerja dulu.

Pekerjaanku telah aku tinggalkan seminggu setelah aku tahu kabar pernikahanmu. Aku benar- benar sudah gila saat itu. Setiap hari yang kupikirkan hanyalah bagaimana caranya aku mati. Tak ada harapan lagi bagiku untuk hidup. Dengan mengakhiri hidupku, aku tidak akan merasakan jatuh cinta, tidak ada lagi penghinaan dan tidak ada lagi air mata yang menyedihkan. Aku akan terbebas dari jatuh cinta yang memuakkan serta dari semua penderitaanku selama ini.

0 komentar: