THOUSANDS OF FREE BLOGGER TEMPLATES

Minggu, 10 Januari 2010

gadis tak bernama

KALAU kau pernah mengunjungi danau di seberang masjid kampus berkubah putih itu, pasti kau mengenalnya. Tidak hanya pagi hari saat binar fajar melumer, tidak hanya siang ketika hari merangkak ke peraduan, tidak senja, saat hari berangkat menua. Kau akan mendapatinya di setiap larik kehidupan. Saat malam menanti purnama yang anggun pun kau pasti dapat menemui sosoknya.
Ketika kau bertemu orang dan menanyakan tentangnya, pasti mereka dengan sigap mengangguk mematuk. Semua telah sempat menemuinya di pagi yang samar hingga malam yang lebam. Dari kejauhan, meski samar, dia begitu nampak jelas dengan gaun merah maron di padu bandana warna daun kering. Di lengan kiri ada jam tangan perak kecil yang tak henti berdentang dan di kanan gelang manikmanik perak menyerupai mutiara. Kakinya begitu sempurna meski tanpa alas, menyatu dengan tanah tepi danau yang lembab.
***
Suatu sore yang dingin karena gerimis tak kunjung mengering, aku mampir ke tepi danau itu. Meski tak disengaja karena tumpanganku macet, kubiarkan tubuhku jatuh di rerumputan yang basah sejenak melepas penat. Mata kupejam menikmati derai hujan yang jatuh satusatu menikam poripori di wajahku. Dingin menyelinap masuk hingga belulang, tapi aku tak hirau dan membiarkannya membelai tubuhku yang ekstase. Satu tarikan nafas panjang untuk mengakhiri tamasya sore itu. Mata kubuka perlahan dan aku terhentak kaget.
Sebuah sosok tak asing berdiri tepat di atasku, sepersekian milimeter dari kepalaku. Dengan tergesa aku mengangkat tubuhku lantas berdiri bertumpu pada kedua kaki yang sedikit goyah. Dia tidak bergeming. Tetap pada posisinya berdiri tegak bahkan tak menghiraukan sikapku yang mulai kikuk. Sedikit terbata aku mencairkan suasana sore itu, bertanya kenapa dia tibatiba berada di atas kepalaku. Dia tetap kukuh tak mengernyit sedikit pun, apalagi berbalik menatapku yang sedari tadi berada di samping pundaknya.
Apakah dia bisu ? Aku mulai membathin tak karuan. Terlalu banyak kata yang kumuntahkan tapi tak sekalipun dia menggerakkan bibirnya. Sesekali aku meraih pundaknya dan berbicara padanya, dia mematung. Seakan kehadiranku tak berarti apaapa baginya, seperti tak ada sesuatu yang dapat mengusiknya.
Aku semakin bingung dengan sikap diamnya tapi aku tak urung, tetap saja aku bercerita di sampingnya bahkan bibirku kudekatkan ke telinganya agar dia mendengarkan. Meski tak bereaksi sedikitpun, mungkin dia menyimak semua pertanyaan dan ceritaku. Bahkan aku semakin bersemangat bercerita kepadanya, bercerita tentang hujan yang mencuri kelopak senja di tepian pantai, gemintang yang malu bertemu purnama yang anggun, atau tentang kisahkisah kolosal yang di reproduksi menjadi sinetron murahan. Dia masih berdiri.
Jarumjarum mulai menusuki telapak kakiku yang sedari tadi menahan beban berdiri. Sesekali aku jongkok, kemudian duduk di rerumputan dan berdiri lagi untuk melanjutkan cerita. Walau tak di bayar aku tetap saja bercerita, tidak seperti film layar lebar yang mesti menyelipkan nominal uang untuk menontonnya di ruang gelap bernama bioskop. Dadanya terangkat naik dan turun seiring hembusan nafas yang terdengar bergemuruh. Aku melemparkan senyum lega, akhirnya dia bereaksi juga setelah lebih dari sejam mendengar celotehku.
Dia bergerak membelakangiku dan beranjak menjauh menuju titian yang menghubungkan tempat kami berdiri dengan tempat yang serupa pulau kecil. Langkahnya terhenti tepat di atas titian yang terbuat dari balok kayu yang disusun berbaris memanjang. Tangannya memegang balok pembatas yang berada di depannya menghadap ke timur. Dia tak berbalik kepadaku, akupun beranjak pergi setelah berteriak berpamitan mengucap selamat tinggal.
***
Sejauh ini belum ada perubahan yang berarti meski setiap hari aku menyempatkan diri menjenguknya di tepian danau. Kadang sesaat sebelum aku mulai bercerita kusodorkan sepotong roti rasa coklat dengan parutan keju di atasnya, namun dia tak pernah menggerakkan tangannya meraih roti atau botol minuman dingin meski hari begitu gersang.
Hingga suatu waktu petir memecah angkasa dan hujan tumpahruah ke bumi, kami berlarian menuju gasebo yang berada tidak jauh dari titian untuk berlindung dari guyuran hujan. Karena hari sudah sore suasana danau mulai lengang dan di gasebo itu cuma kami berdua. Dingin merebak namun suasana tak hangat juga, tak ada perbicaraan. Hanya diam. Tubuh kami gigil berselimut angin yang menerpa pepohonan di pinggiran danau yang kian beriak di jatuhi titiktitik hujan.
Hujan menderu dan hari semakin gelap, terdengar suara adzan menggema dari corong masjid dari sebelah danau. Seharusnya aku sudah berada di rumah di waktu seperti ini tapi hujan kian deras. Tibatiba dia menggamit tanganku sedikit menarik mendekat ke tubuhnya. Barangkali dia kedinginan, akupun menempelkan pundakku ke pundaknya tapi dia menarik tubuhnya mundur.
“Ada roti, aku lapar…” matanya sayu menatapku.
Senyumku merekah seketika dan dengan sigap kuselipkan tanganku ke dalam ransel mengambil sepotong roti lalu kusodorkan kepadanya. Senang sekali rasanya setelah lebih sebulan datang dan bercerita padanya, akhirnya dia mengucapkan kalimat pertama tanpa kuduga sebelumnya. Ternyata dia tidak bisu. Irama suaranya begitu lembut mengalun dari bibirnya yang pucat. Hujan seakan berhenti dan aku berlarian mengitari gasebo sambil berteriak riang seperti orang kerasukan setan penunggu danau.
Mataku awas mengamati mulutnya yang menguyah begitu lambat, bibirnya gemetar. Aku tak berkata apapun menunggunya menghabiskan roti. Setelah aku yakin roti dalam mulutnya telah habis ditelannya lalu kuberi sebotol air mineral, dia meraihnya kemudian menenggak pun sangat pelan.
Merasa kalau dia sudah menyadari keberadaanku, akupun mulai bertanya tentang dirinya. Dia enggan membuka rahangnya, mungkin masih ada sisa roti di mulutnya. Lima menit kemudian aku memulai bertanya lagi, kali ini dengan pertanyaan yang lebih ringan. Takut dia tak mengerti bahasaku, dia tak bergeming sedikitpun. Aku tidak putus asa tetap kujejali dia dengan pertanyaan yang mungkin memekakkan telinganya, hingga dia berbalik pelan dan melemparkan senyum pasi. Kubalas senyumnya dan menatap matanya, memperhatikan setiap guratan di sudut wajahnya. Kudapati risau disana, ada bayang sendu, dan sejuta tanya yang menanti jawab. Tapi aku tak tahu apa, sulit menafsirkan apa yang telah menimpa hingga membuatnya seperti ini.
Hujan reda. Aku bergegas pulang setelah mengucap kata berpisah padanya.
***
Aku begitu penasaran dengannya hingga kusiapkan selalu waktu mengunjunginya selepas kuliah. Ada pertanyaan besar yang harus terjawab dan ini terus mengusikku. Siapa dia sebenarnya. Rasa penasaranku semakin membuncah setelah dia mengucapkan kalimat pertamanya lalu dia tersenyum, kalau bisa lebih sabar pasti tidak lama lagi aku bakalan tahu siapa dia.
Aku terus saja mengunjunginya, bercerita, tersenyum, membawakannya roti dan kadang nasi bungkus untuk mengganjal perutnya yang lapar.
Ketika sampai di rumah aku menyetel televisi dan menonton program favoritku, berita malam. Di layar kaca begitu marak pemberitaan tentang pilkada dan caleg yang saling adu kemampuan untuk mengkampanyekan dirinya demi meraih suara terbanyak nanti. Tibatiba pada segmen peristiwa aktual seorang reporter yang sangat akrab bagi pemirsa program berita malam menyampaikan sebuah berita dengan latar belakang sebuah danau. Kuperbaiki posisi dudukku dan menambah volume suara televisi lalu menyimak berita tersebut.
Secepat kilat aku menuju danau mengendarai sepeda motor bututku hendak memastikan berita di televisi. Sesampainya disana, yang kudapati hanyalah sunyi lalu retina mataku menangkap sebuah petanda berwarna kuning di sekitar titian, garis polisi.
Ternyata berita itu benar. Dia tenggelam. Aku berteriak sejadijadinya membelah malam, timbul penyesalan yang dalam kenapa aku begitu lalainya. Tak sengaja aku lupa berkunjung ke danau sore tadi, mungkin dia lapar, sedih, butuh teman, hingga tubuhnya retas dan terjatuh ke air.
Padahal, masih ada kisah yang belum sempat aku ceritakan padanya, gadis tak bernama.

0 komentar: